Senin, 4 Juli 2022

SAWIT : Merapatkan Jarak Potensi dan Realisasi

SAWIT : Merapatkan Jarak Potensi dan Realisasi

Foto: Dok. BSM
DxP Sriwijaya 1, salah satu varietas keluaran BSM dengan potensi produksi mencapai 32,2 ton/ha

Peningkatan produksi sawit nasional bisa dilakukan dengan peremajaan kebun tua dan pengoptimalan kinerja varietas unggul yang sudah tertanam di kebun.
 
Dalam peta jalan sawit nasional, pada 2023 Indonesia ingin mencapai produksi 60 juta ton minyak. Berarti peningkatan cukup signifikan dari prediksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) 2022 yang sebesar 53,8 juta ton. Bagaimana upaya para pemangku kepentingan sawit di kebun mewujudkannya?
 
 
Peta Masalah
 
Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dalam kesempatan webinar yang diselenggarakan AGRINA akhir tahun silam menyebutkan ada 10 isu strategis perkebunan sawit nasional. Antara lain, laju kenaikan biaya produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), besarnya kesenjangan produktivitas potensi varietas dan realisasinya di kebun, serta realisasi produksi di kebun pembibitan dan di kebun produksi, juga persoalan lambatnya realisasi peremajaan kebun sawit rakyat.
 
Menurut doktor ekonomi pertanian alumnus IPB University tersebut, “Laju kenaikan biaya produksi CPO rata-rata 5% per tahun. Sementara laju kenaikan harga CPO dunia hanya 1,8% per tahun. Diproyeksikan pada 2024 harga CPO sama dengan biaya produksi CPO. Ini berbahaya.”
 
Dalam berbagai kesempatan, Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI menyebut, salah satu kenaikan biaya produksi yang pasti setiap tahun terjadi adalah upah tenaga kerja. Sementara dalam dua tahun pandemi Covid-19 dan berkecamuknya perang Ukraina-Rusia hingga sekarang, sarana produksi, seperti pupuk dan pestisida mengalami lonjakan harga akibat kacaunya rantai suplai global.
 
Dari sisi varietas unggul, “Ada gap (kesenjangan) yang lebar antara produktivitas potensi varietas dan realisasi. Seharusnya produsen bibit perlu evaluasi mengapa ini,” lanjut Tungkot. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, Kementan, rata-rata produktivitas minyak sawit nasional sebesar 3,6 ton/ha/tahun. Padahal target produktivitas ideal, masih menurut Ditjen Perkebunan,sebesar 8,4 ton/ha/tahun. Sementara GAPKI menargetkan paling tidak 6,9 ton/ha/tahun.
 
 
Bisa Dicapai dengan GAP
 
Menanggapi masalah kesenjangan produktivitas tersebut, Ruli Wandri, Head of Agronomy PT Binasawit Makmur (BSM), anak usaha PT Sampoerna Agro, Tbk., memaparkan dua faktor utama.“Penggunaan lahan marginal yang tidak memiliki daya dukung untuk budidaya tanaman kelapa sawit adalah penyebab kesenjangan produktivitas. Kebutuhan minyak nabati yang meningkat setiap tahun mengakibatkan pembukaan kebun bergeser ke arah lahan marginal yang memiliki faktor pembatas bagi pertumbuhan kelapa sawit. Penanaman benih unggul pada lahan marginal mengakibatkan potensi genetik kelapa sawit tidak tercapai, sehingga usaha untuk mengeliminasi faktor pembatas lahan perlu dilakukan,” ujarnya kepada AGRINA.
 
Di samping itu, lanjut dia, implementasi praktik budidaya yang benar (Good Agricultural Practices - GAP), apalagi di perkebunan rakyat, juga perlu menjadi perhatian. Mulai dari pembibitan, pemeliharaan tanaman belum menghasilkan (TBM), pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM) sampai manajemen panen dan pengangkutan.
 
