Foto: Windi Listianingsih
“Kita harus berpikir yang tidak umum. Kesuksesan itu justru orang melakukan yang tidak umum dan bertolak belakang.” - M. Tevi Melviana
Takut gagal maka tidak berani mencoba sehingga tidak mendapat kesimpulan.
Sektor perunggasan harus segera beralih dari sekadar beternak menjadi industri. “Ke depan sudah bicara from feed to food (dari pakan ke pangan), sudah industri,” ujar M. Tevi Melviana. Kenapa demikian? Simak penjelasan Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) itu kepada AGRINA.
Free Market Vs Integrasi
Agar efisien menghadapi tantangan global, ulas Tevi, sapaannya, mengembangkan bisnis ayam broiler atau layer harus melompat ke era industri yang terintegrasi hulu-hilir.
“Industri ada rantai nilai dari hulu ke hilir. Ke depan ini mutlak harus punya. Nggak bisa terputus hanya feedmill (pabrik pakan) saja, hanya beternak komersial saja, atau breeding (pembibitan) saja,” tegasnya.
Berdasarkan laporan GPMT, bisnis pakan ayam tumbuh 6% per tahun. Namun, banyak pabrik pakan yang investasi di Indonesia sulit memasarkan produknya.
“Kok nggak sesuai? Saya malah kesulitan jual pakan. Artinya, pertumbuhannya itu bukan di free market (pasar bebas) tapi di perusahaan terintegrasi,” urainya.
Baik peternak, produsen pakan, rumah potong hewan (RPH), dan pabrik pengolahan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. “Harus bergandengan tangan bikin satu kesatuan jadi ketemu rantai nilai dari hulu ke hilir. Ini yang bisa eksis ke depan,” jelasnya. Tentu perusahaan yang sudah terintegrasi yang diuntungkan.
Tahun ini, dia menduga, porsi perusahaan terintegrasi di atas 80% dan sisanya pasar bebas. Sebelumnya, porsi pasar bebas 80% sedangkan perusahaan integrasi 20%.
“Free market itu efisiensinya kurang karena finansial dan teknologi juga terbatas,” imbuhnya. Porsi ini pelan-pelan beralih setelah krisis moneter 1997 diikuti wabah flu burung pada 2004 dan 2007, serta krisis global pada 2008.
“Tahun 2004 peternak banyak yang kolaps. Mau nggak mau supaya jalan, pabrik pakan membuat (peternakan) internal. Tahun 2008 krisis global, harga bahan baku naik, harga pakannya mahal. Mau nggak mau (pakan) diserap sendiri,” terangnya.
Pria yang sudah 33 tahun bekerja di bidang perunggasan itu juga memprediksi perusahaan unggas akan terkompresi dan merger sehingga hanya tinggal beberapa perusahaan pemilik hulu-hilir yang akan eksis di Indonesia.
Bahkan, perusahaan tersebut mewakili tiga negara, yaitu Thailand, China, dan Amerika. Tyson Food, produsen pakan hewan asal Amerika misalnya, sudah membeli perusahaan multinasional Brasil, BRF, di Thailand, Inggris dan Belanda.
Tyson punya perjanjian kontak dengan waralaba ayam goreng Amerika. “Kalau masuk ke sini, ayam harus dari dia, gimana?” sahutnya. China yang baru fokus ke feedmill, akan membesar jika menambah investasi hilir karena modalnya kuat.
Sementara, perusahaan lokal tinggal pasrah “menjual” atau merger. “Ke depan menurut saya hanya tiga negara ini yang akan eksis. Saya lihat desainnya akan seperti itu. Industri mobil seperti itu, motor juga akan begitu, efisiensi,” tukasnya.
Negosiator
Membahas merger, Tevi mengaku bangga jika berhasil menyatukan beberapa perusahaan. “Saya sudah membangun kerja sama kayak M&A (Merger & Acquisition) dengan beberapa perusahaan.
Itu suatu kebanggaan buat saya mengawinkan perusahaan sehingga jadi tambah besar,” urainya yang turut membangun 6 pabrik pakan CJ Feed & Livestock Indonesia dari awal.
Menurut penggemar makanan gudeg Yogya dan mi Jawa ini, tantangan menjadi negosiator adalah mendapat informasi awal terkait minat bekerja sama.
“Kita harus hati-hati, jangan sampai salah menilai. Gimana cara ngoreknya, itu yang saya suka,” katanya antusias. Tantangan kedua ialah menentukan harga.
“Ini yang paling sulit, nggak ada pelajarannya dan harus menetukan sendiri sampai deal (sepakat). Dan itu harus pas kebutuhannya calon dengan kebutuhan kita,” lanjutnya.
Karena itu, negosiator harus selalu memperbaharui pengetahuan serta belajar membaca pasar dan profil calon target mulai dari karakter, finansial, hobi, dan bisnisnya.
Banyak tantangan yang harus dilewati namun Tevi menikmatinya. “Saya senang tantangan sambil bawa tentengan,” candanya sambil terbahak.
Perannya sebagai negosiator dipengaruhi kesukaan membaca cerita detektif saat kecil. “Saya senang membaca majalah detektif, seperti Sherlock Holmes oleh Sir Arthur Conan Doyle. Itu ‘kan semua teka-teki. Saya sering belajar dari situ,” bebernya.
Pria kelahiran Tasikmalaya, Jabar, 7 Mei 1964 ini menyatakan sering berpikir terbalik alias di luar arus. “Kita harus berpikir yang tidak umum. Kesuksesan itu justru orang melakukan yang tidak umum dan bertolak belakang,” ceplosnya.
Tevi pun menceritakan pengalaman menjaring pasar dengan cara berbeda. Dulu penjualan perusahaan pakan melalui agen besar. Ia melawan arus dengan menjual ke subagen.
“Kalau ngikutin dia, mati saya. Jadi saya langsung ke bawah, lewat subagennya. Justru saya eksis di situ. Kita naikkan grade-nya dari subagen jadi agen. Mindset (pola pikir) saya dari awal begitu dari tahun 1989/1990. Ketika agennya mati, saya hidup, sudah kuat. Di situ peluang,” paparnya mendetail.
Awal menjadi sales pakan, ia juga memilih membuka daerah baru yang belum terbaca omsetnya untuk mengambil peluang pasar lebih besar.
Pengalaman Unik
Suami Yulia Sumantri ini berprinsip jangan takut berbuat salah atau gagal kalau belum dicoba. Jika takut gagal maka tidak berani mencoba sehingga tidak mendapat kesimpulan.
“Saya berpikir kalau tidak dilakukan, saya tidak akan sukses. Karena kalau melakukan, itu juga sebagai self evaluation (evaluasi diri), kurangan saya di sini,” telaah Sarjana Peternakan IPB lulusan 1993 itu.
Saat baru menjadi sales, ia punya obsesi mendekati klien beromzet besar meskipun belum kenal.
“Kalau TS (technical service) sekarang ketemu customer (pelanggan) besar malah minder. Saya ketemu customer besar malah senang, peluang omzet naik makin besar. Justru hasrat saya di situ. Dan alhamdulillah begitu terkenal, nggak ada yang berpaling,” jelasnya.
Kunci meraih hati pelanggan yaitu buat nyaman dan penuhi kebutuhannya lalu siapkan langkah selanjutnya. “Saya senang yang begitu, membuat saya lebih muda lagi, nggak stres,” kekeh pria yang hobi bekerja ini.
Selama meniti karir sejak 1993, ayah 4 anak itu mengaku baru menemukan hal unik di 2018. Yakni, penerapan kebijakan pemangkasan jutaan ekor anak ayam umur sehari (day old chick–DOC) untuk menaikkan harga ayam di level peternak.
Tetapi, harga ayam tidak bergerak dan tetap melemah sejak Agustus 2018. “Sejak saat itu nggak bisa dikontrol harganya. Siapapun punya strategi, nggak bisa,” ucapnya.
Pada Oktober 2018 Tevi menyarankan mengurangi populasi ternak setidaknya sampai pemilu presiden, April 2019. Lalu, amati lagi setelah pemilu.
“Yang ngikutin saya banyak. Malah sampai telpon, ‘Syukur saya sudah ngurangin. Kalau nggak, uang saya banyak hilang’,” kisahnya. Pemilu berakhir, harga ayam tetap tinggi.
“Orang pikir (karena) politik, ternyata bukan. Saat April 2019 itu bulan puasa, memang permintaannya naik. Itu banyak ketipu,” pungkas pria yang menghabiskan waktu bersama keluarga dengan nonton TV, makan-makan, atau jalan-jalan seraya tertawa.
Windi Listianingsih