Foto: Dok. Rully Permana
Telur asin dibalut dengan pasta dan abu kemudian dikemas
Peluang pasar telur itik masih sangat besar, tapi konsistensi sumber produksi masih jadi kendala.
Bisnis dan budidaya itik lokal di Indonesia terus berkembang serta bertumbuh. Namun jumlah produksi yang dihasilkan belum diimbangi dengan kualitasnya. Tak mengherankan para pelaku usaha belum banyak membidik pasar ekspor yang terbuka. Mereka kebanyakan hanya melayani pasar domestik.
Di samping itu, permintaan akan daging dan telur itik yang meningkat belum banyak diikuti oleh ketersediaan bibit itik berkualitas. Peran pemerintah,dalam hal ini BalaiPenelitian Ternak Ciawi beserta pihak swasta, sangat dibutuhkan untuk terus meneliti dan merakit galur itik unggul.
Rully Lesmana, peternak dan pelaku bisnis telur asin UD Surya Abadi yang berbasis di Karawang, Jabar, mengamini hal itu. Ia memilih pasar ekspor dengan alasan harga lebih stabilmeskipun besarannyatidak jauh berbeda dibandingkan harga jual telur di dalam negeri.Di gerai Giant Singapura, satu kemasan isi empat butir telur asin bikinan Malaysia dibanderol Sin$2,5 atau Rp6.700/butir.
Bicara kualitas, Rully mengungkap pernah mengalami kegagalan ekspor dan terpaksa memusnahkan 60 ribu butir telur asinnya lantaran tercemar mikroba. Telur asin yang diambil dari peternak tersebut juga mengandung pewarna merah.Jadi, produk tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan negara pengimpor.
“Sebelum melakukan standarisasi produk, kegagalan produksi mencapai 30%,” bahas pria yang sudah mengekspor telur asin ke Singapura sejak 2011 ini dalam seminar yang digelar Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) saat Indo Livestock 2022 Expo & Forum di JCC, Senayan, Rabu (6/7).
Hikmah kegagalan tersebut memantapkan tekad Rully membangun peternakan itik sendiri di daerah Subang, Jawa Barat dan memperbaiki mutu kualitas produknya. Ia pertama kali mencoba beternak itik Alabio, tapi kini sudah beralih ke Master, petelur unggul rakitan BPT Ciawi dengan puncak produksi mencapai di atas 90%. Sayangnya, bibit itik hibrida ini masih sulit dicari.
Meningkatkan Standarisasi
Saat ini, ungkap Rully, UD Surya Abadi memiliki kapasitas produksi 50 ribu butir telur asin per hari. Selain melayani pasar domestik, ia juga merambah beberapa negara, yaituSingapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, Australia, Uni Emirate Arab, Amerika Serikat, dan Brunei Darussalam.
Lebih jauh menjabarkan kegagalan produksi sebelum melakukan standardisasi produk, ia mengakuinya cukup besar. Hal ini akibat usaha produksi yang masih bersifat tradisional. Semisal dari sisi pengemasan, masih menggunakan peti telur bekas ayam ras atau peti buah. Di sisi dalamnya menggunakan jerami dan tanah liat. Telur tidak melalui proses pencucian. Padahal, ulas dia, telur asin yang melewati beberapa tahap pencucian secarabenar, masa simpannya semakin panjang.