Alumnus Universitas Brawijaya, Malang, itu, mengungkap, dengan penerapan GAP, kesenjangan produktivitas di perkebunan yang menggunakan DxP Sriwijaya dapat diminimalkan. “Berdasarkan fakta di lapangan, produksi aktual DxP Sriwijaya di kebun komersial yang menerapkan GAP sudah mencapai potensi produksinya. Sebagai contoh capaian produksi salah satu kebun inti di Sumatera Selatan umur 13 tahun mencapai 30 ton ton/ha. Bahkan dengan penambahan bahan organik, produksi mencapai 35 ton/ha dari potensi produksi sebesar 29 ton/ha pada kelas lahan kesesuaian S3,” ulas pria yang membangun karier di Sampoerna sejak 2012 ini.
 
 
PR Peremajaan
 
Secara khusus ia menyoroti tentang program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang tengah berjalandengan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Peremajaan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sawit nasional melalui penggunaan benih unggul bersertifikat dan pengelolaan kebun yang baik.
 
“Sebagian besar petani swadaya tidak menggunakan benih unggul sebelumnya karena sulitnya akses terhadap benih unggul bersertifikat.Data Pusat Penelitian Kelapa Sawitmenunjukkan,93%- 97% lahan petani swadaya di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan menggunakan benih atau bibit yang terkontaminasi dura sebesar 25%-50%. Program PSR diharapkan dapat mengganti tanaman-tanaman yang sudah tidak produktif dengan bahan tanam yang berkualitas dengan kontaminasi dura <2% dan memiliki potensi produksi yang tinggi. Dampak positif peremajaan yang dimulai pada tahun 2020 akan menunjukkan hasil setelah 10 tahun kemudian ketika tanaman mencapai produksi optimal pada umur 9-13 tahun,” tuturnya.
 
Penggantian tanaman menggunakan varietas unggul tentu harus diikuti dengan penerapan GAP. Pihak BSM menemukan beberapa standar GAP yang belum diterapkan di kebun rakyat. Misalnya, diagnosis unsur hara tanah dan nutrisi tanaman untuk mendapatkan rekomendasi pupuk yang cukup dan berimbang. Hal ini dapat dilakukan melalui pendampingan praktisi ahli dengan dukungan sarana laboratorium yang memadai.
 
Selain itu, imbuh Ruli, manajemen panen dengan interval panen minimal tigakali dalam satu bulan.Sistem panen tersebut bertujuan untuk menekan kehilangan produksi dan meningkatkan kualitas minyak. “Kegiatan penyisipan tanaman abnormal atau mati pada periode TBM juga belum menjadi perhatian pekebun rakyat. Padahal, populasi tanaman yang ideal dan produktif per hektar akan menjaga produktivitas tanaman kelapa sawit,” katanya.
 
Dengan perbaikan GAP, salah satu kebun plasma binaan PT Sampoerna Agro yang mengikuti program peremajaan (replanting) sudah mencapai 12 ton/ha pada umur 4 tahun (TBM 1). Performa ini sudah mencapai potensi sesuai kelas kesesuaian lahan.
 
Sebagai produsen benih, BSM tentu menginginkan para pelanggan mencapai produkvitas sesuai potensi optimalnya. BSM memproduksi benih unggul DxP Sriwijaya dengan keunggulan spesifik. Untuk mengoptimalkan potensi produksi diperlukan rekomendasi varietas sesuai dengan karakteristik lahan pelanggan.
 
Selain itu, benih unggul DxP Sriwijaya terintegrasi dengan laboratorium pengujian dan layanan agronomi. Fungsi laboratorium pengujian ini untuk pendukung kegiatan agronomi, seperti analisis tanah dan daun untuk rekomendasi pemupukan. Laboratorium juga berperan penting dalam pengujian kualitas pupuk dan pestisida.
 
BSM pun menyediakan layanan agronomi meliputi survei dan evaluasi lahan, rekomendasi pupuk, evaluasi produktivitas, dan konsultansi proteksi tanaman.  
 
Penanaman menggunakan benih unggul sesuai karakteristik lahan dan penerapan GAP, kesenjangan produktivitas antara di kebun bibit dan kebun komersial, termasuk kebun rakyat, dapat diminimalkan.
 
 
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain