Foto: Brenda Andriana
Bahkan, kami melanjutkan pendidikan seperti belajar teknik pertanian terbaru, teknologi benih terbaru, dan lain sebagainya - Mike
“I am an old farmer but I am lucky. My son resigned from his office and become a farmer now,” kata Michael McCranie semringah.
Nada bangga terucap dari bibir Michael McCranie kala berbincang santai dengan AGRINA beberapa waktu lalu. Pria yang akrab dipanggil Mike ini menceritakan pengalamannya selama 40 tahun lebih menjadi petani di Amerika Serikat.
Ia merasa bangga dan beruntung menjadi petani. Di tengah menurunnya minat generasi muda Amerika terjun ke dunia pertanian, kedua putranya memiliki pandangan berbeda.
Mengenyam pendidikan tinggi di salah satu universitas ternama Amerika, tidak membuat anak-anak Mike silau dengan kemeriahan kehidupan kota. Mereka justru meninggalkan kesempatan berkarier di kota untuk pulang ke desa dan memilih meneruskan usaha keluarga serta menekuni profesi sebagai petani.
Tantangan
Di sela-sela kunjungan singkatnya di Jakarta, Mike menjelaskan tentang kondisi pertanian di negara Amerika dan aktivitasnya bertani. Tidak bisa dipungkiri, sistem pertanian di negeri adidaya itu jauh lebih tertata dibandingkan Indonesia.
Peralatan dan mesin pertanian yang digunakan petani di sanapun serba canggih, terkomputerisasi, dan menggunakan sentuhan teknologi terkini.
Akan tetapi, ungkap Mike, kondisi tersebut ternyata tidak mampu menarik minat generasi muda Amerika untuk terjun ke dunia pertanian. Serupa dengan Indonesia, jumlah petani Amerika terus menurun dan minat generasi muda untuk menjadikan petani sebagai profesi idaman, sangatlah tipis.
”Saya sangat beruntung saya punya 2 anak laki-laki dan sekarang mereka mau jadi petani,” ujar petani kedelai dan jagung asal negara bagian South Dakota itu.
Menurut Mike, menjadi petani di Amerika punya tantangan tersendiri. Sumber daya manusia jadi tantangan terbesar yang mereka hadapi dalam mengelola lahan pertanian. Generasi muda Amerika lebih tertarik bekerja di kota daripada di desa.Rata-rata petani di Amerika sudah berusia tua, di atas 60 tahun.
“Terkadang orang tuanya petani, anaknya tidak ingin menjadi petani. Mungkin ketika ayahnya sudah sakit, mereka baru kembali (ke desa untuk bertani),” ujarnya sambil mengangkat bahunya.
Tantangan selanjutnya yaitu teknologi. Mike menyebut, teknologi tinggi memerlukan biaya yang sangat mahal. Karena itu, ia menyarankan petani harus punya lahan luas agar biaya operasionalnya efisien.
Ia mencontohkan, planter (mesin penanam) dapat menjangkau lahan seluas 200 ribu ha per hari. Combine harvester (mesin pemanen) dapat memanen kurang lebih 300 ribu ha per hari. “Bayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membayar teknologi itu. Jadi, harus memiliki lahan yang luas untuk semua itu dapat berjalan,” sarannya.
Mike menambahkan, tantangan ketiga adalah tingginya biaya produksi seperti pupuk dan sewa lahan. Menurut petani generasi keempat di daerah Claremont itu, harga pupuk terus naik dan biaya sewa lahan pertanian juga sangat mahal.
Akan tetapi, kebijakan pemerintah yang berpihak terhadap petani berperan besar dalam kemajuan pertanian. Selama bertani, Mike sangat merasakan dukungan pemerintah tersebut.
Lewat program pertanian, setiap petani wajib mengikuti asuransi yang dapat menutupi biaya produksi untuk penanaman kembali di tahun berikutnya. Tidak ada pajak yang dikenakan ke petani selain pajak properti atau lahan yang digunakan untuk pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah dan jalan.
Terkomputerisasi
Bersama kedua putranya, Matthew dan Mitchell, Mike mengelola lahan pertanian seluas 2.145 ha yang berada di South Dakota. Sebagian besar merupakan lahan pribadi dan sisanya, sekitar 500 ha lahan sewa.
Dalam mengelola lahan, Mike menerapkanmekanisasi. Suami Monica McCranie itu menggunakan traktor dan teknologi penginderaan jarak jauh untuk mengelola lahan pertaniannya.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 348 terbit Juni 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.