Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Narendra Santika Hartana, kontrol lumpur dan sedimen untuk mencegah AHPND
Mitigasi melalui peningkatan disinfeksi hingga pemantauan status kekebalan udang menjadi catatan yang perlu diperhatikan.
Industri pertambakan udang di Pulau Bangka yang berkembang pesat mulai terusik oleh masuknya wabah penyakit kematian dini atau Acute Hepatopancreatic NecrosisDisease(AHPND). Guna mencegah meluasnya serangan penyakit mematikan tersebut, pabrikan pakan udang PT Suri Tani Pemuka (STP) menggelar seminar yang mengupas ihwal penyakit yang juga disebut early mortality syndrome (EMS) tersebut.
Tren
Narendra Santika Hartana, Animal Health - Lab Service Supervisor STPmenerangkan, tren kasus AHPND pada tahun 2021 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2020karena banyak muncul AHPND di lokasi baru. Sedangkan,pada 2020 AHPND hanya terpusat di Pulau Jawa dan Sumatera. Persebaran AHPND dari wilayah Medan, Sumut berada di Kepri dan Sumbardengan menunjukkan pola epidemis
Sebaran AHPND di wilayah Lampung masih berpusat di area Lampung dan Pesisir Barat. Dari bulan Juli-Desember 2021 tidak ada gejala AHPND yang termonitor, hanya beberapa titik di Pesawaran yang bersifat suspect. Persebaran AHPND di wilayah Purwakarta berpusat di Bantendanmenunjukkan tren kasus yang ada di hampir setiap bulan selama tahun 2021.
“Persebaran AHPND di wilayah Gresik paling banyak terjadi di area Tuban dengan pusat outbreak di daerah Jenu dan sekitarnya. Lalu persebaran AHPND di wilayah lainnya yakni di Banyuwangi dan Situbondo, dengan kejadian rata-rata kasus yang cukup tinggi pada tiap bulannya. NTB baru terdeteksi di Juli 2021 dengan sifat outbreak epidemis,” ungkap Narendra.
Berdasarkan surveillance internal Animal Health - Lab Service STP, kata Narendra kepada 150 peserta seminar, selama 2021 ditemukan bahwa lumpur dan sedimen merupakan reservoir utama AHPND. Sehingga,metode pencegahan penyakit kematian dini tersebut harus mengarah pada kontrol lumpur dan sedimen, baik di tandon maupun kolam budidaya.
Dengan demikian, dokter hewan lulusan IPB University itumenjelaskan, perlu perbaikan konstruksi kolam dan rasio tandonuntuk mitigasi penyakit. Pergantian rasio tandon pengendapan dan treatment(perlakuan) diubah dari sebelumnya dominan tandon treatment menjadi dominan tandon pengendapan guna menurunkan bahan organik dan sedimentasi.
Lalu,sosialisasi utilisasi shrimp toilet pada tambak-tambak yang akan dibangunatau direhabilitasiagar proses pembuangan lumpur menjadi lebih maksimal. Penggunaan shrimp toilet sebagai upaya memaksimalkan pembuangan lumpur dan mengurangi risiko lumpur naik saat dilakukan sifon.
Mitigasi
Mitigasi berikutnya yaitu peningkatan disinfeksi. Desinfektan berbahan dasar klorin sudah digunakan terlalu lama pada budidaya udang dan dicurigai mengalami resistensi sehingga efikasinya mengurangi populasi bakteri V.parahaemolyticus(Vp) berkurang. Perlu disinfektan alternatif yang bisa menggantikannya.
Narendra melanjutkan, pirA-pirB adalah toksin yang sangat sulit dihilangkan. Memanfaatkan pengetahuan tentang reservoir AHPND di lumpur, upaya mitigasi AHPND bisa menggunakan koagulator yang bertujuanmengendapkan toksin di dasar kolam agar tidak menyerang udang.
Lalu,aplikasi PSB (Purple Sulfur Bacteria) sebagai salah satu bakteri yang bisa digunakan untuk mengendapkan dan menonaktifkan lumpur di kolam budidaya, sebanyak 2 ppm selama 3 hari sekali. Untuk hasil yang lebih efektif,aplikasi dilakukan langsung di tengah kolam.
Kemudian,tambahkan kapur aktifuntuk mengikat bahan organik sehingga mempercepat proses pengendapan. Ini akan efektif digunakan saat jumlah tandon pengendapan yang dimiliki kurang memadai. “Hasil uji klinis pada bahan humic acid menunjukkan hasil dengan dosis maksimum 0,5 ppm bisa diaplikasikan di kolam budidaya. Atau,dosis 1 ppm untuk tandon dapat menurunkan nilai bahan organik dan konsentrasi toksin AHPND tanpa mengurangi nilai alkalinitas dan menurunkan pH sehingga udang tetap terjaga dari potensi soft shell,” urainya.
