Jumat, 4 Maret 2022

UDANG : Rembuk Siasat Cegah AHPND

UDANG : Rembuk Siasat Cegah AHPND

Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
FKPA menggelar seminar tentang berbagai kiat menghadapi AHPND dari pembudidaya

Faktor kunci penyebab AHPND adalah dari air, benur,dan pola budidaya.
 
Para praktisi tambak udang vaname (Litopenaeus vannamei) terus memutar otak mencari cara mencegah penyakit kematian dini (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease, AHPND) yang merebak di Lampung dan Bengkulu sejak dua tahun terakhir. Walaupun belum teruji, minimal cara yang mereka lakukan mampu menekan penyakit tersebut.
 
 
Penelusuran
 
Ery Brahmantiyo, Manajer Tambak Udang Merry Group menguraikan siasat mengatasi AHPND di tambaknya. “Saat serangan pertama AHPND di tambak Ketapang, Lampung Selatan,pada usia udang 20 hari air kolam mengandung vibrio para(V. parahaemolyticus) dalam kadar tinggi,mencapai 104 atau di atas normal. Lalu,dilakukan penelusuran apa yang menjadi penyebab melonjaknya kadar vibrio para tersebut,” ujarnyadi seminar Transformasi Kearifan Lokal Menuju Eksistensi Budidaya di Lingkungan Pandemi AHPND.
 
Pada acara yang digelar Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur (FKPA)tersebut, Ery menjelaskan, terdapat dua kemungkinan penyebab, dari lingkungan tambak atau laut. Kemungkinan pertama, aplikasi TCCA di tandon tidak efektif sehingga vibrio masih tersisa. Untuk mengatasi AHPND, penggantian air dipasok dari sumur bor dan menyetop dari tandon yang memakai airlaut. Kolam terinfeksi AHPND langsung dilokalisasi dan udangnya dimatikan lalu dikeringkan.
 
Sebagian kolam yang kematiannya lebih sedikit masih sempat dipanen. Selanjutnya,semua kolam di tambak Ketapang disetop selama 5 bulan atau satu siklus guna memutus mata rantai penyebaran AHPND.
 
Dari hasil pemeriksaan lab diketahui,udang yang terserang AHPND itu hepatopakreasnya pucat dan mengecil lalu ditemukan V.parahaemolitycus. Vibrio yang mati di kolam mengeluarkan racun. Bahkan,racun yang dikeluarkan V.parahaemolyticusyang mati lebih berbahaya daripada pestisida.
 
Ery menerangkan, AHPND muncul di tambak Ketapangketika musim pancaroba.Suhu air sangat fluktuatif karena ketika panas terik tiba-tiba turun hujan. Akibatnya selain terjadi goncangan suhu, salinitas air kolam juga turun. Untuk mengatasinya,aplikasi mineral bisa membantu.
 
Dari sejumlah analisisyang dilakukan berdasarkan hasil lab, faktor kunci penyebab AHPND adalah dari air, benur,dan pola budidaya. “Karena itu kami melakukan tes PCR terhadap benur di hatchery(pembenihan) sebelum dikirim ke tambak meski pihak hatchery sudah melengkapinya dengan sertifikat PCR. Jika ditemukan vibrio pada benur yang akan kami beli maka pembelian dibatalkan,”ucapnya.
 
 
Benur Gelondongan
 
Pembicara kedua, Teddy Adle, Manajer Farm MTS Gayau, Kab Pesawaran menggunakan siasat berbedauntuk mengatasi AHPND. Awalnya Teddy melakukan pendederan benur hingga PL24 dan PL25di kolam. Hasilnya masih ada kolam yang udangnya terserang AHPND.
 
Selanjutnya,ujicoba menebar benur super PL alias benur gelondongan berumur 20 hari,setelah ujicoba serupa sukses di FarmMTS Ketang, Kalianda. Sejak menebar benur super PL, budidaya di tambak MTS Gayau berjalan lancar tanpa ada serangan AHPND.
 
Hanya dibandingkan benur biasa PL9 dan PL10, harga super PL lebih mahal sehingga berimbas ke biaya produksi. Namun, menurut Teddy, penambahan biaya tersebut menjadi tidak signifikan karena adapenghematan pakan dan listrik mengingat pembesaran benur di tambak jadi berkurang selama 10 hari.
 
“Apalagi dibandingkan penambahan biaya,jika kita melakukan pendederan sendiri, biaya yang kita keluarkan untuk pendederan lebih besar,” akunya dalam seminar yang dibuka Kadis Kelautan dan Perikanan Kota Bandarlampungserta dihadiri peserta onlinedan offline itu.
 
Teddy sudah menjalankan penebaran benur super PL pada tiga siklus dan berjalan lancar.Di siklus keempat, ia juga menggunakan benur super PL dan hasilnya masih aman dari serangan penyakit.  
 
 
SOP Teknis
 
Teguh Setyono,Manajer Budidaya PT Dua Putra Perkasa di Kaur, Bengkulusebagai pembicara ketiga mengatakan, teknisi harus memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) teknis budidaya berkelanjutan agar terhindar dari berbagai penyakit.SOP budidaya ini harus disesuaikan dengan kondisi dan konstruksi tambak serta daya dukung lingkungan perairan setempat.
 
Perencanaan produksi juga harus menyesuaikan sarana dan prasarana pendukung yang dimiliki dan daya dukungnya. Tambak yang mengoperasikan autofeeder bisa memacu pertumbuhan dan meminimalisasi human error dibandingkan tambak dengan penebaran pakanmanual.
 
Kemudian, teknisi harus menguasai teknis budidaya, terutama manajemen kualitas air karena budidaya udang adalah budidaya air. Jika terjadi penurunan produksi akibat serangan penyakit,segera lakukan pemulihan, penanganan penyakit,dan perbaikan kualitas air. Lantas,tentukan strategi baru pada siklus berikutnya. Selalu perbaiki kinerja dengan road map budidaya selanjutnya dan lakukan analisis usaha.
 
“Setiap tambak harus memiliki lab mini sehingga bisa mengukur berbagai parameter air secara berkala. Khusus untuk pemeriksaan udang melalui PCR, tambak bisa bekerja sama dengan pabrikan pakan yang sudah banyak menyediakan lab mobile,” Teguh menyarankan.
 
Jadi, budidaya udang tidak sebatas melihat produksi akhir. Namun, memperhatikan proses budidaya dari tahap awal sampai akhir dengan pengukuran secara berkala yang berkelanjutan.Karena itu, teknisi harus memiliki data mulai dari parameter air, penyakit, pertumbuhan udang, hingga harga. Tanpa data yang lengkap dari setiap siklus,tidak mungkin menjalankan budidaya secara berkelanjutan dan bebas dari serangan penyakit. Tentukan pula ukuran panen udang berdasarkan posisi harga jual.
 
Teguh menambahkan, saat ini berkembang bioteknologi, yakni cara baru membesarkan udang yang bisa memproteksi dari penyakit dan ramah lingkungan. Ada hubungan antara komunitas mikrobadalam kolam bioflok dan udang. Kolam yang didominasi bakteri lebih stabil dibandingkan didominasi alga. Flok memproses limbah nitrogen lebih efisien dari alga karena udang memakan flok sehingga tercipta simbiosis yang mendukung pertumbuhan udang.
 
Sementara untuk pemulihan pascapanen udang dengan kendala myo, ia menerangkan, awali dengan persiapan kolam yang benar-benar optimal. Lalu, tebar benur dengan sistem aklimatisasi.Manajemen air harus selalu diuji melalui lab guna monitoring kualitas air secara berkala.
 
Yaitu, yang terdiri dari parameter fisik berupa suhu, salinitas, kecerahan, warna dan kekeruhan; kimia yaitu DO, pH, alkalinitas, TOM, redoks, phosphat, NH4, NH3, NO3, NO2;dan biologi yang meliputi plankton, total bakteri, vibrio dan parasit. “Ini harus diuji melalui tes PCR.Lalu,lakukan penggantian air sebesar 5-7% per  hari agar parameter air terjaga,” jelas teknisi senior itu.
 
Teguh menekankan, secara umum ada 4 pihak dengan persentase berbeda yang menentukan keberhasilan budidaya udang.Yakni,teknisi sebesar 50%, pemilik 30%, pemerintah 10%, dan lain-lain 10%. Dukungan pemerintah berupa sarana/prasarana jalan, listrik, kanal dan karantina.
 
Waiso, Sekjen Asosiasi Pembenih Udang (APU) memotivasi para pelaku usaha tambak untuk selalu berpikir positif meski di tengah pandemi penyakit udang. “Kita harus yakin bahwa usaha kita akan berjalan sukses. Bayangkan seolah-olah budidaya udang yang sedang kita tangani berjalan lancar. Dan jalani hari-hari dalam membesarkan udang dengan ceria. Sebab jika kita ceria dan bahagia, udang juga akan senang dan semangat makan pakan. Sebaliknya jika kita pengelola tambak galau dan selalu mengeluh maka udang juga stres sehingga mudah diserang penyakit,” pungkasnya.
 
 
 
Syafnijal DatukSinaro (Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain