Foto: Dok. PTPN 11
Pendirian pabrik gula di Indonesia mengikuti era revolusi industri
Kebutuhan IoT sangat mendesak dalam pengembangan pabrik gula jika ingin mencapai swasembada.
Uzurnya mayoritas pabrik gula di Indonesia seolah menggambarkan industri gula nasional ketinggalan zaman. Padahal, teknologi yang diterapkan dalam pembangunan pabrik tersebut mengikuti pergerakan revolusi industri. Ini menujukkan semakin pentingnya aplikasi IoT (Internet of Things) dalam industri gula agar sesuai perkembangan zaman.
Revolusi Industri
Industri gula, khususnya di off farm, menurut Nur Iswanto, pemerhati gula nasional, merupakan salah satu industri yang perkembangannya mencerminkan fase revolusi industri. Pabrik gula (PG) Indonesia yang berdiri di abad 19 sampai awal abad 20, mengusung teknologi yang berkembang selama revolusi industri 1 dan 2. “Misalnya, pengoperasian boiler bertekanan rendah 5-7 bar, pengoperasian mesin uap, dan sebagainya,” katanya pada webinar “Teknologi Off Farm dan IoT dalam Mendukung Kemutakhiran Industri Gula”.
PG yang didirikan pada 1970 – 1990’an membawa teknologi era revolusi industri ke-3, seperti boiler bertekanan menengah, 25 bar, lalu single state turbine dan motor elektrik sebagai penggerak utama. Namun, proses kontrol dan otomasi di PG memang masih terbatas. Contohnya, Supervisory Control & Data Acqusition (SCADA), sistem kendali industri berbasis komputer yang digunakan untuk pengawasan suatu proses, belum banyak digunakan.
“Memang harus diakui bahwa secara umum modernisasi industri gula di Indonesia berjalan dengan cukup lambat. Padahal, di negara penghasil utama gula di dunia seperti Brasil, India, dan Thailand, selain perkembangan teknologi yang lebih maju, tebu tidak dipandang sebagai penghasil gula semata. Namun, juga sebagai tanaman penghasil energi. Di samping itu, pabrik gula juga menghasilkan bahan baku dari berbagai fine chemical hatchery,” ulasnya.
Lin Che Wei, CEO dan pemilik PT Independent Research & Advisory Indonesia menyatakan, isu utama industri gula yaitu gula sangat tinggi distorsinya. Hampir di seluruh negara dunia, gula dikenal paling banyak distorsi kebijakan sesudah beras sehingga mempengaruhi harga dan volatilitas.
Di sisi pasar, gula merupakan industri esensial. “Gula dibutuhkan oleh hampir semua elemen masyarakat. Ada hubungannya antara backward dan forward linkage. Di sinilah IoT memegang peranan penting karena digitalisasi industri gula mempunyai keterkaitan kuat antara petani kecil sampai ke industri hilir,” jelasnya.
Lin mengusulkan pabrik terintegrasi dengan mengoptimasi kandungan gula, mengurangi biaya, dan meningkatkan pendapatan. Pabrik terintegrasi akan menghasilkan stabilitas energi dan nilai tambah.
Kinerja industri gula nasional yang menurun selama 2016-2020 akibat penurunan lahan tebu dan mesin pabrik yang tua, ulasnya, bisa diperbaiki dengan memanfaatkan teknologi untuk membangun industri gula bekelanjutan. “Pengawalan dalam penggunaan teknologi yang terintegrasi berbasis IoT dan industri 4.0 diperlukan untuk mengembangkan industri gula yang berkelanjutan,” tegasnya.
Aplikasi IoT
Bakti Yudho Suprapto, dosen Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumsel mengatakan, inti revolusi industri 4.0 adalah sistem siber atau dikenal sebagai digitalisasi dan IoT. “Internet of things yang paling paling populer saat ini di mana di segala bidang sekarang sudah mulai menggeliat dengan internet of things,” ucapnya.
IoT adalah jaringan objek fisik (things) yang disematkan dengan elektronik atau jaringan sehingga mengetahui apa yang dibaca sensor sampai ke posisi kita. Komunikasi antara mesin ke mesin pun bisa terjadi lewat perantara IoT.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 331 terbit Januari 2022. Dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di e-Agrina secara gratis atau berlangganan di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.