Foto: PNGWing
Sawit Indonesia di negeri Bollywood
India terbilang produsen besar minyak nabati dunia, tetapi masih mengimpor untuk menambal kebutuhannya.
Bagi Indonesia, negara berpenduduk 1,36 miliar jiwa ini mitra dagang yang penting karena posisinya sebagai salah satu pelanggan terbesar minyak sawit. Bagaimana gambaran pasar minyak nabati dan prospek ekspor sawit kita diIndia tahun ini? Ikuti paparan Dr. B.V. Mehta, Direktur Eksekutif The Solvent Extractors’ Association of India (SEAI) pada ajang Indonesia Palm Oil Conference 2021 & 2022 Price Outlook, 2 Desember silam.
Produsen sekaligus importir
Menurut Dr. Mehta, India adalah produsen berbagai tanaman biji-bijian penghasil minyak, seperti kacang tanah, mustard/rapeseed, kedelai, wijen, bunga matahari, safflower, niger, linseed, dan jarak. Selain itu, produksi minyak nabati lokal juga bersumber dari biji kapas, dan kelapa.
Panen berlangsung dua kali, pada musim panas dan musim dingin. Ketikamusim panas, komoditas utamanya kacang tanah dan kedelai. Sementara saat musim dingin panen mustard/rapeseed.
Lokasi penanamannya tidak merata. Di wilayah bagian selatan, misalnya negara bagian Kerala dan Tamil Nadu, petani menanam kelapa. Di Bihar, Rajashtan, dan Maharashtra, petani mengembangkan kacang tanah. Kedelai terutama dibudidayakan di Madhya Pradesh, sedangkan mustardrapeseed terhampar di India utara dan timur. Biji-bijian utama menyediakan minyak pangan untuk konsumsi di dalam negeri berkisar 8,5 juta–9,5 juta ton/tahun.
“Luas pertanaman biji-bijian tersebut pada 2020/2021 sebanyak 28 juta ha yang memproduksi 47,71 juta ton biji setara 9,45 juta ton minyak. Sementara konsumsi per kapita minyak pangan 16–16,5 kg/orang/tahun. Pada 2018/2019 konsumsi sebanyak 22,5 juta ton. Namun dua tahun terakhir konsumsi menurun lantaran terdampak pandemi Covid-19 dan tertekan harga yang tinggi menjadi 22 juta ton,” ungkapnya dalam konferensi secara daring tersebut.
Lebih jauh, Mehta menjabarkan, konsumsi minyak pangan di negaranya didominasi minyak sawit lebih dari 37%, minyak kedelai 22%, disusul minyak biji bunga matahari dan minyak mustard sekitar 20%. Selain itu ada tambahan pasokan minyak biji kapas, minyak dedak padi, dan kelapa.Untuk memenuhi total kebutuhan minyak pangannya, India mengimpor minyak nabati dari beberapa negara sejak 1990 hingga sekarang.
“Pada 2020/2021, India mengimpor 13,13 juta ton senilai US$13,5 miliar. Kebanyakan impor dalam bentuk minyak mentah yang kemudian diolah para anggota SEAI. SEAI ini beranggotakan ekstraktor, importir, juga eksportir. Nilai ekonomi industri pengolah biji-bijian ini diperkirakan US$35 miliardan melibatkan 20 jutaan pekerja,” paparnya sembari menambahkan, perhitungan “tahun minyak” India dimulai dari Novemberberakhir pada Oktobertahun berikutnya.
Peran Sawit
Dari 13,1 juta ton impor minyak nabati itu, 8 juta-8,5 juta ton adalah minyak sawit. Minyak sawit populer di kalangan pelaku usaha hotel, restoran, dan katering (horeka) karena sifatnya multiguna, efisien, dan harganya terjangkau. Akibat pandemi Covid-19, konsumsi minyak sawit anjlok 30% selama 2019-2020.
Kabar baiknya, lanjut Mehta, India termasuk negara yang paling cepat memvaksinasi penduduknya, sampai 1,17 miliar jiwa dua bulan sebelum tenggat. Sampai naskah ini diturunkan, 72% sudah menjalanivaksinasi komplet. Dengan situasi pandemi yang mendekati normal, permintaan dari segmen horeka perlahan mulai pulih.Apalagi pertumbuhan ekonominya tahun ini diprediksi ngebut 9,1%.
Pemenuhan kebutuhan minyak sawit sejauh ini 95% dari impor, terutama Indonesia dan Malaysia. Sisanya produksi domestik. Tahun lalu, impor minyak sawit India membengkak dari 7,2 juta ton menjadi 8,3 juta ton. “Hal ini lantaran pemerintah menurunkan bea masuk CPO (crude palm oil) dan mencabut larangan impor minyak olahan (RBD Palmolein) sejak 1 Juli 2021.
Alasannya, selama satu tahun terakhir harga CIF India CPO 68%dan RBD Palmolein naik 59%, masing-masing US$1.369 dan US$1.349 pada Oktober 2021. Pemerintah mengambil langkah tersebut untuk mengendalikan harga di pasar domestik dan membantu konsumen,” ulasnya.
Sejak November 2020, pemerintah telah mengubah besaran bea masuk (BM) lima kali. Terakhir 14 Oktober 2021, BM CPO 8,25% dari sebelumnya per 11 September 2021 BM 24,75%. Sementara BM RBD Palmolein 35,75% dikepras tinggal 19,25%.
Pada periode yang sama, impor soft oil, yaitu minyak kedelai dan minyak bunga matahari) anjlok dari 5,9 juta ton tinggal 4,8 juta ton. Jadi pangsa minyak sawit tahun silam sebesar63%. Dua jenis minyak ini termasuk pesaing berat sawit di negeri Perdana Menteri Narendra Modi tersebut.
Pasar India sangat sensitif terhadap harga.Kala sawit terlalu mahal, mereka beralih ke minyak yang lebih murah karena produk impor itu menjadi bahan baku industri pengolah minyak di dalam negeri.
Biasanya Indonesia menguasai pangsa 70%-75% dari impor sawit India, selebihnya dari Malaysia.
Namun pangsa Indonesia berkurang karena ada bea keluar (export tax) dan pungutan (levy)cukup
tinggi sehingga mereka lebih banyak menyerap CPO dari Malaysia. Sampai Januari-September 2021, India impor 3,112 juta ton dari Indonesia, Malaysia 2,654 juta ton. Jadi,pangsanya 65% berbanding 35%.
Prospek masih kinclong
Masa depan dagang minyak sawit masih tetap kinclong di India sepanjang harganya kompetitif dibandingkan minyak kedelai dan minyak bunga matahari. Mehta memproyeksikan, pada 2025-2026 penduduk India yang sebanyak 1,43 miliar jiwa dengan konsumsi minyak per kapita 17,9-18,79 kg/orang akan membutuhkan 25,61 juta ton–26,89 juta ton minyak nabati. Pertumbuhan konsumsi 2%-3% per tahun.Produksi lokal hanya mampu menyediakan 13 jutaan ton sehingga India tetap membuka pintu impor 12 juta – 13 juta ton.
Sebenarnya negara berjuluk Anak Benua ini memiliki lahan potensial untuk menanam sawit seluas 1,93 juta ha. Yang ditanami baru 357 ribu ha atau 18,4%. Total produksi tandan buah segarnya 2,1 juta ton setara CPO 350 ribu ton. Produktivitas kebunnya sekitar 1 ton CPO/ha.
“Saat ini memang ada concern untuk mengembangkan sawit di India agar produksi minyaknya lebih tinggi. Pemerintah merilis program ambisius pengembangan sawit sampai lima tahun ke depan dengan bujet US$1,5 miliar. Pemerintah menjamin harga petani. Target luasan dari 325 ribu ha menjadi 1 juta ha pada 2025 lalu 1,8 juta ha pada 2029-2030. Target produksi CPO dari 0,3 juta ton menjadi 1 juta ton pada 2025-2026 dan 2,8 juta ton pada 2029-2030. Masih jauh dari kebutuhan,” tutur Mehta.
Tahun ini, imbuh dia, volume impor minyak nabati diperkirakan mencapai 13 juta ton seperti dua tahun terakhir. “Dari angka itu, CPO 7,7 juta ton dan RBD Palm Olein 100 ribu ton. Bea masuk CPO rendah hanya berlaku sampai 31 Maret 2022, setelah itu kembali lagi ke tarif semula, 16%-20% lebih tinggi. Sementara kalau pelarangan impor RBD Palmolein sudah berlaku lagi, maka akan diganti CPO sepenuhnya. Perkiraan saya 7 juta-8 juta ton,” paparnya.
Pada akhir presentasinya, Mehta menyarankan, pemerintah Indonesia mengatur lagi bea masuk dan pungutan produk sawit agar bisa menjaga pangsa pasar di negaranya.
Peni Sari Palupi