Selain memastikan benur yang digunakan berstatus SPF AHPND dan tidak membawa kandungan vibrio (TVC)yang terlalu tinggi,Narendra mengingatkanperlunya pemantauan rutin status kekebalan udang.Pasalnya, udang hanya memiliki sel T (kekebalan selular) maka sifat kekebalannyatidak spesifik dan jangka pendek (cepat naik dan turun). Oleh karena itu,pemberian imunostimulan harus dilakukan dengan frekuensi sesering mungkin.
“Pengukuran efikasi imunostimulan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode.Namun yang paling praktis dan feasibleuntuk tambak udang adalah Total Hemocyte Count (THC) dan Differential Hemocyte Count (DHC). Semakin tinggi nilai THC dan semakin banyak sel granular di DHC maka dapat disimpulkan udang dalam status kekebalan yang baik. Sehingga walaupun tidak secara langsung melindungi dari penyakit tertentu,udang bisa lebih tahan terhadap challenge dari lingkungan,” tambahnya.
Aplikasi AOP
Itang Hidayat,Aquaculture Technology & Development STP menguraikan,penggunaan antibiotik golongan fluoroquinolonedan ciprofloxacinmendorong mutasi bakeri Vpdengan mekanisme efflux. “Resistensi biofilm Vph terhadap disinfeksi dengan menggunakan kaporit pada air lautyang mengandung ion amonium dan bahan organik > 20 ppm,COD merangsang mutasi bakteri Vp. Pada saat blooming bakteri gelombang kedua pascaresidu kaporit sudah hilang dengan diinisiasi by product disinfeksi kaporit berupa THM (trihalomethane) dan chloromine,” tuturnya.
Untuk mengendalikan AHPND, ia menyarankanaplikasi Advanced Oxidation Process (AOP) pada perlakuan air.Pertimbangannya,terdapat kelemahan disinfeksi menggunakan kaporit sehingga menghasilkan produk reaksi samping yang bersifat karsinogen dan mutagen.AOP adalah teknologi dengan daya oksidasi bahan organik dan daya disinfeksi mikroorganisme yang tinggi. Bahan aktif untuk oksidasi dan disinfeksinya adalah radikal hidroksil.Beberapa varian AOP berupa H2O berkatalis nanosilver, H2O2berkatalis nanosilver (AgNPs),Peroxone,O3+H2O2 dengan katalis lampu UV/TiO2,H2O2 dengan katalis lampu UV,H2O2 dengan katalis Mg(OH)2 pada pada pH 9,5 - 10 dan katalis UV.
Cara sterilisasi lahan menggunakan metode AOP sederhana, terang Itang, di awali dengan menebar100 - 200 g/m2 Ca(OH)2, pengisian air 20-30 cm, penambahan H2O2 50% sebanyak 10 -100 ppm,diaduk dengan kincir saat siang hari yang terik.Selanjutnya Mg(OH)2 yang terbentuk dari reaksi Ca(OH)2 dengan ion Mg2+ dari air laut bersama UV dari cahaya matahari, menjadi katalis pembentukan radikal hidroksil dari H2O2 yang ditambahkan.
Lalu, tidak membuang limbah padat keluarlingkungankarena menjadi tempat hidup Vp.“Mengingat sedimenatau lumpur merupakan habitat utama penempelan biofilm VpAHPND, maka mencegah supaya lumpur buangan harian tambakatau saat panen tidak terbuang ke lingkungan merupakan tindakan pengendalian pandemi EMS/AHPND yang sangat terpuji,” ia mengingatkan.
Untuk itu, kolam pengendapan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) harus sesuai dengan beban puncak volume air saat panen.Kolam pengeringan lumpurjuga harus disediakan. Sebab pembuangan limbah cair dan padat langsung ke lingkungan sekitar tanpa pengolahan terlebih dahulu,bisa berakibat pergeseran dominasi sistem alami fotoautotrof(plankton sebagai produsen primer laut) oleh sistem organotrof karena kelimpahan bahan organik dalam air laut.
Indikasinya berupa naiknya konsentrasi bahan organik dan turunnya ORP, perluasan zona pendangkalan di perairan pantaiatau muara sungai,serta penambahan lapisananoxia(rendah oksigen) dan euxinia (tinggi sulfida) di laut.
Itang menggarisbawahi perlunya optimasi pemindahan lumpur menggunakan rekayasa instalasi sludge collector di central drain berbentuk kerucutatau corong terpancung dengan kemiringan memenuhi syarat,minimal 50% untuk proses sedimentasi dan pengumpulan lumpur. Pemindahan lumpur dengan pemompaan berkalasecara otomatis menggunakan pompa limbah submersible. Dengan pembuangan lumpur yang lebih sempurna, risiko pembentukan biofilm Vp di sedimen lebih kecil.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)