Foto: Rusfrida
Indonesia kaya sumber daya genetik unggas lokal
Ada 39 jenis ayam lokal yang tersebar di Tanah Air.
Indonesia kaya sumber daya genetik unggas lokal yang belum optimal termanfaatkan. Unggas asli Indonesia berkualitas tinggi sangat dibutuhkan dalam pengembangan industri peternakan berbasis ternak lokal berkelanjutan.
Unggas Lokal
Dr. Rusfidra, SPt, MP, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas menjelaskan, pemanfaatan protein hewani dari telur dan daging ayam lokal masih rendah. “Kontribusi daging ayam lokal 11% dan telur ayam lokal 12% dalam konsumsi masyarakat. Artinya, tingkat konsumsi protein asal unggas lokal masih rendah. Padahal, ayam lokal merupakan sumber protein hewani yang murah dibandingkan sumber protein dari ternak lainnya,” ujarnya.
Pada seminar nasional “Kontribusi Ayam dan Telur dalam Penyediaan Protein Hewani untuk Menciptakan Masyarakat yang Sehat dan Tangguh”, Rusfidra menyebut, produksi unggas lokal di Indonesia, yakni ayam lokal 9%, itik 4%, sementara broiler 55%. Sisanya, sapi 16%, kambing 2%, domba 2%, kerbau 1%, dan babi 10%.
Menurut Statistik Dinas Peternakan dan Keswan Sumatera Barat (Sumbar) tahun 2021, populasi ayam buras di Sumbar 4.376.360 ekor, itik 1.185.955 ekor, puyuh 1.616.929 ekor, ayam ras petelur (layer) 20.648.473 ekor, dan ayam ras pedaging (broiler) 59.442.387 ekor. Artinya, populasi broiler dan layer jauh lebih dominan.
Begitu pula produksi daging ayam buras hanya 5.362 ton, itik 697 ton, dan puyuh 356 ton. Sementara, produksi layer 10.724 ton dan broiler 65.542 ton. Termasuk, produksi telur ayam buras hanya 2.803 ton, itik 6.511 ton, dan puyuh 2.808 ton, sedangkan telur ayam ras 289.152 ton.
Tantangan
Tidak dipungkiri, banyak tantangan pengembangan unggas lokal. “Tantangan pada usaha peternakan unggas adalah tingginya komponen biaya pakan yang mencapai 66,22%, upah 10,96%, DOC (day old chick) 6,06%, dan sisanya lain-lain. Khusus untuk ayam ras pedaging 56,95% dan petelur 70,97%. Lalu, tantangan lainnya adalah besarnya persentase komponen bahan baku pakan impor yang mencapai 35% yang terdiri dari CGM (corn gluten meal), MBM (meat bone meal), premiks, dan bungkil kedelai,” urainya.
Tantangan di hilir meliputi perubahan perilaku konsumen yang menghendaki makanan higienis, nilai gizi cukup, kenyamanan berbelanja, harga murah, dan diantar ke rumah. Rantai pasok juga berubah. Karena selain pasar tradisional, sudah terbentuk pasar modern, meat shop, dan toko online.
Tantangan berikutnya yaitu pengembangan ayam lokal. “Ada 39 jenis ayam lokal yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air, sebagian besar untuk petelur dan pedaging. Namun, sebagian di antaranya untuk ayam hias/penyanyi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Di antaranya terdapat ayam kokok balenggek (AKB) yang merupakan plasma nutfah dari Solok, Sumatera Barat,” ungkapnya.
Selain itu, sambung peneliti unggas lokal tersebut, terdapat sumber daya genetik itik dari Sumbar, yakni itik bayang dan itik pitalah. Di samping itik lainnya, seperti itik tegal, itik magelang, itik mojosari, itik cihateup, alabio, rambon, turi, pegagan, dan kerinci.
“Itik pitalah berasal dari Nagari Batipuah Baruah, Kabupaten Tanah Datar dengan warna bulu dominan hitam. Warna pucat itik ini hitam dan kuning. Sementara,itik bayang berasal dari daerah pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan. Warna bulunya dominan cokelat. Warna pucat pada itik bayang hitam. Itik bayang sudah ditetapkan Kementan sebagai plasma nurfah asli melalui SK 2923/Kpts/OT.140/6/2011, itik pitalah SK 2835/Kpts/LB.430/8/2012,” jelasnya.
Varietas itik lainnya dari Payakumbuh, yakni sikumbang jonti dengan bulu dominan warna putih. Warna pucat dari itik ini hitam. Berat itik betinanya 1,27 kg dengan produksi telur 190-210 butir/tahun.Selama ini sikumbang jonti digunakan untuk lomba pacu itik sebagai wisata tahunan. Dalam lomba itu, itik diterbangkan dan yang paling cepat sampai di tujuan jadi pemenang.
Syanijal Datuk Sinaro (Lampung)