Selasa, 2 Maret 2021

PERIKANAN : Yuk, Atasi AHPND Sejak Dini!

PERIKANAN : Yuk, Atasi AHPND Sejak Dini!

Foto: Windi Listianingsih
Budidaya udang harus menerapkan aturan new normal dengan menjaga biosekuriti dan kadar oksigen minimum 4,5 ppm

Sisa pakan udang menjadi makan “empuk” Vibrio parahaemolyticus, penyebab AHPND.


Kematian dini yang menyerang udang membikin pusing para petambak karena menambah beban tantangan penyakit.
 
Namun jika tambak dikelola dengan tepat, penyakit yang disebut Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) ini bisa dikendalikan. Mau tahu caranya?


Benur hingga Media Budidaya

Henny Budi Utari, GM of Aquatic Health Service PT Central Proteina Prima (CPP), Tbk. melakukan banyak riset tentang penyakit kematian dini.
 
Dari percobaan bersama tim CPP terungkap, udang yang berukuran lebih besar, 0,7-0,8 g/ekor atau umur 25-30 hari, lebih tahan serangan AHPND daripada post larvae (PL).
 
“Makanya alternatif terbaik tebar dengan yang dinamakan super PL. Jadi, PL yang ukurannya besar. Atau, mungkin non-direct stock (NP) jadi tidak langsung tebar, menggunakan NP. Ukuran yang lebih gede lebih resisten,” terangnya.

Jika kematian dini sudah terlanjur menyerang udang maka hindari kanibalisme. Caranya, ambil udang yang mati di dasar kolam setiap hari untuk mencegah dimakan udang sehat.
 
“Semakin dimakan, semakin meningkat Vibrio parahaemolyticus (Vp)-nya ada di dalam hepatopankreas,” kata Doktor lulusan Madihol University, Bangkok, Thailand itu.

Salinitas air yang tinggi, ungkapnya, ternyata juga memperparah keberadaan AHPND. Namun, ia mengakui sulit memproduksi benur dengan salinitas rendah.
 
Karena itu, petambak perlu membuat nursery pond atau kolam pendederan sebelum menebar benur ke kolam budidaya.
 
Pertumbuhan Vp juga diuji di berbagai media, seperti Tryptic Soy Broth (TSB), air laut yang bersih, plankton drop, dan sisa pakan. Hasil uji menunjukkan, Vp tidak terlalu cepat pertumbuhannya dalam air laut yang bersih.

“TBS itu pertumbuhan (Vp)-nya cukup tinggi. Dengan plankton drop, ternyata pertumbuhannya sangat cepat. Dan yang terakhir, yang paling tinggi dan naik adalah pakan yang tidak termakan, ini ternyata cukp tinggi.
 
Makanya menjadi lesson learn (pembelajaran), cegah over feed (pakan berlebih), sifon rutin, waspada plankton drop, dan mengurangi bahan organik karena semua ini adalah makanan buat Vibrio parahaemolyticus,” ulasnya.

Selain itu, Henny mengingatkan agar mewaspadai lumpur hingga hewan liar, seperti kepiting, trisipan, dan bernakel di perairan yang berpotensi membawa (carrier) AHPND.
 
Petambak harus melakukan deteksi sensitif dengan real time PCR untuk mencegah potensi carrier masuk ke dalam sistem budidaya.
 
“Kalau uji bukan menggunakan real time PCR, ini negatif semua karena 100 baru muncul positif. Jadi semua seolah-olah negatif, nggak tahunya perairan kita membawa potensi. Ternyata tidak diuji dengan deteksi yang sensitif,” paparnya.


Perubahan Paradigma

Henny menyarankan petambak melakukan perubahan paradigma budidaya udang layaknya kehidupan new normal di masa Covid-19. Ia menyebutnya budidaya udang new normal. Ada 10 protokol budidaya udang new normal ala CPP.
 
Pertama, memperbaiki layout (tata letak) tambak untuk meningkatkan biosekuriti. “Jadi, kita melakukan perubahan paradigma, utamanya kita memperbaiki layout tambak,” tegasnya.
 
Sebab, masih banyak tambak yang menyatukan saluran inlet dan outlet, punya kolam budidaya banyak namun tandonnya cuma satu. “Nah, itu tidak cukup. Kita harus ubah,” sarannya.

Kedua, sambungnya, mempersiapkan lahan dan air sesuai standar. “Ini harus dihitung, kita mau ganti air berapa persen, cukup nggak tandon kita, itu harus dihitung dari awal,” imbuhnya.
 
Ketiga, pemilihan benih berkualitas dan bebas AHPND dengan cara uji menggunakan real time PCR. Keempat, mengurangi padat tebar agar daya dukung lingkungan cukup. Kelima, Manajemen kualitas air dan manajemen pakan.

“Manajemen pakan kita nggak 100%. Kita atur gimana supaya udang masih mau makan. Walaupun dia tidak akan mati kalau nggak dikasih makan tapi kita kasih porsinya tidak maksimal,” ulas perempuan kelahiran Malang, 8 Juli 1967 itu. Keenam, Henny menganjurkan penggunaan real time PCR di tambak untuk mendeteksi awal penyakit kematian dini.

Ketujuh, sosialisasi pencegahan AHPND kepada seluruh staf dan mitra. Bahkan, CPP mengeluarkan 3 lokasi untuk real time PCR berbayar untuk mitra dan non-mitra.
 
“Percuma juga tambak yang kita pelihara aman tapi sebelahnya nggak. Ini untuk memberikan kepedulian terhadap semua pembudidaya,” terangnya. Yang tak kalah penting sebagai aturan kedelapan, memperketat biosekuriti.

Kesembilan, menjaga level oksigen terlarut, khususnya malam hari minimum 4,5 ppm serta menjaga jumlah vibrio tetap rendah. “Kemudian, aplikasi additive (imbuhan pakan) yang berfungsi untuk meningkatkan sistem imun,” tambahnya sebagai aturan terakhir. Ia mencontohkan, layout tambak yang hanya dipenuhi kolam pembesaran diubah lalu dilengkapi kolam rekondisi yang diisi plankton hijau dan nila, serta wajib dibangun IPAL.

“Kemudian, kita lakukan cara-cara seperti pengendapan, filterisasi agar yang keluar sudah menurun atau berkurang (limbah). Kemudian kita buang ke situ (IPAL), kita kasih probiotik, baru rilis ke lapangan. Jadi, benar-benar mencegah agar sustainable (berkelanjutan),” urainya dalam webinar “Perkembangan Penyakit Ikan dan Udang di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19” beberapa waktu lalu.

Kolam pengendapan dapat dibuat miring sehingga kotoran dasar akan jatuh ke bawah. “Tata air dibuat miring untuk meminimalisir lumpur. Terus-menerus kita lakukan seperti itu dengan meminimalisir bahan organik,” jelas lulusan S2 Universitas Airlangga, Surabaya, Jatim ini sambil mengingatkan pembuatan saluran limbah pusat (central drain) di tandon untuk membuang lumpur sisa budidaya.

Ia menuturkan, kandungan bahan organik di perairan sudah sangat tinggi sehingga aplikasi desinfeksi apapun bisa berkurang efektivitasnya yang berakibat meningkatnya vibrio.
 
“Pada saat kita kasih desinfeksi tentunya plankton drop, plankton bisa dikeluarkan. Karena di situ peningkatan vibrio bisa 2 kali lipat,” tambahnya.   

Di samping itu, Henny mengingatkan tantangan penyakit Decapod Iridescent Virus 1 (DIV1), Covert Mortality Disease Virus (CMNV) yang perlu multipendekatan untuk mengatasinya.
 
Surveillance (pengawasan) harus terus dijalankan, deteksi dini dengan alat yang lebih canggih. Terus, perlu keterlibatan semua stakeholder baik pemerintah, non-pemerintah, hatchery (pembenih), additive-nya, ini perlu konseling, kepedulian Bersama,” tandasnya.


 
Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain