Rabu, 2 Juni 2021

PERKEBUNAN : Terapkan GAP, Petani Nikmati Harga Bagus

PERKEBUNAN : Terapkan GAP, Petani Nikmati Harga Bagus

Foto: Dok. GIZ
Karet kering produksi petani Kalbar setelah menerapkan GAP

Pemerintah RI dan Jerman menjalin kerja sama dalam wadah GIZ SASCI untuk meningkatkan kesejahteraan petani karet nasional.


Karet termasuk tiga besar komoditas perkebunan pemasok devisa setelah sawit dan kakao. Di pasar global, Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil karet alam setelah Thailand.
 
Pada 2019, Statista mencatat, Thailand memproduksi karet 4,85 juta ton dan Indonesia 3,3 juta ton. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi Indonesia itu dikumpulkan dari perkebunan rakyat 89% (2,95 juta ton), swasta 7% (0,25 juta ton), dan milik negara 4% (0,13 juta ton).


Melalui GIZ SASCI

Data Ditjen Perkebunan, Kementan, menunjukkan, produksi karet 2018 yang sebanyak 3,63 juta ton terutama berasal dari tiga provinsi, yaitu Sumsel dengan produksi 982 ribu ton (27%), Sumut 461 ribu ton (12,7%) dan ketiga Riau 369 ribu ton (9,5%).
 
Melihat peran karet sebagai sumber pendapatan masyarakat dan penghasil devisa, Kementan terus berupaya meningkatkan produksi nasional.
 
Salah satunya dengan menggandeng pemerintah Jerman melalui lembaga kerja sama internasionalnya, Deutche Genellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Kedua pihak melaksanakan proyek GIZ Sustainable Agricultural Supply Chain (GIZ SASCI).

Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementan, menjelaskan, melalui GIZ SASCI ini pemerintah mendorong peningkatan kualitas, produksi, dan rantai pasok. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan petani.

“Untuk mencapai tujuan utama itu berawal dari teknis budidaya yang baik dan benar hingga meningkatkan kualitas. Program jangka panjangnya penguatan kelembagaan petani karet. Ini dapat meningkat perekonomian di desa, memotong rantai pasok, dan ada jaminan harga serta membangun kelembagaan,” ujar Dedi melalui sambungan telepon (30/4).

Sementara itu, Per Rasmunssen, Principal Advisor SASCI, mengungkap, GIZ SASCI merupakan proyek yang diinisiasi pemerintah Jerman dari program BMZ (Kementerian Federal Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) dengan tujuan meningkatkan mata pencarian masyarakat pedesaan di Indonesia melalui perlindungan habitat alam dan menghindari deforestasi dan degradasi lahan yang mengarah pada penurunan emisi gas rumah kaca.
 
“Tujuan utama SASCI membangun rantai pasok pertanian bebas deforestasi untuk bahan baku terbarukan di pasar global,” jelasnya kepada AGRINA di lapangan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar (15/4).    

Stephan Kitzbichler, Advisor SASCI, menimpali, SASCI menargetkan dari proyek tersebut dapat menggandeng 4.000 petani karet dan sawit hingga 2024. Saat ini GIZ SASCI telah menggandeng 400 lebih petani karet dan sawit di Kapuas Hulu, Kalbar. Hasil dari Kalbar diharapkan bisa direplikasi ke daerah sentra karet lainnya.

Menurut Stephan, Kalbar berpeluang meningkatkan produktivitas seperti di Sumsel. “Pada 2018 - 2020 target 400 petani karet dan sawit cukup sukses. GIZ berkomitmen untuk membesarkan kegiatan ini sehingga ada penambahan target GIZ 2021 hingga 2024 dengan target 4.000 petani dengan fokus melatih, membangun kekuatan dalam menyukseskan proyek ini,” ulasnya bersemangat.

Lebih jauh pria yang telah lama bermukim di Indonesia tersebut memaparkan, SASCI membina petani supaya menerapkan cara budidaya yang baik dan benar (Good Agricultural Practices-GAP). Hal ini kunci untuk menciptakan komoditas bernilai tinggi.
 
SASCI ingin memperbaiki hasil produksi karet yang selama ini dikontaminasi bahan-bahan lain, seperti paku dan batu kerikil agar karet terasa berat saat ditimbang. Pemikiran petani tersebut dapat memperburuk citra komoditas karet dan semakin turun kualitasnya.

Dengan melaksanakan program SASCI, produksi karet dari petani Kapuas Hulu akan dijadikan karet murni. Ini berdampak baik terhadap petani dan Continental, perusahaan ban dari Jerman, penyerap karet alam yang dilibatkan dalam proyek ini. Continental dapat menghasilkan karet murni, sementara petani mendapatkan harga lebih baik. Pihak Continental memberikan harga sesuai dengan kualitas karet.

“Harga karet naik turun di pasar global. Kalau dihitung-hitung, petani karet yang ikut dalam proyek GIZ SASCI mendapatkan harga lebih baik, 10%-15%. Angka tersebut di atas harga standar atau harga tengkulak,” klaim Stephan.


Kebahagiaan Petani

Hasil pembinaan SASCI sudah terlihat. AM Maskur, Ketua kelompok Sejahtera Bersama, Desa Riam Panjang, Kec. Pengkadan, Kapuas Hulu, mengakui, sebelum bergabung dengan GIZ SASCI ia mendapat harga jual karet basah Rp5.500-Rp6.000/kg.
 
Setelah bergabung pada September 2019, harga jual karetnya meningkat siginifikan. “Harga lebih tinggi, kurang lebih Rp14.500/kg untuk karet yang dikeringkan selama 14 hari. Sedangkan penghasilan petani karet dalam sebulan kurang lebih Rp2,5 juta – Rp3 juta,” ungkapnya.

Maskur mengungkapkan senangnya telah bergabung dalam GIZ SASCI. Selain memperoleh bimbingan berproduksi yang benar, dia diajak berkunjung ke sentra produksi karet terbesar di Sumsel.
 
Tidak hanya itu, yang juga membuatnya bahagia adalah rantai pasok tidak begitu panjang. Karetnya dapat dijual langsung ke Continental. “Tidak ada lagi ongkos kirim karet yang biasa dikeluarkan petani. Perusahaan akan datang ke desa kami sebulan sekali. Ini sangat membantu sekali,” ucapnya.

Lebih jauh Maskur menjelaskan, pada 2013 kelompoknya mendapatkan bantuan bibit unggul PB 260 dari pemerintah. Hasil produksinya cukup lumayan dibandingkan bibit lama. Produksi klon unggul mencapai 12 kg/hari karet basah, sedangkan yang lokal hanya berkisar 5 - 6 kg/hari karet basah. Ia berharap, ada bantuan lagi bibit unggul seperti bibit di Sumsel tetapi yang cocok dengan iklim Kalbar.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 324 terbit Juni 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain