Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Sistem pendederan menghemat biaya produksi dan mencegah penyakit
SP mencegah penyakit dan menghemat biaya produksi udang. Bagaimana caranya?
Sistem pendederan atau nursery pond (NP) benur menjadi perhatian pelaku usaha tambak belakangan ini seiring maraknya penyakit fenomena kematian dini (FKD) pada udang.
Sistem pendederan atau nursery pond (NP) benur menjadi perhatian pelaku usaha tambak belakangan ini seiring maraknya penyakit fenomena kematian dini (FKD) pada udang.
Pasalnya, NP diyakini mampu mencegah FKD dan White Spot Syndrome Virus (WSSV) serta menghemat biaya produksi hingga 30%.
Nursery Pond
Hanung mengatakan, sistem NP atau yang dikenal dengan kolam pendederan adalah tahap penebaran larva udang ke tempat pembesaran sementara. Adapun prinsip dasar NP adalah memelihara post larvae (PL) dalam ekosistem yang terkontrol agar ketika sudah menjadi juvenil siap ditumbuhkembangkan di kolam budidaya.
Nursery Pond
Hanung mengatakan, sistem NP atau yang dikenal dengan kolam pendederan adalah tahap penebaran larva udang ke tempat pembesaran sementara. Adapun prinsip dasar NP adalah memelihara post larvae (PL) dalam ekosistem yang terkontrol agar ketika sudah menjadi juvenil siap ditumbuhkembangkan di kolam budidaya.
“Untuk menerapkan NP diperlukan sarana pendukung utama berupa bak NP, aerasi, filterisasi dan proses sterilisasi menggunakan sinar ultraviolet,” Hanung Hernadi, Ketua Umum Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur (FKPA) pada lokakarya daring kurikulum baru Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) baru-baru ini.
Ia mencontohkan, tambak PT Poseidon Biru Aquakultura di Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, memiliki 30 kolam NP yang masing-masing berukuran 7,5 m x 7,5 m dan kedalaman 1,5 m. Bak NP diisi benur dengan kepadatan 10 ekor/l. “Ini mungkin density (kepadatan) paling tinggi di dunia karena di Vietnam saja hanya 3 ekor/l air,” ungkap General Manager Pesoidon itu.
Hanung berani menaikan padat tebar lebih dari tiga kali lipat dengan pertimbangan kualitas airnya baik karena sudah difilterisasi dan disterilisasi, serta menggunakan pakan khusus. Pada tahap awal, benur diberi pakan artemia selama dua hari dan dilanjutkan dengan pakan khusus benur hingga 25 hari. Saat ditransfer ke kolam budidaya, benur sudah mencapai bobot 0,5–0,7 g/ekor.
Idealnya, bak NP sama banyaknya dengan jumlah kolam. Jika kolamnya 30 unit maka bak NP juga 30 unit, seperti yang Hanung bangun di tambak Bengkunat. Artinya, satu bak NP untuk membesarkan benur yang akan ditebar ke satu kolam budidaya. Namun pada siklus yang sedang berjalan, Hanung menggunakan 30 bak NP untuk 15 kolam budidaya sehingga kepadatan tebar di bak NP menjadi 5 ekor/l.
Selanjutnya, ketika DOC (day old culture) udang pada 15 kolam sudah mencapai 60 hari maka kembali diisi benur ke dalam 30 bak NP untuk melayani 15 kolam sisanya. Cara ini dipilih dengan pertimbangan agar bak NP tidak terlalu lama kosong. Dengan begitu, bak NP tetap beroperasi dan hanya berselang dua bulan guna menghindari kerusakan.
Ia menguraikan, menggunakan NP berarti pembudidaya melakukan karantina benur sebelum tebar ke kolam selama 25 hari. Selain mempercepat siklus budidaya di kolam pembesaran, sistem NP juga mampu menghemat biaya produksi hingga 30%.
Ia mencontohkan, tambak PT Poseidon Biru Aquakultura di Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, memiliki 30 kolam NP yang masing-masing berukuran 7,5 m x 7,5 m dan kedalaman 1,5 m. Bak NP diisi benur dengan kepadatan 10 ekor/l. “Ini mungkin density (kepadatan) paling tinggi di dunia karena di Vietnam saja hanya 3 ekor/l air,” ungkap General Manager Pesoidon itu.
Hanung berani menaikan padat tebar lebih dari tiga kali lipat dengan pertimbangan kualitas airnya baik karena sudah difilterisasi dan disterilisasi, serta menggunakan pakan khusus. Pada tahap awal, benur diberi pakan artemia selama dua hari dan dilanjutkan dengan pakan khusus benur hingga 25 hari. Saat ditransfer ke kolam budidaya, benur sudah mencapai bobot 0,5–0,7 g/ekor.
Idealnya, bak NP sama banyaknya dengan jumlah kolam. Jika kolamnya 30 unit maka bak NP juga 30 unit, seperti yang Hanung bangun di tambak Bengkunat. Artinya, satu bak NP untuk membesarkan benur yang akan ditebar ke satu kolam budidaya. Namun pada siklus yang sedang berjalan, Hanung menggunakan 30 bak NP untuk 15 kolam budidaya sehingga kepadatan tebar di bak NP menjadi 5 ekor/l.
Selanjutnya, ketika DOC (day old culture) udang pada 15 kolam sudah mencapai 60 hari maka kembali diisi benur ke dalam 30 bak NP untuk melayani 15 kolam sisanya. Cara ini dipilih dengan pertimbangan agar bak NP tidak terlalu lama kosong. Dengan begitu, bak NP tetap beroperasi dan hanya berselang dua bulan guna menghindari kerusakan.
Ia menguraikan, menggunakan NP berarti pembudidaya melakukan karantina benur sebelum tebar ke kolam selama 25 hari. Selain mempercepat siklus budidaya di kolam pembesaran, sistem NP juga mampu menghemat biaya produksi hingga 30%.
Hal ini karena penggunaan kincir, probiotik, mineral, obat-obatan, dan peralatan lainnya lebih sedikit, hanya dalam bak berukuran 7,5 m x 7,5 m selama 25 hari. Bandingkan jika menggunakan kincir dan obat-obatan untuk kolam budidaya seluas 3.000 m2.
“Dan yang lebih penting adalah sistem NP mampu mencegah berbagai penyakit yang muncul pada awal budidaya seperti FKD dan WSSV. Dengan adanya pendederan, penyakit FKD dan WSSV lebih mudah dimonitor dan dicegah karena berada dalam bak kecil dan kedalaman air hanya 1,2 m,” Hanung meyakinkan.
Bahkan, sambungnya, penyakit lain juga bisa diminimalisasi sebab saat benur berumur 25 hari ditebar ke kolam, kualitas air kolam budidaya masih bagus karena baru mulai digunakan. Sementara jika benur langsung ditebar ke kolam budidaya, pada DOC 30 hari kualitas air sudah jauh menurun akibat menumpuknya zat-zat organik. Sehingga, menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit yang disebabkan bakteri dan virus.
Berbicara soal investasi NP, Hanung mengatakan, tentu biaya per meternya lebih besar daripada membangun kolam budidaya. Besarnya investasi karena harus mendirikan bangunan beserta peralatan aerasi, filterisasi, dan proses sterilisasi menggunakan sinar ultraviolet, serta mesin transfer juvenil ke kolam budidaya.
Namun bagi tambak yang sudah beroperasi 5–10 tahun ke atas, investasi pembangunan NP tidak seberapa dibanding keuntungan yang sudah diperoleh selama budidaya. Menurut Hanung, dengan munculnya FKD maka NP merupakan solusi, seperti yang sebelumnya dilakukan Vietnam sehingga mampu mengatasi EMS (Early Mortality Syndrome).
Pendederan
Proses pendederan berupa persiapan penebaran, manajemen pakan dan kualitas air, manajemen monitoring (pengamatan) pertumbuhan dan kesehatan juvenil, manajemen panen atau transfer ke kolam pembesaran dan pascapanen.
