Rabu, 2 Desember 2020

PERIKANAN : Peta Menuju Ekspor 250%

PERIKANAN : Peta Menuju Ekspor 250%

Foto: Dok. KKP
Revitalisasi tambak udang menerapkan Sustainable Shrimp Silvofishery dan melibatkan generasi milenial

“Mulai dari benur sampai ekspor harus terintegrasi dalam satu kelembagan supaya menjadi satu badan yang sama-sama mencari efisiensi dan daya saing,” ucap Agus Somamiharja.


Rencana pemerintah memproduksi udang sebesar 1,2 juta ton dengan nilai Rp90,30 triliun pada 2024 mendapat berbagai tanggapan. Target kenaikan ekspor 250% ini menuntut langkah nyata yang didukung seluruh pihak. Bagaimana strateginya?


Posisi dan Tantangan

Mengacu produksi dan nilai ekspor udang 2019, target ekspor 250% artinya produksi udang naik dari 517.397 ton di 2019 menjadi 1.290.000 ton di 2024. Pun, nilai ekspor meningkat dari Rp36,22 triliun menjadi Rp90,30 tiliun.
 
Akan ada kenaikan produksi udang sebanyak 772.608 ton hingga 2024. Dengan demikian, butuh 860 kawasan atau 80 ribu ha tambak sampai 2024 sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan merevitalisasi 100 ribu ha tambak.

Menanggapi hal ini, Agnes Marcellina mengatakan, pembukaan kawasan tambak baru akan meningkatkan permintaan benih dan pakan.
 
“Kita perlu memikirkan ketersediaan pakan dan benih yang selama ini masih berfokus di Pulau Jawa. Tidak mungkin kirim semua dari Pulau Jawa karena tidak akan efisien dan biaya produksi akan tinggi. Jika ini terjadi, akhirnya Indonesia akan sulit berkompetisi karena pasar menginginkan harga yang bisa lebih kompetitif,” urainya.

Belum lagi masalah logistik, seperti biaya cargo yang tinggi. “Sehingga, pembukaan kawasan tambak ini bisa bersinergi dengan penunjang-penunjang lainnya,” saran Wakil Ketua Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (KP2KP) bidang Sinergi Dunia Usaha itu.

Agnes menyoroti posisi Indonesia yang masih sedikit sekali menyuplai kebutuhan udang dunia, hanya 7%. “Sedangkan, negara besar seperti China dan Thailand produksi nasionalnya sekitar 75% produksi dunia,” ulasnya pada Konsultasi Publik “Revitalisasi Tambak Udang untuk Mencapai Target Peningkatan Produksi Udang Nasional”, kamis (12/11).

Meski begitu, ia mengapresiasi nilai ekspor udang nasional di peringkat ke-4 dunia setelah India, Ekuador, dan Vietnam.
 
“Hal ini karena produksi udang Indonesia 90%-nya dieskpor sehingga mendatangkan devisa. Sedangkan, Thailand dan China produksi udangnya besar tapi konsumsi domestik juga besar. Mudah-mudahan saat produksi udang nasional kita sudah melimpah, bukan hanya tuk pasar luar negeri saja tapi domestik juga bisa besar sehingga masalah stunting bisa dibenahi,” paparnya.

Agus Somamiharja, Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan menuturkan, perlu mendata aset tambak, melihat posisi industri udang nasional dari sisi produksi dan pasar, serta menganalisis faktor pendukung capaian target produksi 2,5 kali lipat.
 
“Harus tahu udang-udang yang didapat dari mana. Berapa tambak yang jalan, intensif, semi, tradisional berapa? Ini akan menjadi acuan seberapa yang kita punya hari ini,” serunya.

Guna mengangkat ekspor, harus mengetahui posisi pasar, terutama daya saing dan kekhasan udang kita. Ada 4 pasar utama dunia, yaitu Amerika, Eropa, Jepang, dan China.
 
“Bagaimana kita bisa masuk di 2 pasar besar: Uni eropa dan China? Pasar Uni Eropa yang paling sulit ditembus karena lebih meminta udang organik atau sangat tersertifikasi sustainable (keberlanjutan)-nya,” lanjutnya.


Strategi

Agus menyarankan, revitalisasi bukan hanya fisik tambak tapi meliputi akses benur berkualitas, induk, infrastruktur, pembiayaan, peningkatan sumber daya manusia dan standar operasional prosedur, pembentukan kelembagaan hulu-hilir, serta mempermudah perizinan dan regulasi.
 
“Kelembagaan hulu-hilir penting sekali. Mulai dari benur sampai ekspor harus terintegrasi dalam satu kelembagan supaya menjadi satu badan yang sama-sama mencari efisiensi dan daya saing,” jelasnya.

Revitalisasi melalui peningkatan produktivitas dan pelibatan tambak eks-plasma, seperti Dipasena, Wahyuni Mandira, dan CPB. “Revitalisasi tambak Dipasena, Wahyuni Mandira, dan CPB penting karena sudah ada sejak dulu dan berperan begitu besar terhadap tambak Indonesia. Di sana ada orang berpengalaman dan milik rakyat,” katanya.
 
Produktivitas tambak intensif diharapkan naik dari 13,64 ton/ha/siklus menjadi 20,61 ton/ha/siklus, tambak semi-intensif 4,55 ton/ha/siklus jadi 8,96 ton/ha/siklus, dan tradisional dari 0,2 ton/ha/siklus jadi 2,69 ton/ha/siklus. “Bila dilakukan, akan meningkatkan tenaga kerja dan pemberdayaan masyarakat kecil,” imbuhnya.

Kemudian, penerapan Sustainable Shrimp Silvofishery pada tambak milenial. Mencontoh Ekuador yang memperhatikan lingkungan, tambak direvitalisasi dengan 17% untuk area budidaya, 17% area pendukung, dan 66% kawasan mangrove dan saluran air.
 
“Ini akan tampak seperti Ekuador. Bedanya terdiri dari tambak milenial tapi penebarannya intensif yang berada di mangrove,” jelas founder PT Prima Akuakultur Lestari itu. Tambak di Ekuador luas dan bakaunya terbentang menghijau. “Ini yang menarik pembeli. Konsumen yang perhatian isu lingkungan, melirik Ekuador,” ucapnya.

Budhi Wibowo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha, Pengolahan, dan Pemasaran Produk Perikanan (AP5I) menegaskan, keberlanjutan itu harga mati. Aplikasinya dengan mengolah limbah sehingga penyakit bisa diminimalisasi dan target produksi udang nasional tercapai.
 
“Unit pengolahan udang, lokasinya tidak harus selalu dekat lokasi tambak. Sepanjang kurang-lebih 48 jam dari lokasi panen hingga masuk pabrik, masih aman dan masih memenuhi standar kualitas dari buyer  dan masih kita golongkan first grade quality,” ujarnya.


Empat Langkah

Mencapai target 250% nilai ekspor udang, Tinggal Hermawan, Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan, Ditjen Perikanan Budidaya, KKP menjelaskan, ada 4 kegiatan utama yang dilakukan. Yaitu, klaster tambak, aplikasi model millennial shrimp farm (MSF), revitalisasi tambak tradisional, dan mendorong investasi dalam dan luar negeri.

Klaster tambak udang dengan percontohan 5 lokasi seluas 5 ha/lokasi pada 2020 di Aceh Timur-NAD, Lampung Selatan-Lampung, Cianjur-Jabar, Sukamara-Kalteng, dan Boul-Sulteng. Kebutuhan benihnya mencapai 48 miliar ekor dan pakan 1,12 juta ton. Klaster tambak memperhatikan potensi tiap kabupaten, seperti Aceh Timur ada 10 ribu ha tambak.

Model MSF ada di BPBAP Situbondo, Jatim 50 ha dan BBPBAP Jepara, Jateng 40 ha. Setiap lokasi menghasilkan 2 milenial yang disebar ke berbagai wilayah dengan dukungan dana KKP. “Dari 2 lokasi bisa menelurkan 40 lokasi MSF. Tahun 2022 bisa mencapai target 40 lokasi,” jelas Tinggal.

Revitalisasi tambak tradisional dengan bantuan sarana berupa kincir, pompa, dan genset. Lalu, mendorong investasi dengan penyederhanaan izin dari 21 jadi 1 izin online single submission (OSS).
 
“Rencana penyerdehanaan izin jadi 1 OSS berisi 3 perizinan teknis, yaitu izin penggunaan tanah, izin lingkungan dan pengolahan limbah, dan SIUP,” imbuhnya.

Untuk mendorong investasi, Yugi Prayanto, Wakil Ketua Umum Kadin bidang Kelautan dan Perikanan menyarankan, izin lahan tambak tidak dibatasi sampai 200 ha untuk badan usaha.
 
“Sebaiknya dilepas sebebas mungkin karena pengusaha tidak akan investasi besar kalau tidak ada modal. Toh, kita akan menyerap banyak tenaga kerja,” pungkasnya.



Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain