Foto: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Blue food berperan sebagai landasan ekonomi pedesaan dan nasional
Potensi blue food Indonesia mencapai 115 juta ton/tahun.
Setiap negara berlomba cari sumber pangan baru lantaran persoalan pangan yang disebabkan perubahan iklim, gangguan rantai pasok, hingga hilangnya sumber pangan. Sementara itu, menurut Plt. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), M. Firman Hidayat, ada sumber pangan lain yang berpotensi sangat besar, yaitu blue food.
Blue Food
Blue foodadalah sumber pangan berbasis akuatikyang berasal dari perikanan tangkap dan budidaya. “Potensi blue food sangat besar, mencapai 115 juta ton/tahun. Sebanyak 15 juta ton dari perikanan tangkap dan 100 juta ton dari akuakultur (perikanan budidaya),” kata Firmanterangnya saat seminar “Pengembangan Produksi Berkelanjutan, Inovasi dan Daya Saing Produk Blue Food untuk Pemenuhan Konsumsi Pangan Domestik dan Penguasaan Pasar Ikan Global” di Jakarta (10/11).
Sayang, Firman mengungkap, serapan blue food masih sangat rendah, baru mencapai 4,9% dari potensi yang ada. Padahal, manfaat blue food sangat beragam. Sebagai sumber protein berkualitas tinggi, mengurangi emisi, memenuhi kebutuhan pangan nasional, meningkatkan konsumsi ikan, hingga menjadi landasan ekonomi pedesaan dan nasional.
Vivi Yulaswati, Plt. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas menyatakan, konsumsi blue food di Indonesia sebanyak 55,3kg/kapita/tahun dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 7,5 jutameliputi nelayan, pembudidaya ikan, belum termasuk tenaga kerja lainnya di hilir. ”Blue food menyumbang PDB US$5,7 miliar dengan komoditas unggulan udang, tuna, cakalang, dan rumput laut. Luas lahannya juga lebih luas,” terangnya pada kesempatan yang sama.
Namun, pengembangan blue food menghadapi masalah dan tantangan mempertemukan permintaan dan penawaran. Pada 2017 penduduk dunia sebanyak 7,4 miliar jiwa dan akan menjadi 8,5 miliar jiwa di 2030 dan 9,5 miliar jiwa pada 2050. “Permintaan blue food akan makin tinggi. Sektor perikanan masih dipengaruhi lingkungan strategis yang dipengaruhi perubahan iklim,” lanjut Vivi.
Menurut Firman, untuk meningkatkan pemanfaatan blue food, perlu perbaikan tata kelola, sistem produksi, peningkatan nilai tambah, pendanaan, penetrasi pasar dan teknologi dalam mendukung potensi blue food. “Kerja sama multipihak sangat diperlukan untuk penguasaan pasar bluefooddi tingkat global.Kemudian, harus tetap mengembangkan sistem produksi yang kompetitif dan berkelanjutan dengan manfaatkan smart aquaculture, pemanfaatan nilai tambah, penguatan traceability (ketelusuran). Jaminan mutu jadi PR yang harus ditingkatkan,” urainya. Pemerintah juga membuat afirmasi kebijakan penguatan eksistensi blue food.
Ekonomi Biru
Ishartini, Plt.Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, pertumbuhan penduduk mendorong permintaan protein dunia. Permintaan ikan global pun akan berlipat ganda dari tahun 2020 dan 2050. ”Permintaan itu akan lebih banyak dipenuhi dari produksi perikanan budidaya dengan menjaga stabilitas pasokan perikanan tangkap yang semakin higienis dan bermutu tinggi. Peluang pertumbuhan terbesar, budidaya ikan bersirip, US$175 miliar nilai pasar ikan bersirip,” kupasnya.
Namun, tantangan sumber daya pangan hasil kelautan dan perikanan yaitu mudah rusak sehingga butuh penanganan khusus dan keterjangkauan produk yang tidak merata. “Adadisparitas produksi perikanan tangkap sekitar 82% di luar pulau Jawa.Sedangkan,45% sebaran unit pengolahan ikan skala kecil ada di pulau Jawa. Lalu,industri pengolahan didominasi skala kecil, ikan bersifat musiman, ketersediaan kurang, keterhubungan informasi produksi dan pasar juga menjadi tantangan serta masih banyak losses (kehilangan hasil) pada produk perikanan,” jelasnya.
KKP, lanjut Ishartini, memiliki 5 program utama ekonomi biru untuk mendukungblue food sebagai pangan masa depan dunia. Pertama, memperluas kawasan konservasi dengan target 30% pada 2045. Kedua, penangkapan ikan secara struktur berbasis kuota dan zona. Meliput di dalamnya, zona penangkapan dibagi menjadi 6, penangkapan ikan diatur berbasis kuota, dan hasil tangkapan ikan harus di daratkan terlebih dahulu di pelabuhan, bukan langsung dikirim ke Jawa. Hal ini dilakukan untuk pemerataan ekonomi wilayah tersebut.
“Dengan adanya ikan yang didaratkan di wilayah tersebut, maka secara tidak langsung ada peningkatan serapan tenaga kerja, mulai dari penyortiran, pengolahan, baru distribusi ke wilayah yang membutuhkan, dan lainnya,” urainya.
Ketiga, pengembangan budidaya laut,pesisir,dan air tawar yang ramah lingkungan. Program ini terus didorong KKP dengan berbasis 4 komoditas utama, yaitu udang, lobster, rumput laut, dan kepiting. Serta untuk menjaga ketahanan pangan nasional, KKP akan membangun kampung perikanan budidaya sesuai keunggulan wilayah masing-masing. Contohnya, ikan nila di Jawa Tengah atau Sumatera dengan patinnya. “Keempat, pengelolaan berkelanjutan pulau-pulaikecil dan pesisir. Kelima, pengelolaan dan penanganan sampah laut,” katanya.
Berkelanjutan
Ketua Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, IPB University, Yonvinter menyebutkan, konsep dasar blue food dalam ekonomi biru (blue economy) harus mencakup keberlanjutan (sustainable), kesejahteraan, dan kesetaraan. Bicara berkelanjutan tanpa adanya kesejahteraan masyarakat maka blue economy tidak berjalan dengan baik. Pion terpenting blue economy adalah kesetaraan sosial
“Blue economy dapat dirasakan oleh semua masyarakat yang terlibat dalam lingkaran blue food. Semua sejahtera sehingga semua merasakan manfaat yang sama seperti tagline Indonesia 2045: adil dan makmur,” katanya. Yonvinter melanjutkan, ke depan konsep ini harus terintegrasikan dengan baik.
Kemudian, pendayagunaan pesisir untuk marikultur atau budidaya laut harus memiliki zona penataan ruang. Hal ini untuk memastikan bahwa pesisir dapat digunakan untuk kegiatan ketahanan pangan. “Kegiatan ketahanan pangan memiliki zona yang begitu luas dari kabupaten/kota.
Namun, penerapan tersebut harus menerapakan 3T: terukur, terencana, dan terawasi. Tidak hanya terukur karena terukur hanya satu domain. Maka,harus terencana dan terawasi. Jangan sampai setelah program ini selesai, tidak ada eksekusi lanjutan,” pesannya.
Di sisi pasar, Sudari Prawiro,Nasional Chief Technical Advisor United Nation Industri Development Organization (Unido) menimpali, ada beberapa faktor yang membuat permintaan sustainable blue food meningkat. Yaitu, meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk berkelanjutan, banyak perusahaan menerapkan aturan mencari produk yang bersertifikat sustainable, industri perikanan banyak menerapkan ekonomi berkelanjutan, dan komitmen global terkait pengurangan emisi karbon atau gas metan.
Terakhir, tuntutan konsumen dan efisiensi serta perusahaan akan mengarah pada ekonomi yang tersirkulasi. “Contoh, Green Deal dari Eropa 2025, 100% perusahaan tuna harus memiliki Market Based Instruments (MSC) sertifikat. Komitmen mereka untuk membeli produk tuna sustainable. Perusahaanmenuntut supplier menerapkan sustainable,” katanya.
Banyak keuntunganmenerapkan praktik keberlanjutan. “Secara jangka panjang penerapan tersebut,penjualan dapat meningkat dan dampak sustainable-nya meningkat. Indonesia ingin merebut pangsa pasar maka sustainability harus diimplementasikan,” jelasnya.
Di pasar lokal, Dedeh Kurniasih, Perhimpunan Penyelenggara Jasaboga Indonesia (PPJI) mengungkap, produk ikan jarang diminati karena bau amis. Konsumen lebih memilih daging dan ayam. Sehingga, perlu upaya membuat olahan ikan lebih menarik dan enak dari rasa dan visual untuk mendorong seseorang menyukai makan ikan. Sebenarnya, ujar Dedeh, produk olahan ikan lebih menguntungkan bagi pelaku usaha perikanan karena harga daging relatif mahal.
Sabrina Yuniawati, Windi Listianingsih