Foto: Dok. BFarm
Selada lolorosa, salah satu produksi Bfarm
Atap datar masjid bisa disulap jadi kebun sayuran hidroponik. Umat dapat bersedekah sekaligus memutar ekonomi.
Budidaya hidroponik di atap rumah (rooftop) jadi primadona saat ini karena keterbatasan lahan pekarangan rumah. Salah satu pelaku usahanya adalah Irda Nur Ismi. Aparat Sipil Negara di Kementerian Dalam Negeri ini melihat peluang memanfaatkan atap datar masjid Al Ma’rifah yang luas di lingkungannyadi Kelurahan Rawa Buaya, Kec. Cengkareng, Jakarta Barat untuk bertanam sayuran.
Irda memulai budidaya hidroponik pada saat awal Covid-19 melanda Indonesia, tepatnya Mei 2020. “Pada saat puasa di masa pandemi saya bersama Pak Bambang, salah satu tetangga, membuat hidroponik. Sebelum pandemi sebenarnya sudah dibuat tapi kami mengerjakannya malas-malasan hingga akhirnya vakum selama satu tahun. Saat pandemi dicoba lagi karena Work From Home (WFH) juga, mulailah kami membeli kebutuhan budidaya,” ungkapnya saat ditemui AGRINA (31/8).
Perjalanan Usaha
Lebih jauh Irda menjelaskan, awal mencoba hidroponik di balkon rumahnya sendiri menggunakan sistem wick dengan botol mineral 600 ml. Lalu ia melirik atap datar Masjid Al Ma’rifah berukuran kurang lebih 250 m² yang kosong untuk memperluas kapasitas produksinya.
“Hidroponik di atap masjid dengan sistem Deep Flow Technique (DFT). Ini bukan program masjid, tapi inisiatif saya bersama Pak Bambang sebagai jama’ah dan warga setempat. Memanfaatkan lahan kosong untuk ruang terbuka hijau plus tempat healing (penyegaran) dari rutinitas kerja,” terangnya.
Hasil panen pertama “kebun” hidroponik yan diberi nama Berkah Farm (Bfarm) ini disedekahkan ke masjid untuk memperkenalkan masyarakat setempat tentang hidroponik. Namun, bapak yang hobi baca buku ini melihat bagi-bagi sayuran atau sumbangsih tidak akan memutar biaya produksi. Karena itulah kegiatan bertanam hidroponik tersebut mereka jadikan bisnis agar dapat mengembalikan modal pribadi, bukan dari uang masjid. “Mulailah kami jual hasil budidaya ke masyarakat, tapi tidak meninggalkan program sedekah yang dilakukan setiap Jumat,” katanya.
Modal awalnya kurang lebih Rp1,55 juta untuk membeli sarana budidaya dari paralon, rockwool, bak penampung nutrisi, dan lainnya. Total modal dapat diwujudkan untuk bertanam 240 lubang. “Awalnya tidak hitung break even point (BEP) atau biaya tetap karena fokus untuk sedekah masjid. Tetapi kalau dihitung-hitung BEP penjualan rutin, kira-kira 6-7 bulan modal awal sudah kembali. Itu hitungan untung bersih, bukan bruto,” urai bapak tiga anak itu.
Hitungan Irda, dari 240 lubang yang ditanami sawit samhong dan kangkung menghasilkan masing-masing 5 kg/ bulan. Sayuran dibanderol Rp18 ribu-Rp20 ribu/kg. Seiring berjalannya waktu, penjualan meningkat sehingga ia menambah kapasitas menjadi 500 lalu 1.000 lubang tanam. Berbagai macam sayuran pernah ditanam, seperti kangkung, samhong, bayam, pakcoy, caisim, selada merah, selada keriting hijau, selada iceberg, selada butterhead, basil, sawi dakota, siomak, dan romaine.
“Sekarang menuju 5.000 lubang tanam. Namun hanya enam komoditas sayuran saja dibudidayakan yaitu kangkung, selada keriting hijau, selada lolorosa karena permintaan stabil. Lalu sayuran baru seperti siomak, bayam Jepang mizuna dan lorenzo. Tiga komoditas baru ini ada permintaan dan harga jual juga lumayan Rp25 ribu/kg, jadi dicoba untuk budidaya,” bebernya.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 339 terbit September 2022 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.