Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Pemilihan lokasi yang tepatmendukung keberhasilan budidaya ikan
Beberapa faktor penting membuat Febrimarta Pratamasukses membudidayakan nila dan bermitra dengan pembudidaya sekitar.
Meredupnya era keemasan komoditas perkebunan, berupa kopi dan lada hitam (lampung black pepper) tidak membuat warga di Kecamatan Tanjungraja dan Abung Tinggi di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung frustrasi. Mereka move on dari dulunya berkebun kopi dan lada menjadi pembudidaya ikan nila yang prospeknya cukup terbuka lebar.
Pasar nila tidak saja di Lampung tetapi juga terbuka hingga kota-kota di provinsi tetangga Sumatera Selatan (Sumsel) seperti Baturaja, Martapura, Kayuagung,hingga Palembang. Apalagi sejak setahun terakhir, sentra budidaya nila di Kabupaten Musirawas, Sumsel sedang stop karena ada rehabilitasi irigasi.
Tidak saja petani atau pekebun yang terjun menjadipembudidaya nila di Lampung Utara, tetapi anak SekolahPerikanan mulai mengembangkan budidaya ikan. Tentu saja dengan dibekali latar belakang teori teknis budidaya dan modal, usaha mereka berkembang pesat.
Lele
Di antara “anak sekolahan” yang terjun ke kolam seusai mengenyam pendidikan perikanan, terdapat nama Febrimarta Pratama, warga Desa Srimenanti, Kecamatan Tanjungraja.Setamat Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta jurusan Teknologi Akuakuktur tahun 2014, Robin, begitu teman-temannya biasa memanggil, mengawali karierdengan bekerja di perusahaan perikanan pembesaran kerapu pada keramba jaring apung (KJA) di Bali selama satu setengah tahun.
Selanjutnya, Robinpindah ke tambak udang di Bunut, Kabupaten Lampung Timur selama dua tahun. Kemudian,ia beralih haluan dengan menjadi sales pakan ikan.Sembari menjadi sales pakan, Robin mulai menjalankan budidaya nila yang di awali dari dua kolam, masing-masing 2.500 m2 pada lahan sawah milik keluarganya.
Setelah budidaya nila berkembangdan menghasilkan keuntungan yang lumayan, pada tahun 2018 ia juga mencoba menebar benih lele.Untuk membuat kolamsertamodal benih dan pakan, ia mengumpulkan dana sekitar Rp40 juta yang sebagiannya pinjaman bank. “Kalau untuk konstruksi kolam,biayanya relatif murah yakni sekitar Rp2 juta/kolam. Yang paling besar adalah biaya untuk membeli pakan,” kenang Robin.
Pria kelahiran Tegal, Jawa tengah,22 Februari 1991 itutidak lama menekuni budidaya lele dengan alasan angka kelulusan hidup (survival rate, SR)lelerendah,hanya 30%-32% sehinggahasilnya tidak banyak. “Lele dibesarkan selama dua setengah bulan hingga mencapai ukuran 6-7-8 ekor/kg. Lalu penyakit lele juga banyak, seperti insang merah,” ujarnya.
Ia lantas memilih fokus membudidayakan nila. Robin mengakui budidaya lele lebih ribet karena perlu sortir pada usia sebulan. Jika lele tidak disortir,akan terjadi kanibal dan lele yang kecil lambat perkembanganya karena tidak kebagian pakan. SR lele rendah karena selain terjadi kanibal, juga rentan penyakitdibandingkan nila sehingga tingkat kematiannya lebih tinggi.
“Margin keuntungan budidaya nila lebih besar dibandingkan lele per siklusnya. Akan tetapi karena lele per siklusnya hanya dua bulan dan nila selama empat bulan, kalau dihitung jadinya ya beda-beda sedikit. Persoalannya di lele, selisih harga jual di tingkat petani dengan pasar terlalu tipis, sementara harga pakan ikan sudah mengalami 4 kali kenaikan pada tahun ini,” urainya.
Nila
Untuk budidaya nila, lanjutRobin, pembudidaya di Tanjungraja sudah tidak kesulitan benih. Sebab selain dari Tanjungraja sendiri,banyak benih didatangkan dari Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, sekitar 30 km dari Tanjungraja. Benihukuran 3 - 5 cm harganya Rp150/ekor. Benih ditebar di kolam tanah dengan kepadatan 10-15 ekor/mlalu dibesarkanselama 4 bulan dan dipanen pada ukuran 8 ekor/kg. Hasil panen dijual dengan harga Rp20 ribu/kg. Sementara,biaya produksi Rp13 ribu–Rp14 ribu/kg. Hasil panen nila dari Desa Srimenanti dijual ke Bukit Kemuning, Kotabumi,dan Palembang.
