Foto: Dok. SETNEG
Presiden Jokowi menandai awal pelaksanaan Peremajaan Sawit Rakyat di Serdang Bedagai, Sumut pada 2017
Upaya meremajakan kebun sawit rakyat baru mencapai 326.308 ha dengan biaya Rp9,1triliun. Ini masih jauh dari target dan perlu terobosan baru agar realisasinya lebih ngebut.
Keberhasilan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berperan krusial dalam mendongkrak produksi sawit nasional untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pasar global. Perluasan perkebunan baru tidak memungkinkan lagi lantaran terganjal Inpres moratorium sawit yang berlaku sejak 2018 hingga sekarang. Jalan yang paling strategis adalah peningkatan produktivitas kebun rakyat.
Saat ini luas kebun rakyat mencapai 6,94 juta ha (42%) dari total luas perkebunan sawit nasional yang 16,38 juta ha. Dari kebun rakyat tersebut, menurut Ditjen Perkebunan, Kementan, yang potensial masuk program PSR seluas 2,8 juta ha. Pada tiga tahun terakhir, pemerintah ingin meremajakan kebun 180 ribu ha/tahun.
PSR menyasar kebun rakyat dengan produktivitas di bawah 10 ton tandan buah segar (TBS)/ha/tahun pada umur minimal 7 tahun, tanaman berumur 25 tahun ke atas, dan tanaman dari benih ilegal (tidak resmi). Dengan mengganti tanaman dari varietas unggul dan resmi serta menerapkan cara budidaya yang baik, produktivitas kebun baru ini diharapkan menjadi dua kali lipat dan layak disertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Tentunya kinerja baru ini dapat meningkatkan kesejahteraan sang pekebun dan keluarganya.
Produksi Stagnan
Menurut Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dalam empat tahun terakhir produksi nasional relatif stagnan di kisaran 50 jutaan ton (minyak sawit mentah-CPO dan minyak inti sawit mentah-CPKO) per tahun. Sementara produktivitas malah mulai menurun sejak 2010. Pada 2022, produktivitas rata-rata hanya 3,14 ton CPO/ha/tahun.
Para analis minyak nabati internasional sudah beberapa kali mengingatkan pentingnya keberhasilan peremajaan bagi produksi Indonesia. Thomas Mielke dari Oil World, Jerman, misalnya, mengatakan, “Minyak sawit telah kehilangan dinamika pertumbuhan produksinya. Pertumbuhan produksi tahunannya kemungkinan akan melambat hanya 1,7 juta ton/tahun dalam 10 tahun hingga 2030 mendatang. Padahal dalam dekade sebelumnya, 2010-2020, tumbuh 2,9 juta ton/tahun,” ujarnya di ajang Indonesia Palm Oil Conference 2023 & Price Outlook di Bali, November 2023.
Hal senada dia ungkap dalam acara 6th Pakistan Edible Oil Conference di Karachi, Pakistan (13/1). “Penurunan laju produksi minyak sawit terjadi karena kurangnya peremajaan tanaman di Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia diperkirakan 30% tanaman berumur 19 tahun ke atas. Dengan berkurangnya penanaman baru semestinya moratorium perlu dievaluasi kembali,” ulas Mielke. Penurunan produksi juga dia prediksi berimbas pada menurunnya ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar global.
Eddy Martono, Ketua Umum GAPKI, dalam konferensi di Karachi itu, memperkirakan, pada 2024 peningkatan produksi Indonesia tidak lebih dari 5%. “Jika mandatori biodesel B35 diperpanjang, maka kebutuhan domestik Indonesia bisa mencapai 25 juta ton. Dengan demikian, ekspor sawit 2024 akan berkurang sebesar 4,13% atau hanya sekitar 29 juta ton,” tuturnya.
Di sisi lain, Indonesia masih sangat membutuhkan devisa dari ekspor sawit untuk mengisi kocek negara. Lantas, sejauh mana kinerja PSR sejak dirilis 2016 sampai sekarang?
Masih Sulit
Program PSR merupakan kerja bareng Ditjen Perkebunan, Kementan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Keuangan. Kementan melalui Ditjen Perkebunan mengeluarkan rekomendasi teknis (rekomtek) berisikan nama calon pekebun, calon lokasi dengan luasan maksimal 4 ha/orang beserta petanya, sedangkan BPDPKS sebagai kasir yang menyediakan dana sebesar Rp30 juta/ha berdasarkan luasan yang tercantum dalam rekomtek.
Agar program berjalan dengan lancar dan terhindar dari penyelewengan di lapangan, PSR melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga. Kemenko Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam hal penerbitan surat keterangan bebas dari kawasan hutan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mendapat surat bebas dari Hak Guna Usaha (HGU), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Aparat Penegak Hukum (Kejaksaan, POLRI), dan Sucofindo sebagai verifikator saat pencairan dana.
Sejak awal dirilis pada 2016, pelaksanaan PSR cukup banyak menciptakan “drama” bagi petani dalam memenuhi persyaratan pengajuan. Akhirnya, mempertimbangkan peran penting PSR, Presiden Jokowi meminta pengurangan persyaratan bagi pekebun yang ingin mengajukan PSR. Kini tinggal dua syarat penting, yakni status lahan dan legalitas lahan. Ini pun masih sulit dipenuhi.
Buktinya, “Delapan puluh empat dari 100 pengajuan PSR gagal karena lahannya terindikasi masuk dalam kawasan hutan,” ungkap Gulat M.E. Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dalam acara “Pertemuan Nasional Petani Sawit Indonesia di Jakarta, 6-8 Desember 2023.
Terkait penyelesaian masalah sawit di kawasan hutan tersebut, Gulat dengan lantang meminta pejabat KLHK yang hadir untuk mengeluarkan kebun berskala maksimal 5 ha dan dikuasai minimal 5 tahun berturut-turut dari kawasan hutan. Bila tak dilepas dan hanya boleh berproduksi selama satu siklus (25 tahun), maka potensi kehilangan produksi minyak sawit dan rupiah sangat signifikan.
“Kalkulasi kami, kebun seperti itu luasnya 2,8 juta ha. Ini kerugian besar, saat dunia membutuhkan minyak sawit, kita malah melakukan satu daur untuk petani maupun korporasi. Menurut hitungan kami, potensi kehilangan CPO (minyak sawit mentah) 12 juta ton/tahun. Kehilangan CPO ini bernilai sekitar Rp131 triliun per tahun. Ini bukan jumlah yang sedikit,” jelasnya dalam jumpa pers “Refleksi Sawit Rakyat 2023” via daring (9/1).
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 355 terbit Januari 2024 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi