Jumat, 4 Maret 2022

PERKEBUNAN : Outlook Perkebunan 2022: Pasar Bergairah, Produksi Melemah

PERKEBUNAN : Outlook Perkebunan 2022: Pasar Bergairah, Produksi Melemah

Foto: DEKAINDO
Rachmad Gunadi, pasar ekspor ke Pakistan sangat menjanjikan

Permintaan meningkat karena pendapatan masyarakat membaik pascapandemi.
 
Secara umum bisnis perkebunan sawit, kakao, teh, dan kopi mengalami tren kenaikan permintaan namun produksi stagnan bahkan cenderung menurun. Bagaimana rincian perkembangan bisnis tiap komoditas tersebut?
 
 
Sawit
 
Togar Sitanggang, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjelaskan, produksi sawit sejak Agustus – Desember 2021 cenderung turun. Bahkan, beberapa pelaku usaha yang ia konfirmasi menyebut kondisi ini akan bertahan hingga kuartal I 2022.
 
Penyebabnya, harga sawit di 2018-2019 sangat rendah sehingga tanaman tidak dipupuk dan terjadi musim kering pada 2019. “2022 akan dimulai dengan stok yang rendah. Q1 adalah yang terendah dari seluruh produksi tahunan. Dan kemungkinan lebih rendah daripada normal,” ucap Togar dalam webinar Outlook Perkebunan 2022.
 
Ia menilai, dalam jangka panjang produksi sawit Indonesia akan melambat karena 40% sawit dikelola para petani yang menghasilkan produktivitas rendah. Sementara, program peremajaan (replanting) sawit rakyat belum menunjukkan hasil signifikan. “Kemungkinan di 2024 atau 2025, produksi kita akan mencapai titik tertingginya. Dan, dari situ tergantung pada suksesnya replanting program, bisa naik atau turun. Kalau replanting program tidak sukses, produksi kita akan turun dimulai 2024 atau 2025,” jelasnya.
 
Togar memperingatkan kemungkinan kekurangan suplai minyak sawit sebab permintaan minyak nabati terus bertambah. Apalagi, ekonomi dunia sedang memasuki masa pemulihan. Dari tahun 2019-2021, produksi minyak sawit (crude palm oil, CPO) mengalami tren penurunan berturut-turut dari 47,180 juta ton, 47,034 juta ton, menjadi 46,888 juta ton. Dengan begitu, stok CPO di awal tahun ini hanya 3,5 juta atau 1,3 juta ton lebih rendah dari stok awal 2021.
 
Ekspor CPO di 2021 hanya 2,7 jutaan ton atau turun 61,86% dari tahun 2020 karena terkait kewajiban memasok kebutuhan barang dalam negeri (domestic market obligation, DMO) CPO. Sementara, ekspor refined palm oil, oleokimia, dan biodiesel masing-masing naik 21,69%, 7,13%, dan 414.01%.
 
Tahun ini pemerintah menerapkan DMO CPO sebesar 20% dari volume yang akan diekspor dengan harga Rp9.300/kg. Angka DMO CPO itu, terangnya, sekitar 540 ribu ton/tahun atau 40 ribuan ton/bulan dari ekspor 2,7 juta CPO. Jika ekspor RDB palm oil sebesar 20 juta ton maka DMO minyak goreng sebesar 4 juta ton/tahun atau 300 ribuan ton/bulan RBD palm olein.
 
“Kalau RDB olein-nya 300 ribuan ton, artinya dalam bentuk CPO sekitar 500 ribu ton. CPO DMO itu sekitar 50 ribu ton sementara kebutuhan bahan baku untuk DMO olein sekitar 500 ribu ton. Jadi, ada kesenjangan di sini. Artinya, CPO yang dibutuhkan tidak mencukupi dengan CPO yang tersedia dari sistem DMO tersebut,” ulasnya.
 
Kebutuhan biodiesel tahun ini diperkirakan mencapai 10,5 juta KL atau sekitar 8,8 juta ton CPO dengan uji coba program B40 dimulai pada Maret 2022. Pasar meminta kadar air biodiesel jadi 200 ppm dari 350 ppm pada B30. Artinya, dibutuhkan advanced biofuel agar B40 berjalan. “Apakah target itu perlu segera direalisasi? ini yang harus jadi pertanyaan seluruh stakeholder biodiesel termasuk pemerintah, mau ke mana kita bawa campuran ini, tetap di B30 atau mau kita paksakan ke B40,” tanya dia.
 
Tahun ini GAPKI memperkirakan produksi CPO sekitar 48 juta dengan kenaikan 2%. “Karena produksi CPO melandai dan akhirnya di 2024 atau 2025 akan mencapai peak (puncak) sekitar 51 juta – 52,5 juta ton CPO,” kata Togar.
 
Ia memprediksi ekspor CPO pada 2022 akan mengikuti tren 2021. “Apakah ini menjadi di antara 2,7 juta ton atau kembali ke 7 juta ton, ini sesuatu yang harus kita perhatikan bersama,” katanya yang menyebut prediksi itu merupakan angka moderat.
 
Kembali, ia mengingatkan produksi CPO akan jadi masalah di tahun mendatang karena kurangnya stok. Indonesia, saran Togar, perlu memperhatikan pemakaian minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel untuk mengurangi beban menggunakan minyak yang baru, seperti RBD palm oil dan lainnya. Lalu, harga CPO akan stabil tinggi tapi mempertimbangkan cara supaya harga minyak goreng rendah.
 
 
Kakao
 
Pada komoditas kakao, Soetanto Abdullah mewakili Dewan Kakao Indonesia (DEKAINDO) menuturkan, hampir semua negara penghasil kakao meningkat produksinya antara tahun 2020-2021. Pantai Gading dan Ghana menjadi penyumbang terbesar produksi kakao dunia. Kontribusinya 65% dari total produksi dunia. Pada 2021 Pantai Gading menghasilkan 2,5 juta ton biji kakao kering dan Ghana 1 juta ton lebih, naik dari tahun sebelumnya.
 
“Ekuador, Kamerun, Nigeria, dan Brasil juga demikian, ada tren peningkatan meskipun kecil-kecil. Indonesia malah sedikit menurun dari posisi sebelumnya. Kemudian, Papua Nugini juga relatif tetap tapi jumlahnya sangat kecil,” terangnya.
 
Produk antara (intermediate) yaitu kakao giling (grinding) juga naik. Pantai Gading, Belanda, Indonesia, Jerman, Amerika Serikat, Malaysia, dan Ghana mengalami kenaikan produksi grinding beberapa tahun terakhir. “Pantai Gading produksinya sekitar 2,5 juta ton (biji kakao) kemudian grinding-nya sekitar 600 ribu ton sehingga masih mengalami surplus biji. Artinya, masih bisa mengekspor dalam bentuk biji cukup banyak,” ulasnya. Sementara, suplai biji kakao Indonesia lebih rendah daripada grinding sehingga ada defisit bahan baku. “Tahun 2021 kita mengimpor biji kakao sebanyak 200 ribu ton,” imbuh Soetanto.
 
Di sisi harga, ia menjelaskan, kurun 2005-2021 harga dimulai US$1.800/ton lalu mencapai puncak sekitar US$3.500/ton pada 2010. Setelah itu harga turun dan naik lebih dari US$3.000/ton di 2015 kemudian menurun. “Di tahun 2020/2021 trennya masih naik. Kalau kita lihat fluktuasi harga setiap 5 tahunan, biasanya harga kakao akan turun lagi kalau sudah menyentuh angka di atas US$3000 /ton,” katanya. Tahun ini trennya naik karena harga kakao masih di kisaran US$2.500/ton. “Sampai nanti menyentuh angka US$3.000 atau US$3.500/ton lalu turun lagi,” ucapnya.
 
Kakao Indonesia diekspor dalam bentuk biji, pasta, lemak, bubuk, cokelat siap konsumsi. Dari 2019 ke 2021 ekspor kakao dalam bentuk biji dan cokelat konsumsi menurun sedangkan dalam bentuk lemak dan bubuk meningkat. Sementara, impor biji kakao cukup tinggi. Tahun 2019 Indonesia mengimpor biji kakao sekitar 230 ribu ton, agak turun pada 2020 jadi 200 ribu ton lalu sedikit di atas 200 ton di 2021. Indonesia masih kekurangan biji kakao sehingga produksi perlu ditingkatkan lagi.
 
Pasar kakao di Indonesia, terang Soetanto, berupa pasar regular dan artisan. Pasar regular adalah pasar yang membeli dalam jumlah banyak (bluky). Pembelinya banyak dan merupakan perusahaan cokelat raksasa dunia. Beberapa tahun terakhir muncul pasar artisan. Yaitu, “Suatu produk cokelat yang dibuat secara lebih detail, rinci, tidak bulky, bahkan ada yang single origin, kemudian harga beli bahan bakunya juga lebih tinggi tapi juga mempersyaratkan karakter bahan bakunya juga sangat spesifik,” katanya.
 
Petani banyak memburu pasar cokelat artisan karena berani membeli biji kakao dengan harga tinggi. Tapi karena syaratnya sangat ketat dan kebutuhan pasarnya sedikit, petani sulit memenuhinya.
 
 
Teh
 
Menurut Rachmad Gunadi, produksi teh Indonesia relatif stabil beberapa tahun terakhir meski cenderung menurun. Produksi teh nasional pada 2021 sebanyak 129.530 ton atau naik sedikit dari 2020 yang sebesar 128.015 ton. Namun, Ketua Dewan Teh Indonesia itu mengungkap, produksi ini masih jauh lebih rendah daripada produksi tahun 2017 sekitar 146.114 ton.
 
“Dari sisi pertumbuhan, dalam 3-4 terakhir memang ada pertumbuhan tapi kecil sekali. Jadi kalau kita perkirakan dalam tahun-tahun yang akan datang, tidak akan jauh dari angka pertumbuhan yang sudah tercatat dalam beberapa tahun terakhir,” ulasnya.
 
Terkait ekspor-impor, lanjut Rachmad, pasar ekspor ke Pakistan sangat menjanjikan. Selain harganya menarik, Indonesia punya riwayat memasarkan teh-teh terbaiknya ke Pakistan, terutama lewat trader. “Yang lewat packer-packer besar memang terdistribusi ke banyak negara tapi Pakistan ini menjadi target trader-trader terpilih dari Indonesia dan harganya cukup menarik. Dan pasar ini untuk black tea sekarang sudah mulai berkurang dan ini pantas untuk kita rebut Kembali,” jelasnya.
 
Nilai dan volume ekspor teh Indonesia cenderung turun juga beberapa tahun terakhir. Sementara, impornya naik tapi relatif stabil. Artinya, pasar teh di Indoensia tumbuh. Pertumbuhan ini terjadi di wilayah dengan kualitas teh tertentu, terutama pasar peminum. “Indonesia sebagai salah satu produsen teh yang kualitasnya baik tapi tidak diikuti dengan tumbuhnya peminum teh di Indonesia,” timpalnya.
 
Menyoal harga, Indonesia mempunyai lelang di Jakarta Tea Auction yang dikelola PTPN. Namun, saat ini kondisi harga lelang tidak begitu menggembirakan. Beberapa produsen teh menawarkan harga sedemikian rupa secara langsung pada pembeli sehingga tidak mengikuti pergerakan harga lelang.
 
Bagi produsen yang masih mengacu harga lelang, sambungnya, fuktuasi harga cukup berarti. “Terutama isu potensi kemungkinan harga akan terkoreksi, terutama untuk black tea, lebih khusus lagi adalah CTC, ini ada potensi terkoreksi 10%-11% lebih rendah. Yang tadinya sekitar 190-an sen dolar, ke depan bisa turun jadi 170-an sen dolar,” terangnya.
 
Pada 2020 pasar teh dunia diperkirakan mencapai 6,71 juta ton. Pertumbuhannya cukup tinggi, diprediksi di atas 8 juta ton di 2022-2027 dengan rerata pertumbuhan tahunan 3,3%. Pertumbuhan ini dipicu pendapatan yang meningkat pasacapandemi dan kenaikan populasi. Permintaan teh yang paling tinggi adalah black tea, diikuti green tea, dan teh oolong.
 
 
Kopi
 
Jamil Musanif dari Dewan Kopi Indonesia (Dekopi) menjelaskan, impor kopi ke depan akan semakin meningkat karena produksi yang tidak menutupi permintaan. “Kita lihat tren konsumsi dan produksi, kalau kita tidak melakukan hal-hal yang tidak seperti biasanya, kehilangannya akan sangat besar,” ucapnya.
 
Di sisi lain, Dekopi punya cita-cita menjadikan kopi sebagai country image Indonesia di mata dunia. “Suatu saat kita ingin kalau orang bicara kopi, teringat Indonesia,” katanya. Cita-cita kedua, Indonesia sebagai surganya para pecinta kopi. Indonesia punya alasan untuk itu. Pertama, karena Indonesia sebagai mother country untuk kopi domestikasi.
 
Kopi awalnya berasal dari hutan di Afrika dibawa ke Indonesia. Lalu, para peneliti Belanda dan Indonesia membudidayakan kopi dengan cara yang lebih modern sehingga menghasilkan benih unggul. “Dan benih unggul itulah yang disebar ke pelosok dunia. Jadi boleh kita katakan, Indonesia sebagai mother country-nya dunia untuk kopi domestikasi,” tambah Jamil. Alasan kedua, Indonesia mempunyai varian cita rasa kopi yang kaya sekali karena terkait iklim mikro lokasi budidaya kopi. Jadi, Indonesia punya modal historis dan keanekaragaman varian cita rasa.
 
Ia pun menyarankan strategi program dan langkah yang harus dilakukan. Yaitu, peningkatan produksi dan produktivitas. “Dari segi program, kita perlu program replanting perkebunan kopi yang tua, rusak. Barangkali ini lebih parah dari sawit karena kopi ini kebun rakyat yang sangat minim pemeliharaan, GAP-nya juga tidak diterapkan dengan baik sehingga kondisinya lebih parah dari kebun sawit yang dibina oleh perusahaan,” imbuhnya.
 
Kedua, pengembangan industri benih rakyat. Karena itu, perlu kebun induk atau kebun entres karena tidak semua kebun kopi dapat dikembangkan melalui biji tapi melalui stek. Kebun entres dibangun menyesuaikan lokasi sentra pengembangan kopi. Namun, ia mengingatkan, kualitas SDM penangkar benih juga perlukan ditingkatkan.
 
Program ketiga, ekstensifikasi meski pelaksanaannya banyak kendala mengingat keterbatasan lahan. Perlu negosiasi dengan pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Keempat, intensifikasi mulai dari penerapan cara budidaya yang baik (GAP) hingga diversifikasi usaha. Ia menekankan pentingnya mengubah paradigma bahwa kebun kopi adalah pabrik uang bagi petani berbasis lahan dengan input tertentu, bukan sekadar hamparan kopi.
 
 
 
Windi Listianingsih
 
Foto-foto: WINDI L.
1.      Togar Sitanggang, produksi CPO mencapai puncak di 2024 atau 2025
2.      – Sumber DEKAINDO
3.      Rachmad Gunadi, pasar ekspor ke Pakistan sangat menjanjikan
4.      Jamil Musanif, perlu melakukan hal di luar kebiasaan

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain