Rabu, 4 Mei 2022

PADI : Agar Kresek Tak Bikin Resek

PADI : Agar Kresek Tak Bikin Resek

Foto: Dok. Tri Joko
Gejala serangan kresek

Penyakit kuno ini bisa menurunkan hasil panen 60%-75% sehingga petani harus mengelolanya sebaik mungkin.
 
 
Kresek, begitu nama salah satu penyakit pada padi, diidentifikasi pertama kali di Fukuoka, Jepang, pada 1884. Namanya diambil dari bunyi gesekan daun-daun padi yang mengering terserang penyakit ini ketika tertiup angin. Istilah kresek, menurut Tri Joko, Ph.D., Ketua Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian UGM, kini juga diterima kalangan internasional yang sebelumnya lebih kenal nama Bacterial Leaf Blight (BLB).
 
BLB alias Hawar Daun Bakteri (HDB) sudah menyebar luas di dunia.Di negara kita BLB terbilang tiga besar penyakit utama bersama blas dan tungro. Pada musim tanam 2021/2022, Balai Besar Pengamatan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) meramalkan luas serangan BLB bakal mencapai 41.896 ha. Ini lebih tinggi ketimbang perkiraan serangan blas dan tungro.
 
 
Turun Hasil 60%-75%
 
Dalam webinar Ditjen Tanaman Pangan, Kementan (11/4), Joko mengatakan, “BLB dapat menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Di Asia misal Filipina, Indonesia, dan India, kehilangan hasil bisa mencapai 60%-75%. Kerusakan besar ini terjadi karena negara-negara tersebut banyak menggunakan varietas padi relatif rentan terhadap BLB dan juga akibat penggunaan pupuk nitrogen yang sangat masif. Pupuk nitrogen yang masif memicu kerentanan tanaman terhadap serangan bakteri Xanthomonas oryzae, penyebab BLB,” ulas alumnus S1 Faperta UGM 1999 tersebut.
 
Lebih jauh peminat studi molekuler bakteri patogen itumembahas penyebab kresek. X. oryzae terdiri dari dua patovar, yakni X. oryzae patovar oryzae dan X. oryzae patovar oryzicola. Keduanya sering disebut Xoo. “Patovar oryzae menyebabkan gejala berupa hawar daun, yaitu nekrotik (kematian jaringan) yang luas berwarna cokelat keabuan. Pinggir daunnya bergelombang. Ini ciri khasnya. Serangan dimulai dari ujung daun atau pinggir daun,” ujarnya.
 
Selain itupada pagi hari, daun padi yang terserang BLB mengeluarkan tetesan air (gutasi) mengandung bakteri berwarna kuning. Saat siang hari, tetesan ini akan mengering.
 
Sementara patovar oryzicola menimbulkan gejala garis-garis pada daun berwarna cokelat kehitaman (bacterial leaf streak-BLS). Baik BLB maupun BLS terdapat di Indonesia.
 
 
Pintu Masuk
 
Siklus penyakit kresek bermula dari salah satu tanaman terinfeksi. Bakteri patogen menginfeksi melalui hidatoda (lubang atau pori) yang ada di sepanjang tepi daun dan ujung daun. Di samping itu bakteri masuk lewat luka dan alat pertanian yang terkontaminasi. Bakteri lalu berkembang dan masuk ke jaringan tanaman melalui jaringan xylem.
 
“Bakteri cepat menular ke tanaman sekitarnya saat ada hujan angin yang menimbulkan luka gesekan pada tanaman. Dari luka itu bakteri masuk ke jaringan tanaman. Bakteri ini juga dapat menyebar melalui air irigasi. Kalau di hulu sudah ada kontaminasi BLB, maka sawah di bawahnya yang diairi irigasi dari atas berpotensi terinfeksi juga sehingga perlu diwaspadai,” jelas Joko.
 
Pada serangan yang cukup parah, lanjut dia, setelah panen, sisa tanaman padi (singgang) atau jeramiyamasih mengandung bakteri patogen. Selama sawah belum ditanami padi lagi, patogen akan bertahan di inang alternatifnya, yaitu gulma Leersia oryzoides, Zizania latifolia, Leptochloa spp., Cyperus spp. (teki) dan singgang.
 
 
Praktik di Lapangan
 
Kresek umumnya muncul pada awal masa vegetatif. Bila pada fase itu pertanaman terkena banjir, petani harus lebih hati-hatikarena berpotensi terserang kresek. Sekilas gejala serangan kresek mirip tanaman keracunan. Cahyadi Irawan, Petugas Pengendali OPT dari BBPOPT pada kesempatan yang sama memberikan tips praktis untuk membedakannya.
 
“Gejala awal muncul di tepi atau bawah daun pertama sampai keempat. Permukaan daun masih hijau. Hawar itu daun mengering tapi ada batasnya kuning kemerahan. Beda dengan gejala keracunan. Kalau di lapangan, kita potong daun yang terinfeksi lalu masukkan dalam air bening. Tunggu 15-20 menit, nanti akan keluar cairan warna putih dari bagian yang terpotong. Inilah massa bakteri,” jelasnya.
 
Karena penyakit ini terbawa benih, Cahyadi sangat menganjurkan seleksi benih yang akan ditanamnya. “Kami menggunakan larutan air garam, 1 liter air ditambah 50 g garam untuk membantu memisahkan benih-benih yang terinfeksi dan benih yang sehat,” cetus Cahyadi.
 
 
Tips Mengelola
 
Supaya kresek tidak menimbulkan kerugian besar, Joko yang menempuh pendidikan S3 di Gifu University, Jepang, tersebut menyarankan petani menerapkan prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). PHT menekankan pentingnya pencegahan, pemantauan, baru kemudian tindakan.  
 
Langkah pencegahan dengan teknik budidaya dimulai dari penggunaan varietas tahan. Terutama untuk penanaman di daerah endemis hawar daun, kalau bisa, petani memilih varietas yang tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII atau paling tidak dua patotipe.
 
Merujuk daftar varietas yang dilepas Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Sukamandi, cukup banyak varietas padi sawah yang dideskripsikan tahan dan agak tahan bakteri hawar daun patotipe III, IV, dan VII (lihat tautan ini: //bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/publikasi/buku/deskripsi-varietas-unggul-baru-padi-2022).
 
Namun, menurut Prof. Satoto, pemulia padi senior di BB Padi dalam kesempatan yang berbeda, “Di lapangan yang menunjukkan reaksi tahan adalah Inpari 32, Inpari Gemah, dan Inpari 48.”
 
Varietas tahan perlu didukung pemberian pupuk yang berimbang. Artinya, dosis pupuk N jangan terlalu tinggi, sebaliknya P dan K harus cukup. Dosis pupuk N tinggi tidak hanya memicu kerentanan terhadap HDB tetapi juga OPT lain, seperti blas dan hama wereng.  
 
Petani pun perlu mengurangi kelembapan di sekitar tanaman karena kondisi lembap cocok untuk perkembangan OPT. Caranya, menerapkan sistem tanam jajar legowo dan tidak membiarkan sawah selalu tergenang dengan melakukan pengairan berselang. Satu lagi yang tak penting adalah menghilangkan inang alternatif.
 
Masih dalam rangka meningkatkan ketahanan penyakit, Joko menerangkan aplikasi teknologi hayati. “Kita bisa menggunakan Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) sebagai sarana perlakuan benih. PGPB bersifat antagonis terhadap bakteri patogen yang ada di perakaran. Selain menginduksi ketahanan tanaman supaya lebih tahan terhadap infeksi patogen, dia juga bisa meningkatkan pertumbuhan dan mengembalikan potensi hasil tanaman,” ulasnya.
 
Jenis bakteri PGPB misalnya, Bacillus polimixa yang dikembangkan BBPOPT. Sementara Faperta UGM mengembangkan bakteri filosfer, yakni bakteri nonpatogenik yang tumbuh di permukaan daun untuk dijadikan agensia pengendali hayati (APH) terhadap Xoo. Cendawan Trichoderma dan bakteriofag juga dilaporkan potensial sebagai APH.
 
Pilihan cara terakhir adalah penggunaan bahan kimia (bakterisida). Di pasaran terdapat sejumlah bakterisida dengan bahan aktif antara lain streptomisin sulfat, oksitetrasiklin, tembaga oksida, serta gabungan trifloksistrobin dan tebukonazol.
 
 
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain