Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Paradigma baru budidaya udang dengan menjaga kelestarian lingkungan
Racikan pakan fermentasi bisa menurunkan FCR dan menyehatkan udang.
Generasi kedua petambak udang di Provinsi Lampung mengembangkan paradigma baru dalam menjalankan budidaya si bongkok. ‘Pewaris tahta’ ini mementingkan kelestarian lingkungan guna keberlanjutan budidaya.
M. Andi Kurniawan, ST, MSc, satu di antaranya, mengembangkan budidaya udang berkelanjutan dengan padat tebar sedang, pakan fermentasi, dan mengembangkan aquaculture engineering.
“Budidaya udang adalah akuakultur yang bertumpu pada air. Maka, air laut harus dijaga kelestarian lingkungannya agar daya dukung tetap baik,” ujarnya.
Melakukan Perbaikan
Andi merupakan putra H. Purnomo, perintis budidaya udang sistem intensif di Pantai Timur Lampung yang mulai mengelola usaha tambak udang sejak 2006.
Di tangan Andi, areal tambak pun melebar ke Padang Cermin, Kab. Pesawaran dan terakhir membuka tambak baru di Kec. Ngaras, Kab. Pesisir Barat (Pesibar) pada areal seluas 13 ha.
Sarjana teknik elektro dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya tamatan 1995 ini lebih memilih terjun menjadi pengusaha ketimbang menjadi dosen atau karyawan.
Bahkan meski sudah diterima mengikuti program doktoral di Inggris, tidak dijalaninya demi mengembangkan usaha yang sudah dirintis orang tua.
Selain perluasan areal, master jurusan Manufacturing Engineering dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Inggris ini melakukan berbagai perbaikan, mulai dari penebaran benur dalam skala sedang hingga penggunaan pakan fermentasi plus herbal.
Menurut Andi, sudah tidak waktunya lagi menjalankan sistem budidaya yang mengeksploitasi alam.
Ketika daya dukung suatu kawasan sudah berkurang yang dibuktikan dengan naiknya bahan organik total (Total Organic Mater–TOM) dan banyaknya penyakit, maka pindah kawasan lain yang kondisi perairannya masih bagus.
“Jika pola demikian masih diterapkan maka suatu saat tidak ada lagi kawasan yang layak untuk budidaya udang karena sudah tercemar oleh berbagai zat dari tambak. Akibatnya, budidaya udang di Tanah Air bakal terancam dan sulit untuk mengatasi berbagai penyakit virus dan bakteri yang sudah berkembang di perairan umum,” paparnya kepada AGRINA baru-baru ini.
Berdasarkan pengamatan Andi, umumnya petambak udang generasi kedua sudah banyak yang menerapkan paradigma baru dalam menjalankan usaha, yakni lebih ramah terhadap lingkungan.
Terutama, generasi milenial yang pernah menempuh pendidikan di luar negeri atau banyak melihat dan mengunjungi tambak di luar negeri.
Ia yakin sikap ini merupakan kemajuan dan menjadi energi positif bagi industri udang di dalam negeri. Bahkan, Andi sendiri sudah lebih maju dari itu. Ia menggunakan pakan fermentasi, dan mengembangkan aquaculture engineering.
Berbagai Teknologi
Pakan fermentasi dibuat dengan aplikasi probiotik dan ramuan-ramuan herbal ke dalam pakan sebagai upaya pencegahan penyakit dan menambah nafsu makan udang serta menjaga kualitas air kolam.
Ke dalam pakan ditambahkan probiotik dan ekstrak berbagai tanaman jamu-jamuan. Di antaranya, temulawak, temu hitam, pasak bumi, brotowali, dan kunyit. Ramuan tersebut direbus dan air rebusannya plus probiotik dicampur ke pakan lalu difermentasi selama 24 jam.
Meski pakan fermentasi, sambung pria kelahiran 9 Oktober 1977 itu, penebaran pakan menggunakan autofeeder (mesin pelontar pakan otomatis).
Tidak terjadi penggumpalan karena autofeeder sudah diatur untuk pakan fermentasi. Menggunakan pakan fermentasi, nilai konversi pakan (feed conversion ratio–FCR) bisa ditekan menjadi 1,2 dari sebelumnya 1,4-1,5.
Andi menambahkan, selama ini aplikasi pakan fermentasi dilakukan secara trial and error (coba-coba). Kendati hasilnya sudah kelihatan, sistemnya masih dalam proses dibakukan.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 311 terbit Mei 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di magzter, gramedia, dan myedisi.