“Besarnya keuntungan dari budidaya nila memicu banyak warga mengubah sawah dan kebunnya menjadi kolam ikan.Sebab jika dibandingkan dengan hasil padi, keuntungan dari budidaya nila lebih besar hingga 3 kali lipat,” sambung suami Rina Susiati tersebut.
Menurut Robin, budidaya nila yang dia kembangkanlebih berhasil diawali dari pemilihan lokasi yang tepat,yakni di pinggir sungai agar tidak kekurangan air pada musim kemarau. Namun,lokasi tersebut tetap aman pada musim hujan alias tidak rawan terkena banjir. Lalu,ia selalu menebar benih yang berkualitas meski harganya lebih mahal, menggunakan pakan dengan protein tinggi,dan harga jual nila yang stabil.
Mitra
Saat ini Robin memiliki 10 kolam tanah dengan ukuran masing-masing 2.500 m2. Selain menjalankan budidaya sendiri,ia menjadi agen pakan ikan untuk wilayah Tanjungraja dan Abung Tinggi serta menampung hasil panen ikan. Iajuga menjalankan kemitraan dengan pemdudidaya di wilayahnya dengan memberikan pinjaman 30%dari kebutuhan pakan dan menampung hasil panen pembudidaya mitra.
Awalnya sebagai agen pakan,ia menjual pakan secara putus. Namun,banyak pembudidaya ikan yang kekurangan modal untuk membeli pakan sehingga ia bantu dengan perjanjian hasil panen disetor kepadanya. Rata-rata pembudidaya ikan yang bermitra dengan Robin menebar benih lele dan nila. Saat ini Robin menampung 60-70 ton ikan per bulan dari semua mitra di Kecamatan Tanjungraja dan Abung Tinggi. Hasil panen dari kolamnya sendiri rata-rata 3-4 ton per bulan.
Soal kendala dalam kemitraan, menurut Robin, secara umum adalah soal utang-piutang,produksi ikan tidak sesuai dengan prediksi, bahkan ada mitra yang gagal panen karena kebanjiran atau ikannya mati massal walaupun jarang terjadi.“Lalu keuntungannya, jelas omzet penjualan pakan lebih stabil karena sudah ada kepastian pembudidaya yang akan menyerapnya,” tambah dia. Robin menghabiskan pakan berkisar 10-15 ton/bulanuntuk kolamnya. Lalu,pakan yang disalurkankepada pembudidaya di daerahnyasebanyak 100-150 ton/bulan.
Ia mengungkap,benih dan pakan merupakan dua komponen produksi yang amat menentukan keberhasilan dalam budidaya ikan air tawar. Oleh karena itu,para pembudidaya berburu benih ikan berkualitas baik dan unggul serta pakan yang bermutu. Ia meyakini, kestabilan produksi ikan bisa dicapai karena ada konsistensi pabrik dalam mempertahankan standar bakan baku pakan yang digunakan sehingga mutu pakan yang dihasilkan tetap terjaga dari waktu ke waktu. Lalu,kadar protein pakan juga harus stabil sehingga pertumbuhan nila menjadi optimal.
Infrastruktur Jalan
Menyinggung soal kendala budidaya nila, menurut Robin adalah kesulitan air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Pada musim hujan nafsu makan ikan juga turun sehingga pertumbuhan melambat.
“Lantas, infrastruktur jalan yang hancur sehingga menyulitkan dan menambah besar biaya transportasi pakan, bibit(benih),dan hasil panen.Bahkan,ada sentra produksi ikan di Desa Sukamulya yang masih berupa jalan setapak sehingga biaya transportasi pakan dan hasil panen mahal,” aku bapak dari Abrizam Gibran Pratama tersebut.
Ia menyebutkan, untuk mengangkut 3ton ikan butuh ongkos ojek sebesar Rp2 juta. Padahal,panen di desa tersebut mencapai 30 ton/siklus dari kolam seluas 4 ha. Di kawasan ini sumber air pun melimpah yang merupakan hulu sungai Way Rarem.Karena akses jalan yang rusak,juga menyebabkan pengangkutan ikan ke Palembang terpaksa menggunakan mobil kecil berupa L-300 yang hanya mampu memuat 8 kuintal ikan. Padahal,produksi nila dari Desa Srimenanti bisa mencapai 6 ton sehari.
Lulusan SUPM Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, Lampung itu menambahkan, di desanya sudah dibentuk kelompok pembudidaya ikan yang beranggotakan sekitar 130 pembudidaya. Penyuluhan dari Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Utara juga sudah berjalan. Bahkan, tiap tahun ada bantuan benih namun jauh dari cukup.
Syafnijal DatukSinaro (Lampung)