Foto: Dok. Kementerian Perdagangan
Kenaikan harga input produksi
Naiknya harga bahan baku pakan dan ongkos angkut membuat biaya produksi praktis mengikuti.
Akhir-akhir ini harga telur dan daging ayam ras mengalami kenaikan baik di tingkat produsen maupun konsumen. Hal ini disinyalir lantaran mahalnya harga bahan baku pakan yang membuat terbentuk struktur biaya produksi baru di sektor perunggasan.
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Perekonomian Republik Indonesia menuturkan, harga ayam hidup (livebird – LB) di tingkat peternak cenderung fluktuatif di tahun ini. Tercatat, rata-rata harga LB per 4 Juni 2022 seharga Rp21.700/kg.
Begitu pula harga telur, di tingkat peternak pada awal 2022 sempat mengalami penurunan namun Februari hingga Juni cenderung terus meningkat. Harga per 4 Juni 2022 tercatat Rp25.700/kg.
“Sementara harga di tingkat konsumen daging ayam ras Rp38.000/kg dan telur Rp29.000/kg,” bahasnya dalam diskusi Indonesia Poultry Business Forum yang digelar Kadin, Rabu (8/6).
Musdhalifah menyebut, tingginya harga sapronak seperti pakan, bahan baku pakan, serta DOC membuat industri perunggasan nasional kerap menemui tantangan. Hal ini membuat harga on farm ayam hidup dan telur ayam ras sering berada di bawah harga acuan Permendag No.7/2020. Belum lagi, tingkat konsumsi protein hewan per kapita nasional masih terhitung rendah.
“Bahan pakan strategis masih harus impor, serta stabiltas jagung pakan belum terjadi keseimbangan,” ulas dia.
Biaya Produksi Meningkat, Bukan Untung Tinggi Sepihak
Pada kesempatan yang sama, Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menuturkan, naiknya harga telur maupun ayam ras memang disebabkan oleh banyak faktor. Ia menjelaskan, ketika harga telur sedang tinggi, bukan semata-mata perusahaan mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Hal ini lantaran terdapat biaya produksi yang meningkat pula.
“Harga telur naik apakah profit? Belum tentu. Bahkan banyak yang mengatakan rugi karena harga bahan bakunya sudah naik,” ungkap Dawami.
Lebih lanjut ia berujar, naiknya harga bahan baku sudah barang tentu membuat HPP meningkat. Jadi, kenaikan harga telur bukan dipengaruhi oleh produksi ayam atau telur semata, tetapi terdapat faktor lainnya.
Bahan baku pakan ternak yang masih impor praktis membuat harga pakan menjadi berfluktuasi. Apalagi, situasi global saat ini memang tidak bias diatur dari dalam negeri. Jika biaya produksi tidak terlalu tinggi, Dawami meyakini, produk dalam negeri akan memiliki daya saing terhadap produk-produk impor.
Ia menambahkan, ketika harga telur kurang baik, membuat banyak peternak yang mengurangi produksi. Hal ini lantaran keuntungan yang semakin menipis.
Fluktuasi Harga Bahan Pakan
Hal serupa disampaikan Desianto B. Utomo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT). Ia menuturkan, biaya produksi pakan sebesar 80-85% dipengaruhi oleh bahan pakan. Kemudian dalam produksi ungags, biaya pakan mendominasi sebesar 70%.
“Kenaikan harga pakan yang disebabkan oleh kenaikan bahan pakan setiap perusahaan berbeda-beda, tergantung masing-masing anggota. Bukan ranah GPMT menentukan harga pakan,” bahasnya.
Sepanjang 2022, diakui Desianto, tren harga internasional masih tinggi untuk wheat (gandum), crude palm oil (CPO), dan jagung. Adanya beberapa negara yang menghentikan ekspor bahan pangan membuat suplai bahan pakan dunia berdinamika.
Dari sisi harga bahan baku local, tren harga jagung cenderung menunjukkan kenaikan di akhir musim panen pertama. Begitu juga dengan CPO yang ikut berfluktuasi. CPO, ujar Desianto, menyentuh harga tertinggi pada April 2022, di atas Rp20.000/kg. Kemudian harga dedak padi pun tinggi karena peningkatan permintaan bahan pakan local.
Selain kesediaan bahan baku, ia menyoroti ongkos pengiriman. Harga ocean freight atau pengiriman lewat laut mengalami lonjakan tinggi dan diikuti keterbatasan pasokan container. Biaya logisitik menjadi naik. Semula, pengiriman ke Amerika Serikat sebesar US$2.000-US$2.500 pada Januari 2020, pada November 2021 melompat ke US$30.000-US$35.000.
Biaya logistik berpotensi naik lagi yang disebabkan konflik Rusia dengan Ukraina. Indeks pengiriman container global per 4 Maret 2022 sebesar US$9.575 per container ukuran 40 feet. “Angka itu jauh di atas harga GCFI (global container freight index) pada 5 Maret 2021 seebsar US$4.347. pada 10 September 2021 malah menembus US$11.109 per kontainer,” bebernya detail.
Incar Pasar Singapura
Musdhalifah meyakinkan, pemerintah terus berupaya mendorong peningkatan ekspor komoditas produk ungags. Baru-baru ini, pemerintah mencangangkan ekspor ke Singapura. Peluang ini diambil karena saat ini Malaysia tengah menghentikan sementara pasokan livebird ke Negeri Singa tersebut.
Peluang ini, jabar Musdhalifah, sangat terbuka. Mengingat ketentuan untuk ekspor ayam hidup adalah barang bebas kecuali anak ayam (bibit). Kemudian, Indonesia pun belum pernah ekspor ayam ke Singapura. Sejauh ini, proses menunggu approval dariPhytosanitary pihak Singapura.
Iqbal Alim, Kepala Seksi Ternak Unggas Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Ditjen PKH Kementerian Pertanian membenarkan upaya ini. Apalagi, Indonesia tengah surplus daging ayam di dalam negeri sebesar 21,57%, sedangkan telur 11,5%. Jumlah ini juga bisa diandalkan sebagai buffer stock nasional.
Try Surya A, Sabrina Y