Foto: Rizal M. Damanik
Data stunting di Indonesia cukup tinggi 24,4%
Perlu asupan gizi dan protein hewani untuk pencegahan dan pengendalian stunting di Indonesia.
Indonesia akan memasuki peringatan kemerdekaan ke 100 tahun pada 2045. Pada usia emas tersebut diharapkan bangsa ini diperkuat oleh generasi emas yang sehat, cerdas, ramah dalam berinteraksi, dan unggul. Menurut Prof. drh. M. Rizal Martua Damanik, MRepSc.,Ph.D., Deputi Kepala Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan, Badan Kependudukan & Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),untuk mencapai generasi emas, ada permasalahan yang harus diselesaikan, yaitu mengurangi angka stunting.
Pemerintah sebenarnya sudah cukup serius menanggulangi masalah tersebut. Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin mengatakan, selama empat tahun prevalensi stunting telah turun dari 30,8% pada 2018 menjadi 24,4% pada 2021. “Pemerintah memiliki target penurunan stunting 14% pada 2024.Penurunan tersebut difokuskan pada 12 provinsi yang angka prevalensi stunting-nya tinggi,” ungkapnya pada acara Forum Nasional Stunting di Jakarta (6/12).
Angka Stunting Indonesia
Rizal mengulas, stunting merupakan gangguan tumbuh kembangakibat kurangnya asupan gizi kronis yang ditandai dengan tinggi badan berada di bawah standar Kementerian Kesehatan. Berdasarkan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2022, prevalensi stunting nasional berada pada angka 24,4% atau setara 5,33 juta balita.
“Lima provinsi paling tinggi prevalensi stunting-nya adalah Nusa Tenggara Timur 37,8%, Sulawesi Barat 33,8%, Aceh 33,2%, Nusa Tenggara Barat 31,4%, dan Sulawesi Tenggara 30,2%. Angka tersebut sangat tinggi karena PBBmengatakan maksimal suatu negara hanya 20% angka stunting-nya. Angka tersebut mengganggu citra Indonesia di mata dunia. Pembangunannya maju tetapi ada stunting yang tinggi,” ungkap Rizal pada seminar bertema “Pentingnya Asupan Gizi dan Protein Hewani” bersamaan pameran ILDEX Indonesia 2022 di Tangerang, Banten (9/11).
Masih menurut Rizal, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala BKKBN untuk melakukan percepatan penurunan stuntingkarena selama ini angka penurunan masih terbilang kecil. “Pada 2021 hingga sekarang mengalami penurunan stunting dari 27,7% menjadi 24,4%. BKKBN terus berupaya agar stunting berkurang, InsyaAllah ada angka baru pada Januari 2023,” katanya.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menimpali, sesuai arahan Wapreskegiatan penurunan stunting dilakukan BKKBN bersinergi bersama lembagalainnya agar optimal. Dengan demikian proyeksi 2024 target stunting14% dapat tercapai. “BKKBN, lembaga, perguruan tinggi, tim percepatan penurunan stunting, dan lainnya telah melakukan kegiatan di 12 provinsi angka stunting-nya tinggi,” ujar Hasto.
Penyebab Stunting
Rizal yang menyelesaikan S1 Fakultas Kedokteran Hewan, IPB University ini merinci faktor penyebab stunting. Pertama, praktik pengasuhan bayi yang tidak baik, yaitu kurangnya pengetahuan sang ibu tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan. Sebanyak 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusifdan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping MP-ASI.
Kedua, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Antenatal Care (ANC) atau perawatan kehamilan dan pembelajaran dini yang berkualitas. Faktanya dua dari tiga ibu hamil (bumil) belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai. Tingkat kehadiran anak di Posyandu juga menurun dari 79% pada2007 menjadi 64% saat2013. Mereka tidak mendapatkan akses yang memadai ke layanan imunisasi. Perawatan kehamilan itu sangat penting untuk tumbuh kembang bayi.
Ketiga, kurangnya akses makanan bergizi, sehingga satu dari tiga bumil mengalami anemia. Keempat, kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Datanya, satudari lima rumah tangga masih BAB di ruang terbukadan satudari tigarumah tangga belum memiliki akses air bersih.
“Stunting bukan hanya tentang konsumsi makanan bergizi tapi sanitasi dan air bersih juga dapat menyebabkan stunting. Contoh, hasil komoditas pangan dicuci dengan air yang terkontaminasi. Serta masih ada saudara kita buang air besar (BAB) tidak di jamban. Cegah stunting tidak hanya satu lembaga tapi lintas sektor bekerja sama. Akses air bersih dari Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pangan dari Kementerian Pertanian, dan lainnya,” uraipenemu torangun, tanaman pelancar air susu ibu tersebut.
Cegah dan Turunkan Angka Stunting
Untuk membangun generasi berkualitas perlu perhatian dari awal sejak calon pengantin. BKKBN, kata Rizal, memulai strategi menurunkan stunting denganmengedukasi calon pengantin. Enam bulan sebelum menikah calon pengantin harus memperhatikan gizi karena akan memasuki periode kehamilan 1.000 hari pertama.
BKKBN mengantongi data keluarga berisiko stunting dan calon pengantin. “Kami mendamping keluarga yang berisiko stuntingini dengan aplikasi ELSIMIL,yaitu aplikasi skrining kesiapan menikah dan hamil. Calon penganting dapat mengisi data diri dan akan diberikan pelayanan secara berkelanjutan. Calon pengantin dapat mengunduh aplikasi tersebut,” terang profesor Ilmu Nutrisi Manusia ini.
Memasuki masa kehamilan,bumil harus mengonsumsi protein dan gizi seimbang untuk calon bayi. Alasannya, 38 minggu masa kehamilan akan mempengaruhi kehidupan di kemudian hari dan seumur hidup. Protein lengkap dan murah dapat ditemukan dalamsatu butir telur. Berdasarkan hasil riset,lanjut dia, telur dapat mempercepat pertumbuhan. Hal ini terbukti dari penelitian program pemberian telur one day one egg atau satu hari satu telur selama 6 bulan kepada 298 balita stuntingdi Kabupaten Pandeglang, Banten.
Bayi-bayi tersebut diukur bobot badan dan tinggi badannyasetiap minggu, dua minggu, dan satu bulan. Hasilnya, ada kenaikan rata-rata bobotbadan dari 11,1 kg menjadi 13,5 kg, tinggi badan dari 86,1 cm menjadi 90 cm, terdapat penurunan presentase balita stunting sebanyak 11,5%.
Ia merinci, satu butir telur mengandung 75 kalori, 7 g protein kualitas tinggi, 5 g lemak, 1,6 g lemak jenuh, vitamin, mineral, karotenoid, dan 30 mg DHA. Telur juga tinggi kolin yang dibutuhkan dalam pembelahan sel dan pertumbuhan sel.
“Konsumsi telur setiap hari selama 6 bulan dalam periode MP-ASI dimulai pada usia 6-9 bulan dapat peningkatan pertumbuhan linier dengan z-score panjang untuk usia 0,63 serta peningkatan perkembangan kognitif. Konsumsi sebutir sehari terbukti menurunkan prevalensi stunting 47% dan underweight (kurus) 74%. Contoh, suplementasi duatelur per hari selama 6 bulan dapat meningkatkan parameter pertumbuhan pada anak usia sekolah usia 6-9 tahun di pedesaan Uganda,” tegas pria lulusan S2 Fakultas Kedokteran, Monash University Australia.
Karena itulah masyarakat, terutama ibu dan balita perlu meningkatkan konsumsi telur sebagai upaya membentuk generasi berkualitas untuk masa mendatang.
Sabrina Yuniawati