Foto: Dok. Pribadi
Yudi Guntara Noor, ubah paradigma, beternak menjadi skala industri dan menguntungkan
Dengan inclusive closed loop, skala usaha peternak menjadi lebih besar dan margin keuntungan akan lebih baik.
Kondisi peternakan kambing dan domba di Tanah Air umumnya masih bersifat tradisional dan bukan menjadi usaha pokok. Kepemilikan ternak biasanya sebagai tabungan atau dijual saat ada keperluan. Pola pikir seperti ini menjadi tantangan dalam mengubah peternakan ke bentuk korporasi atau berskala industri.
Populasi ternak domba dan kambing Indonesia tercatat berjumlah 17,8 juta ekor pada 2020. Sebanyak 93% peternak kambing domba merupakan peternak kecil dengan skala usaha 3-10 ekor yang produktivitas rendah dan tidak terintegrasi pasar.
Berdasarkan hasil survei pertanian antarsensus, jumlah pelaku usaha peternakan domba sebanyak 980 ribu rumah tangga. Sementara kambing sebanyak 3,06 juta rumah tangga. Melihat hal tersebut, dalam beberapa tahun terakhir Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) mencoba mengajak peternak untuk mengubah paradigma ternak menjadi sebuah kegiatan usaha yang menguntungkan, berskala industri,dan melibatkan juga peternak-peternak muda.
Yudi Guntara Noor, Ketua Umum HPDKI menuturkan, program inclusive closed loop diharapkan menjadi model pemberdayaan dan peningkatan skala usaha peternak. Selain itu, juga ditujukanuntuk menciptakan sebuah ekosistem di dalam stakeholder peternakan.
Lima Tahap Pendekatan
Yudimenuturkan, setidaknya terdapat lima cara pendekatan closed loop HPDKI dalam menuju korporasi peternakan. Tahapan pertama, menitikberatkan pada pasar dan insentif harga. Sebab, ketika membahas agribisnis peternakan, tentunya insentif baru muncul ketika pasar tersedia.“Jika pasar tidak ada, maka insentif tentu sulit juga,” bahas Ketua Komite Tetap Industri Peternakan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia tersebut.
Lebih lanjut ia mengulas, lima tahun lalu insentif harga ternak ruminansia kecil masih terhitung terlalu rendah. Karena itu, HPDKI membuka peluang pasar ekspor bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Menurut Yudi, rendahnya harga ternak domba dan kambing di dalam negeri justru menjadi sebuah keunggulan atau daya saing dalam mengisi pasar ekspor. Ketika pasar ekspor dibuka, harga di tingkat peternak jadi membaik. Dengan begitu, pasar untuk peternak semakin terbuka dan bertambah pilihan. Bisa lokal dan ekspor, serta mencakup kuliner, akikah, dan kurban.
“Insentif ini digunakan sebagai modal awal peternak untuk mau melakukan korporasi atau pendekatan closed loop,” sambungnya. Sekarang peternak sangat bergairah dan mulai mencari sumber bibit. Memang ada penurunan dalam beberapa tahun terakhir karena ada perubahan dari ternak potong menjadi restocking untuk sumber bibit atau indukan.
Tahapan kedua, yakni skala usaha dan produktivitas. Yudi menerangkan, rendahnya skala usaha kepemilikan mempengaruhi akses pembiayaan. Yang semula memiliki 5-10 ekor, didekatkan mengakses pengajuan kredit usaha rakyat (KUR). Awalnya KUR diberikan Rp25 juta bisa untuk 25 ekor. Namun saat ini senilai Rp100 juta, bisa untuk skala kepemilikan penggemukan 60 ekor atau pembiakan 30 ekor.
Dalam memperbaiki produktivitas domba nasional, lulusan Fakultas Peternakan Unpad ini berujar, pihaknya melakukan persilangan (cross breed) dengan pejantan unggul seperti domba Dorper sejak 2018. Hasilnya, produktivitas meningkat 100%. Yang tadinya penambahan bobot harian (average daily gain-ADG) domba 80-120 g/hari, setelah disilangkan menjadi 160-250 g/hari.
Ketiga, inklusi keuangan. HPDKI berhubungan dengan Bank BJB untuk menyiapkan pembiayaan yang bisa diakses dan cocok dengan tipe kegiatan. Sekarang ada KUR mikro khusus penggemukan dan pembiakan.
Kredit pola kemitraan peternakan kambing dan domba yang digagas BJB terbagi menjadi dua, yaitu penggemukan dan pembiakan. Untuk penggemukan, bunga KUR sebesar 6% dengan jangka waktu (tenor) satutahun, panen reguler duakali dan kurban satukali. Sedangkan untuk pembiakan, KUR 6% dengan tenor 3-4 tahun, panen tiap 8 bulan. Baik penggemukan maupun pembiakan, plafon sebesar Rp50 juta atau lebih, tanpa agunan, dan perusahaan pembeli (off taker) menjadi avalis.
Keempat, integrasi hulu sampai hilirdalam rantai pasok. Awalnya banyak peternak tidak melihat pasar. Sekarang sudah mulai jelas, peternak bisa menentukan mau masuk pasarkuliner, ekspor, atau kegiatan keagamaan. Termasuk juga infrastruktur, sebab banyak restoran yang telah mensyaratkan kehalalan, Nomor Kontrol Veteriner (NKV), dan HACCP.
“Dulu mungkin halal dan syar’i namun sertifikasinya tidak ada, sekarang sudah mulai ada,” ungkap Yudi.
Terakhir, aspek keberlanjutan. Pria yang sebelumnya lama menggeluti bisnis sapi potong tersebut menilai, siklus ini harus berkesinambungan atau untung. Dengan peternaknya meraih untung, sang investor nyaman dan secara kelembagaan akan berjalan. Program closed loop seperti ini sudah diterapkan hampir empattahun dan terus berjalan di beberapa daerah.
Ekosistem Usaha
Dalam memuluskan ekosistem usaha closed loop, yang harus berperan dalam distribusinya adalah pemerintah, HPDKI,dan peternak, off taker (industri), dan lembaga keuangan. Pemerintah, ungkap Yudi, bergerak sebagai fasilitator dalam mempercepat multiplikasi kegiatan korporasi peternakan. Caranya bisa dengan memberikan akses bibit unggul, asuransi indukan, infrastruktur penunjang kandang dan rumah potong hewan (RPH), serta pembinaan teknis.
HPDKI dan peternak menjadi model ekosistem usaha dan sistem produksi yang terintegrasi. Selanjutnya, off taker berperan dalam melakukan kemitraan kepada para peternak klaster. Caranya dengan menyerap hasil produksi, memasok bahan baku terstandar,dan mengelola sistem produksi dengan menerapkan good farming practice.
“Off taker harus sangat kuat dari sisi kemampuan. Biasanya perusahaan, koperasi, atau peternak yang sudah mandiri dan cukup besar. Tugasnyaselain menjamin pasar juga mampu menyediakan sarana produksi,” tandasnya.
Yudi menerangkan, lembaga keuangan mengambil andil dalam penyaluran program inklusi keuangan yang adaptif terhadap sistem produksi ternak. Wujudnya bisa berupa pembiayaan usaha, asuransi ternak, atau tabungan pensiun peternak.
Sementara itu, Nancy Adistyasari, Direktur Komersial dan UMKM Bank BJB menambahkan, dalam memfasilitasi peternak lokal BJB lebih dulu menganalisis detail off taker yang menaungi peternakan tersebut. Dari situ akan ada kepastian perputaran modal dengan jelas dan terarah.
Try Surya Anditya
FOTO:
1. Yudi Guntara Noor, ubah paradigma, beternak menjadi skala industri dan menguntungkan – DOK. PRIBADI
2. Ekosistem usaha closed loop peternakan domba – DOK. HPDKI