Foto: Dok. KKP
Nila diminati di pasar ekspor dan domestik
Indonesia berpeluang memenuhi permintaan fillet nila segar yang semakin meningkat ke pasar AS.
Permintaan ikan nila di pasar dunia relatif stabil di tengah pandemi Covid-19, berbanding terbalik dengan permintaan di pasar domestik yang cenderung menurun. Namun, secara global tren konsumsi nila (Oreochromis niloticus) semakin meningkat meski terjadi perlambatan pertumbuhan budidaya. Apa yang harus dilakukan pembudidaya nila supaya bisa terus memenuhi pasar ekspor maupun lokal?
Produsen Terbesar
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia sebagai produsen nila terbesar kedua dunia setelah China. Pada tahun 2020 Indonesia mengekspor sebanyak 12,29 ribu ton ikan yang dikenal dengan nama internasional tilapia itu. Nila yang diperdagangkan di pasar global dalam bentuk nila utuh segar, nila utuh beku, fillet nila segar, dan fillet nila beku.
Dr. Suhana, MSi, Peneliti bidang Ekonomi Kelautan Indonesia Ocean Juctice Initiative (IOJI) menjelaskan, setiap tahun ada peningkatan permintaan nila secara global tapi pertumbuhan produksinya cenderung melambat. Pada periode 2010-2019 pertumbuhan produksi nila di 2011 sebesar 10,55% sedangkan tahun 2019 sekitar 1,66%. Artinya, produksi nila dunia ada sedikit pelambatan walaupun meningkat dari segi volumenya.
Konsumen utama nila di pasar global adalah Amerika Serikat (AS). Sebagai konsumen utama dengan pangsa pasar 51,44%, AS mendatangkan nila dari China, Indonesia, Thailand, Brasil, Meksiko, Taiwan, Ekuador, Kostarika, Honduras, dan Vietnam. Selain udang, salmon, dan tuna, nila sangat popular karena mudah disiapkan dan serba guna. Pasar AS menyukai produk fillet nila dalam kemasan beku ataupun segar.
Suhana menambahkan, tahun 2012 ekspor fillet nila beku ke AS mencapai 75% dan pada tahun 2020 menjadi sekitar 63,35%. “Ini menarik karena ada peningkatan permintaan produk fillet fresh (segar). Artinya, menjadi peluang besar Indonesia untuk mengembangkan ikan nila,” katanya. Jika ingin meningkatkan nilai ekspor produk nila Indonesia ke AS, ia menyarankan untuk meningkatkan produk fillet nila segar.
Pada 2012 China dan Indonesia merupakan negara 2 terbesar pemasok nila ke AS dengan pangsa pasar masing-masing 66,89% dan 7,95%. Menurut Dosen STIE Muhammadiyah Jakarta itu, fenomena menarik terjadi di tahun 2020. Yaitu, pangsa pasar China turun karena pengaruh perang dagang AS-China sejak 2019. Sayang, penurunan ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia. Padahal jika bisa menguasai pasar AS saja, sudah luar biasa. Negara-negara di sekitar AS seperti Honduras dan Kolombia, justru lebih memanfaatkan kondisi tersebut.
Data perdagangan nila dunia menunjukkan ada pergeseran pemasok nila ke AS. Pangsa pasar Honduras dan Kolombia naik menggantikan posisi Indonesia. “Walaupun share Indonesia tidak terlalu besar penurunannya, yaitu menjadi 7,66% namun angka ini harus menjadi perhatian. Bagaimana produk Indonesia bisa kalah dengan produk Kolombia dan Honduras, bisa jadi terkait daya saing, ongkos atau biaya tarif yang dibebankan,” ujar Suhana pada webinar “Optimalisasi Produktivitas Budidaya Nila.”
Menanggapi hal ini, Guruh Afrianto, Manager Pembenihan Ikan PT Sinta Prima Feedmill mengatakan, perlumewaspadai penyebab Indonesia belum bisa menangkap peluang yang ada. Dengan lokasi budidaya yang berbeda-beda, banyak keragaman teknis dalam pengembangan produksi. Di Indonesia pun tidak mudah mencapai produksi nila di atas sejuta ton per tahun.
Ia menambahkan, pada 2020 banyak negara rising start misalnya Amerika Latin dan Afrika mulai melirik nila sebagai komoditas utama dan bisa mengancam Indonesia. “Menyangkut masalah competitiveness (daya saing), tahun 2012 biaya produksi nila per kg masih di bawah Rp12 ribu. Tetapi tahun 2020 ke atas, sudah mendekati level Rp20 ribu/kg. Kita bisa bayangkan bagaimana daya saing kita untuk merebut pasar ekspor. Akibatnya, 1,2 juta perkiraan produksi ikan nila per tahun, 97% dinikmati pasar domestik dan itu sangat rentan terhadap terjadinya fluktuasi harga dan lain-lain,” terang Guruh.
Di pasar lokal, Agus Cahyadi, praktisi budidaya nila memaparkan tren perubahan konsumsi nila. Menurut Agus, saat ini animo masyarakat mengonsumsi nila cukup menarik perhatian baik untuk kudapan siap saji maupun jajanan di angkringan atau emperan jalan. Keberadaan marketplace seperti GoFood dan GrabFood menjadi bagian penting dalam perkembangan industri nila. “Demand (permintaan) yang tinggi inilah harus menjadi target kita ke depan. Ini menjadi demand luar biasa. Sebenarnya pasar domestik kita juga kuat karena perubahan pola makan kita sudah banyak variasinya,” ujarnya.
Budidaya
Di sisi hulu, Guruh mengatakan, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam budidaya nila. Pertama, ketersediaan benih unggul untuk keberlangsungan produksi. “Dari sisi benih sangat menarik karena variabel ini memberi kontribusi yang tinggi terhadap biaya produksi, di samping pakan. Karena variasi benih, biaya produksi itu Rp1.700-Rp4.600 per kg. Ada potensi kerugian Rp3.000/kg kalau kita tidak hati-hati akibat kematian,” ulasnya.
Kedua, indikasi penurunan produksi dengan isu lingkungan dan penyakit. Ketiga, benih yang beredar umumnya belum mempunyai kemampuan beradaptasi dan rentan penyakit. Keempat, terjadi penurunan perfoma pertumbuhan, nilai konversi pakan (FCR), dan tingkat kelulusan hidup (SR) yang berakibat naiknya biaya produksi.
Dalam budidaya, Agus menggunakan sistem RAS (Resirculating Aquaculture System) untuk menggenjot produksi nila berkualitas premium. RAS adalah sistem budidaya ikan secara intensif menggunakan infrastruktur yang memungkinkan pemanfaatan air secara terus-menerus (resirkulasi) seperti filter fisika, biologi, ultraviolet, serta oksigen generator untuk mengontrol dan menstabilkan kondisi lingkungan, mengurangi penggunaaan air, dan menstabilkan penguraian limbah budidaya.
Agus menjelaskan, benih menjadi kunci utama keberhasilan dan keberlanjutan usaha budidaya. “Kalau benih dari awal sudah jelek maka pertumbuhan dan proses digestis (pencernaan) dalam fisiologis hewan nila akan terganggu,” katanya. Untuk menambah profit dan mempertahankan kestabilan budidaya nila sistem RAS, ia menganjurkan pengadaan induk sendiri meski secara teknologi agak rumit dan kompleks. Persyaratan RAS lainnya yaitu harus hemat air, pengendalian gas nitrogen, kepadatan tinggi, toleransi nilai amoniaknya juga harus diatur, dan tingginya bahan organik.
SOP budidaya RAS berikutnya adalah kestabilan plankton. Plankton yang fluktuatif berakibat pada pertumbuhan nila yang kurang baik. Lalu, penggunaan pelet apung untuk menghindari akumulasi atau terjadinya plak di beberapa titik sarana budidaya dan meminimalisir pemeliharaan kolam. Kestabilan prebiotik dan probiotik di kolam pembesaran, pendederan, dan pembenihan juga penting dijaga. “Ketika probiotiknya terlalu berlebih misalkan di salah satu kolam, itu juga berdampak pada pengelolaan atau pengaturan pola nutrisinya,” ulas Agus.
Berikutnya adalah efektivitas filter, seleksi ukuran nila agar pertumbuhannya normal. Kemudian, kestabilan suhu, oksigen terlarut (DO), dan sirkulasi air. “Ketika DO-nya kita maintenance maka minimal kandungan oksigen di dalam air tidak boleh kurang dari 2,5 ppm, diusahakan pH-nya antara 6 dan 7, kalau 8 juga tidak masalah tapi di bawah itu akan bermasalah,” pungkasnya.
Brenda Andriana dan Windi Listianingsih