“Dan yang lebih penting adalah sistem NP mampu mencegah berbagai penyakit yang muncul pada awal budidaya seperti FKD dan WSSV. Dengan adanya pendederan, penyakit FKD dan WSSV lebih mudah dimonitor dan dicegah karena berada dalam bak kecil dan kedalaman air hanya 1,2 m,” Hanung meyakinkan.
Bahkan, sambungnya, penyakit lain juga bisa diminimalisasi sebab saat benur berumur 25 hari ditebar ke kolam, kualitas air kolam budidaya masih bagus karena baru mulai digunakan. Sementara jika benur langsung ditebar ke kolam budidaya, pada DOC 30 hari kualitas air sudah jauh menurun akibat menumpuknya zat-zat organik. Sehingga, menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit yang disebabkan bakteri dan virus.
Berbicara soal investasi NP, Hanung mengatakan, tentu biaya per meternya lebih besar daripada membangun kolam budidaya. Besarnya investasi karena harus mendirikan bangunan beserta peralatan aerasi, filterisasi, dan proses sterilisasi menggunakan sinar ultraviolet, serta mesin transfer juvenil ke kolam budidaya.
Namun bagi tambak yang sudah beroperasi 5–10 tahun ke atas, investasi pembangunan NP tidak seberapa dibanding keuntungan yang sudah diperoleh selama budidaya. Menurut Hanung, dengan munculnya FKD maka NP merupakan solusi, seperti yang sebelumnya dilakukan Vietnam sehingga mampu mengatasi EMS (Early Mortality Syndrome).
Pendederan
Proses pendederan berupa persiapan penebaran, manajemen pakan dan kualitas air, manajemen monitoring (pengamatan) pertumbuhan dan kesehatan juvenil, manajemen panen atau transfer ke kolam pembesaran dan pascapanen.
Khusus manajemen kualitas air, sejumlah aktivitas yang dilakukan terdiri dari air yang masuk ke NP sudah melalui proses filterisasi dan proses sterilisasi menggunakan sinar UV, melakukan penggantian air setiap hari (system flow through), melakukan pemberian kultur probiotik, pemberian mineral, melakukan penyiponan, dan menjaga aerasi agar bisa berjalan dan berfungsi dengan baik serta pengecekan parameter air.
Kegiatan yang dilakukan pada manajemen panen, kata pria yang mengelola tambak di Kalianda, Lampung Selatan dan Bengkunat, Pesisir Barat itu, adalah uji tekanan (stress test) juvenil, cek oksigen terlarut (DO), dan pengurangan volume air.
Kegiatan yang dilakukan pada manajemen panen, kata pria yang mengelola tambak di Kalianda, Lampung Selatan dan Bengkunat, Pesisir Barat itu, adalah uji tekanan (stress test) juvenil, cek oksigen terlarut (DO), dan pengurangan volume air.
Selanjutnya, benur baru menjalani proses transfer. Proses transfer ke kolam pembesaran menggunakan mesin khusus yang terhubung melalui jalur pipanisasi. Waktu transfer yang tepat di pagi atau sore hari guna menghindari panas cahaya matahari dan suhu tinggi. Saat proses transfer pastikan posisi DO harus di atas 5.
Adapun tahapan transfer mulai dari tahap persiapan yang terdiri dari pemasangan pipa dan selang spiral untuk jalur transfer. Di sini harus dipastikan jalur transfer tidak ada kebocoran dan ujung selang spiral harus terendam di dalam air kolam. Lalu pada saat proses transfer harus diatur kecepatan air pada mesin transfer.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)
Adapun tahapan transfer mulai dari tahap persiapan yang terdiri dari pemasangan pipa dan selang spiral untuk jalur transfer. Di sini harus dipastikan jalur transfer tidak ada kebocoran dan ujung selang spiral harus terendam di dalam air kolam. Lalu pada saat proses transfer harus diatur kecepatan air pada mesin transfer.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)