Foto: Brenda Andriana
Saya tidak melihat latar belakangnya dari mana, yang penting bisa bantu petani - Nunik
Indonesia mampu swasembada jagung untuk mendukung pemenuhan protein hewani asal unggas.
Terbiasa berlenggok di catwalk, Nunik Sri Martini justru penuh semangat beralih haluan terjun ke sawah. Apa yang melandasi keputusan besar Presiden Direktur PT Sarottama Mitra Lestari itu dan kejutan menarik apa saja yang dia alami?
Mengembangkan Jagung
Nunik mungkin tidak menyangka jikapertanian akan mewarnai hidupnya. Sejak gadis, ia terbiasa tampil modis dalam balutan busana bermerek. Maklum, perempuan kelahiran 1965 ini adalah model mapan di era 90’an. Ia menjadi model Danar Hadi, salah satu rumah mode batik ternama di Indonesia. Bahkan, Nunik juga membuka sekolah pemodelan (modelling) dan mengajar di sana.
Nunik yang masih aktif di dunia model, diperkenalkan dengan pertanian jagung oleh ayah mertua. Kala tinggal di Amerika, sang mertua melihat jagung berkembang luar biasa. Kembali ke Indonesia, kondisinya berbading terbalik.
Agribisnis jagung seharusnya tumbuh pesat di Tanah Air. Mengingat, Indonesia negeri agraris dengan kebutuhan jagung untuk pakan unggas sangat besar, mencapai 8,7 juta ton setahun. Alih-alih, Indonesia mengimpor jagung untuk bahan baku pakan hampir 3 juta ton/tahun sebelum larangan impor pada 2016.
Karena itu, Nunik tidak ragu menarik diri dari dunia modelling untuk beralih mengembangkan jagung di awal 2007. ”Alasannya kenapa milih jagung karena waktu itu impor jagung masih tinggi. Untuk swasembada jagung sebenarnya Indonesia mampu dan kebutuhan jagung sangat strategis untuk pakan ayam. Ditambah, penyedia protein paling murah ya dari telur dan daging ayam. Bisa dibayangkan bisnis jagung impor 3 juta ton. Kita melihat potensi lahan besar, budidaya jagung relatif lebih mudah,” ulasnya kepada AGRINA.
Jika terus menjadi model, perempuan yang selalu tampil menawan di sawah ini menimbang, ia tidak akan bisa terus eksis karena banyak model muda bermunculan. Nunik berpikir untuk menggeluti bidang lain agar kehidupannya tetap berjalan lancar.
Pakan Unggas dan Sapi
Nunik pertama kali menanam jagung seluas 6 ha di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat. Setelah dipanen, jagung dijual sebagai bahan baku pakan unggas. Hasil panennya dibelikan lahan sehingga menjadi 18 hektar. ”Terus begitu sampai akhirnya punya 60 ha setelah 2008,” ungkapnya.
Setelah itu, ia menjalin kemitraan dengan petani sekitar dan menyediakan sarana produksi seperti pupuk, benih, dan lainnya. Kemitraan itu berkembang dengan luasan kebun plasma mencapai 1.250 ha. Sembari memulai kemitraan, sejak Oktober 2007 ibu tiga anak ini juga merintis budidaya jagung untuk pakan sapi yang disuplai ke Ultrajaya.
”Meski dapat kontrak untuk jagung tebang pohon (jabon) dari Ultrajaya, kami tetap melayani jagung kering untuk unggas. Akhirnya, kami jadi penyedia jagung untuk unggas dan ruminansia,” paparnya. Pengiriman jabon mencapai 23 truk setiap hari dengan nilai penjualan di atas Rp5 miliar sebulan.
Tahun 2013 bisnis itu dilepas. ”Bisnis sudah secantik itu saya tinggalkan,” tukasnya ringan. Sebab, ia diminta Kementerian Pertanian dan Kementerian Desa untuk membuka jagung di NTB yang mau disiapkan menjadi sentra jagung. Perempuan gigih ini dinilai berhasil mengembangkan jagung di Jawa Barat.
Lewat Program Pijar (Sapi, Jagung, Rumput Laut) NTB, Nunik bermitra dengan petani untuk mengembangkan ‘emas pipilan’. ”Kami adopsi sistem yang sudah diterapkan di Jawa. Petani didata sebagai plasma Sarottama. Kami mencari sendiri petani yang paham prospek jagung, bukan petani yang sudah budidaya. Waktu itu awalnya CPCL (Calon Petani Calon Lahan) 3.500 ha yang ditandatangani bupati,” cerita dia.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 350 terbit Agustus 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.