Rabu, 4 Mei 2022

SAWIT : Dunia Tanpa Minyak Sawit

SAWIT : Dunia Tanpa Minyak Sawit

Foto: Beyer et al., 2020
Komparasi Spices Richness Loss Antar-minyak Nabati

Bukan hanya ekonomi, dunia tanpa sawit berdampak pada lingkungan global dengan kerusakan lebih dahsyat.
 
 
Konflik Rusia-Ukraina yang terjadi sejak akhir Februari 2022 membawa dinamika baru dalam pasar global. Gangguan suplai komoditas akibat konflik yang diikuti sanksi ekonomi, menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga komoditas secara signifikan. Komoditas yang paling terdampak akibat supply shock itu adalah minyak mentah, gas, dan minyak nabati (biji bunga matahari dan rapeseed), mengingat Rusia dan Ukraina termasuk big country dalam perdagangan ketiga komoditas itu.
 
 
Meningkatkan Impor Sawit
 
Sebagai negara tetangga yang bermitra dagang dengan Rusia dan Ukraina, Uni Eropa (UE) menjadi negara yang terdampak akibat memanasnya konflik kedua negara. Kelangkaan dan tingginya harga minyak mentah, gas bumi, dan minyak nabati memicu krisis energi dan pangan di kawasan tersebut.
 
Hal ini karena Rusia memasok sekitar 25% minyak bumi dan 40% gas alam untuk UE. Dalam perdagangan minyak nabati UE, Ukraina menjadi penyuplai utama minyak biji bunga matahari dengan pangsa 90%. Rusia dan Ukraina juga sebagai eksportir utama biji bunga matahari bagi industri penggilingan UE.
 
Dalam merespon ancaman potensi krisis energi dan pangan, UE meningkatkan permintaan impor minyak sawit. Pasalnya. minyak sawit dapat mensubstitusi kebutuhan minyak mentah, minyak biji bunga matahari, dan minyak rapeseed untuk industri biodiesel dan industri pangan. Peningkatan permintaan minyak sawit juga didorong oleh pasokan yang stabil dan harga paling kompetitif daripada minyak nabati lainnya.
 
Guna memenuhi kebutuhan maka UE harus mengurangi hambatan perdagangan, bahkan membatalkan rencana larangan impor minyak sawit. Sebelumnya, UE menerapkan kebijakan European Green Deal dengan strategi kebijakan RED II ILUC dan Farm to Fork Strategy (lihat artikelGreen Dealdan Implikasinya bagi Industri Sawit di situspalmoilina.asia). Kebijakan itu merupakan langkah ambisius UE untuk mewujudkan Net Zero Emission pada 2050.
 
Kebijakan “hijau” UE berpotensi mem-phase-out minyak sawit dari perdagangan UE (lihat artikelKebijakan “Hijau” Uni Eropa Diperkirakan Akan Semakin Mem-phase-out Sawit di palmoilina.asia). Argumennya adalah UE akan bertanggung jawab dengan menurunkan impor produk yang menyebabkan deforestasi dan emisi yang terjadi di luar Eropa atau disebut embodied deforestation. UE juga menuding, minyak sawit merupakan penyebab deforestasi hutan tropis, biodiversity loss, dan emitter terbesar di dunia.
 
Kebijakan UE menghilangkan minyak sawit dikhawatirkan akan diikuti oleh negara importir lainnya. Terlebih dengan makin masifnya gerakan dan kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” yang menggiring opini memerangi minyak sawit. Kondisi tersebut berpotensi menciptakan suatu kondisi “Dunia Tanpa Sawit”.
 
Dapat dibayangkan bagaimana Eropa dan dunia jika tidak ada sawit. Mungkin harga minyak nabati dunia akan meroket setidaknya 2 kali lipat dari harga saat ini dan belum tentu ada barangnya. Imbasnya juga terjadi kenaikan harga pangan dan energi dunia. Hal ini tentu merugikan perekonomian dunia.
 
Dunia tanpa sawit bukan hanya berdampak secara ekonomi. Dampak pada lingkungan global justru lebih dahsyat (lihat artikel Dunia Tanpa Minyak Sawit: Lingkungan Lebih Baik Atau Lebih Buruk?  di palmoilina.asia).
 
 
Tiga Isu
 
Tim Studi PASPI telah merangkum hasil studi para peneliti maupun lembaga internasional yang menunjukkan dampak lingkungan akibat dunia tanpa sawit. Dampak lingkungan ini ditunjukkan oleh tiga indikator yang juga menjadi tiga isu lingkungan global yaitu deforestasi, biodiversity loss,dan emisi.
 
Dalam kondisi dunia tanpa sawit, untuk memproduksi minyak nabati dengan volume 191 juta ton maka akan diganti dan dipenuhi secara proporsional oleh minyak kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari. Artinya, perlu tambahan lahan ketiga minyak nabati tersebut untuk meningkatkan produksi.
 
Ekspansi kebun kedelai dunia mengalami peningkatan dari 127 juta ha menjadi 239 juta ha. Demikian juga luas areal tanam rapeseed dunia yang meningkat dari 35,5 juta ha jadi 65,5 juta ha. Luas areal tanam bunga matahari dunia juga naik dari 27,6 juta ha jadi 52,6 juta ha.
 
Ekspansi lahan ketiga minyak nabati itu menyebabkan deforestasi global semakin meluas. Tambahan luas deforestasi mencapai 167 juta hayang digunakan untuk menambah luas kebun tanaman minyak nabati lain yakni 112 juta hauntuk ekspansi kedelai, 30 juta haekspansi rapeseed, dan 25 juta haekspansi bunga matahari. Ini menandakan, kondisi “Dunia Tanpa Sawit”justru memicu deforestasi global semakin luas (lihat artikelIndustri Minyak Sawit Hemat Deforestasi Dunia? di palmoilina.asia).
 
Studi terbaru yang dilakukan peneliti dampak iklim, Robert M. Beyer, pada 2020 dan 2021 menunjukkan komparasi biodiversity loss global antar-minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi jadi tanaman minyak nabati (lihat artikelBenarkah Biodiversitas Loss untuk Memproduksi Minyak Sawit Lebih Tinggi dari Produksi Minyak Nabati Lainnya? di palmoilina.asia).
 
Studi mengukur indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss. Studi menunjukkan, SRL minyak kedelai 284% di atas SRL minyak sawit, SRL minyak rapeseed 79% di atas, dan SRL minyak biji bunga matahari 44% di atas. Artinya untuk setiap liter minyak nabati, minyak sawit memiliki biodiversity loss paling rendah daripada sumber minyak nabati utama lainnya. Dengan demikian, dunia tanpa sawit menyebabkan biodiversity loss dunia semakin besar.
 
Robert M. Beyer juga melakukan studi yang membandingkan tingkat emisi karbon antar-minyak nabati. Studi menemukan fakta bahwa di level ekosistem global, kebun sawit dunia adalah penghasil minyak nabati paling rendah emisinya daripada sumber minyak nabati lain (lihat artikelEmisi Karbon Perkebunan Sawit Versus Perkebunan Minyak Lainnya di palmoilina.asia).
 
Dibandingkan emisi karbon kebun sawit untuk setiap liter minyak sawit, emisi minyak kedelai 425% lebih tinggi, rapeseed 242% lebih tinggi, biji bunga matahari 225% lebih tinggi, kacang tanah 424% lebih tinggi, kelapa 337% lebih tinggi, dan zaitun 342% lebih tinggi. Karena itu, minyak sawit menempati posisi teratas sebagai minyak nabati dengan emisi terendah.
 
Studi membuktikan, isu yang menyebut emisi karbon minyak sawit lebih tinggi adalah keliru. Kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” yang dasarnya bertujuan menciptakan kondisi “Dunia Tanpa Sawit”, justru akan membawa masyarakat dunia pada dampak lingkungan lebih buruk, yakni meningkatnya emisi karbon dalam penyediaan minyak nabati global.
 
“Dunia Tanpa Sawit” akan membawa masyarakat global menanggung beban kerusakan lingkungan yang lebih buruk seperti deforestasi lebih luas, biodiversity loss semakin besar, dan emisi karbon terus meningkat. Hal ini kontradiktif dengan kebijakan “hijau” UE dan negara maju lainnya untuk menurunkan deforestasi dan emisi karbon serta melestarikan keanekaragaman hayati.
 
Jika UE dan negara barat benar-benar concern terhadap lingkungan, seharusnya mendukung industri sawit global berkembang dengan turut melakukan perbaikan tata kelola berkelanjutan. Bukan membuat kebijakan yang menghambat industri sawit, bahkan menciptakan dunia tanpa sawit.
 
Peningkatan produktivitas melalui implementasi Good Agricultural Practices (GAP), tatakelola manajemen kebun, penggunaan teknologi hemat emisi, zero waste, dan energi low carbon yang terintegrasi hulu-hilir di seluruh rantai pasok minyak sawit, menjadi upaya perbaikan tata kelola yang harus didukung UE untuk menghasilkan minyak sawit yang neto zero emission atau positif carbon sink, efisien, dan terbebas dari deforestasi atau biodiversity loss.
 
 
 
Dr. Tungkot Sipayung
Direktur Eksekutif PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Institute)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain