Rabu, 2 Desember 2020

PERIKANAN : Tetap Sehat dengan Pengendalian AMR

PERIKANAN : Tetap Sehat dengan Pengendalian AMR

Foto: Dok. KKP
Udang adalah produk akuakultur yang memenuhi prinsip kemanan pangan

Pengendalian AMR memastikan produk akuakultur memenuhi prinsip keamanan pangan.


Produksi akuakultur yang menjadi bagian tulang punggung ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi nasional selama pandemi Covid-19, sering terkendala penyakit. Untuk mengatasi penyakit berupa virus, bakteri, cendawan, dan parasit yang menginfeksi, tidak lepas dari penggunaan antimikroba.
 
Sementara itu, resistensi antimikroba (antimicrobial resistance, AMR) menjadi salah satu permasalahan global yang mendapat perhatian serius di bidang kesehatan manusia, hewan, dan perikanan.
 
“Penggunaan antimikroba secara luas yang tidak terkendali dapat memicu munculnya resistensi antimikroba,” ungkap Slamet Soebjakto, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).


Diizinkan

Slamet menjelaskan, penggunaan antimikroba tidak menjadi masalah jika digunakan secara tepat sesuai jenis bakteri yang menginfeksi, tepat dosis, dan sesuai dengan mekanisme kerja antibakteri.
 
Ia menegaskan, “Pada saat seperti sekarang ini harus mampu merumuskan formula penanganan penyakit dalam perikanan budidaya (akuakultur) tetapi tidak meningkatkan risiko terjadinya resistensi antimikroba dan pada akhirnya tidak mengganggu produksi perikanan budidaya nasional.”

AMR di bidang perikanan diatur oleh organisasi kesehatan hewan dunia (the World Organisation for Animal Health, OIE) dalam Aquatic Animal Health Code Tahun 2014, khususnya di Bab 6.
 
Pemerintah juga telah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2019 Tentang peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.

Lebih jauh Dirjen menjelaskan, penggunaan antimikroba diizinkan di perikanan budidaya sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01/2019 Tentang Obat Ikan.
 
“Dengan antimikroba meliputi eritromisin, enrofloksasin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, dan tetrasiklin,” terangnya pada National Training Workshop on Antimicrobial Resistance Surveillance and Monitoring, di Serang, Banten, Senin (16/11).

Tinggal Hermawan, Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan DJPB KKP menekankan, pengendalian AMR adalah upaya untuk memastikan produk akuakultur, khususnya ikan konsumsi telah memenuhi prinsip keamanan pangan sehingga menjamin kesehatan masyarakat.
 
“Penggunaan antimikroba yang menyimpang dan berlebihan baik pada bidang kedokteran dan produksi pangan telah menjadi risiko bagi seluruh bangsa di dunia,” ujar Tinggal.

Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional pengendalian AMR tahun 2020-2024 yang dikoordinasi Kementerian Kesehatan melibatkan KKP, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta BPOM.
 
“Kegiatan ini sebagai bentuk keselarasan dalam meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan terhadap resistensi antimikroba. Dari hasil penyamaan persepsi dalam pengumpulan data AMR, dapat dilakukan pembaharuan Juknis Surveilan dan Metode Uji AMR khususnya dalam bidang perikanan budidaya,” urainya.

Ia menggarisbawahi pentingnya memperkuat komunikasi antar petugas laboratorium di lingkup DJPB dan dinas kelautan dan perikanan provinsi dalam melaksanakan surveilan dan pengawasan penggunaan antimikroba (antimicrobial use, AMU) dan pengujian AMR. Jejaring antar Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan (Keskanling) ini sangat dibutuhkan.

Apalagi, dampak kematian dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan AMR cukup besar. Pada bidang pertanian atau peternakan, ungkap Maria Fatima Palupi, mewakili Kementerian Pertanian, pada 2013 angka kematian akibat kasus infeksi bakteri yang resisten antimikroba mencapai 700 ribu jiwa.
 
“Ini merupakan suatu hal yang sangat serius. Tahun 2050 jika pengendalian AMR tidak ditindaklanjuti, diprediksi terjadi kematian 10 juta jiwa/tahun, melebihi angka kematian akibat kanker serta kerugian ekonomi kurang lebih US$10 triliun/tahun,” tandasnya pada acara yang berkolaborasi dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) itu.


 
Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain