Foto: Dok. Saraswanti Anugerah Makmur
Dinamika harga pupuk K
Dipupuk, biayanya mahal banget. Tidak dipupuk, dampak buruknya sampai dua tahun ke depan. Terus bagaimana?
Itulah dilema yang dihadapi para pekebun sawit besar dan kecil saat ini. Harga pupuk melangit dua kali lipat, sementara harga tandan buah segar (TBS) melemah. Mereka harus putar otak agar performa tanaman tetap baik dengan biaya terjangkau. Persoalan pelik ini mengemuka dalam webinar “Ngobrol Bareng GAPKI: Outlook Harga Pupuk dan Strategi Menghadapinya” 5 Juli silam.
Mengapa Harga Menjulang?
Harga minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) yang sangat baik pada 2021 dengan rata-rata US$1.194/ton berlanjut sampai semester pertama 2022. Titik puncaknya pada 9 Maret sebesar US$2.010/ton. Setelah itu harga cenderung menurun hingga awal Agustus mencapai US$1.040/ton. Di sisi lain, kinclongnya CPO juga diikuti kenaikan harga sarana produksi seperti pupuk dan pestisida.
Eddy Martono Rustamadji, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), saat mengawali webinar menggambarkan, “Akhir tahun lalu kita punya uang tapi kita kesulitan mendapatkan pupuk karena sangat langka. Baru tersedia lancar kuartal satu tahun ini, tapi harganya naik hampir 100%. Waktu itu saya ingat beli pupuk masih Rp5.500/kg, sekarang sudah di atas Rp10 ribu/kg.”
Sebelum ada larangan ekspor sawit 28 April, harga CPO di dalam negeri Rp17 ribu/kg, sementara harga TBS Rp3.600/kg. “Sekarang harga CPO turun drastis tinggal Rp7.700/kg. Biaya produksi TBS naik dari Rp1.000/kg menjadi rata-rata Rp1.100-Rp1.400/kg untuk perusahaan, sedangkan petani Rp1.800/kg,” ungkap Eddy.
H. Yahya Taufik, Direktur Utama PT Saraswanti Anugerah Makmur, Tbk. (SAM), menjabarkan situasi bisnis pupuk terkini. “Mengapa harga pupuk naik? Ya, karena harga bahan bakunya naik. Harga pupuk di dalam negeri tidak terlepas dari harga internasional karena pupuk merupakan komoditas internasional. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu harga minyak bumi, harga gas alam, kurs dolar, supply-demand pupuk, geopolitik, anomali, yaitu pandemi dan perang Ukraina-Rusia, dan harga internasional,” ujar Yahya.
Harga hara makro, yaitu nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K), lanjut dia, sangat terpengaruh harga minyak bumi karena termasuk hasil tambang yang menggunakan minyak bumi dalam operasional, logistik, dan transportasinya. Indonesia masih mengimpor bahan baku P dan K lebih dari 50%. Sedangkan sumber N, kita cukup kaya, bahkan jadi salah satu produsen urea terbesar di dunia.
Dirut SAM sejak 2016 itu melanjutkan, geopolitik ekonomi sangat kental mewarnai perdagangan pupuk dengan China. China menerapkan pajak ekspor ketika kebutuhan dalam negerinya tinggi. Saat ini China tidak menerapkan pajak, tetapi menciptakan hambatan perdagangan nontarif, yakni bahan pupuk yang diekspor harus diverifikasi dulu paling tidak dua bulan. Padahal, kita mengimpor sebagian besar bahan baku berbasis P untuk NPK, MAP, dan DAP dari sana.
Alumnus Universitas Jember tersebut mengatakan, pandemi dan perang Ukraina-Rusia mengacaukan rantai suplai pupuk global karena Rusia termasuk salah satu pemasok K terbesar dunia. Sebelum pandemi, kontrak dengan Rusia dalam 30-45 hari barang sudah sampai Indonesia. Saat pandemi, kita harus buka L/C dua-tiga lapis karena prosesnya 60-90 hari. Kini perbankan Rusia diblokir Eropa dan Amerika Serikat sehingga transaksi harus tunai di depan.
Di antara tiga unsur hara makro, Yahya lebih mengkhawatirkan K. “Tahun ini ada defisit potasium (K) 9%. Kalau perang tidak berhenti hingga akhir tahun, dunia akan mengalami defisit suplai K sampai tiga tahun mendatang. Padahal tanaman sawit butuh K dalam jumlah banyak. Siap-siap cari alternatif untuk menurunkan porsinya,” saran dia.
Dampak Tak Memupuk
Di sisi pekebun, mereka mau tidak mau harus memupuk dengan pilih-pilih strategi yang pas. Menurut Eko Noviandi Ginting, Ketua Kelompok Peneliti Tanah dan Agronomi di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, produksi sawit merupakan hasil interaksi genetik, lahan, iklim, dan kultur teknis di antaranya pemupukan.
Berdasarkan penelitian Iman Yan Harahap di PPKS, dari hasil fotosintesis (asimilat) yang dibentuk tanaman, sekitar 46% digunakan untuk pertumbuhan vegetatif dan 54% untuk perkembangan generatif. “Artinya, selama pertumbuhan vegetatifnya belum terpenuhi dengan baik, maka tanaman akan mengalirkan asimilatnya ke vegetatif dulu. Setelah itu baru ke generatif. Itulah kenapa tanaman yang tidak pupuk sekian lama, ketika dipupuk kembali tanaman produksi TBS-nya tidak langsung naik,” jelas Eko.