Foto: Istimewa
Tri Satya Putri Naipospos, pemerintah perlu memperkuat siskeswannas dan mengedukasi peternak
Wabah penyakit hewan menular selalu berdampak ekonomi dan sosial. Bagaimana strategi untuk menekan risiko?
Penyakit hewan, baik yang baru muncul (emerging) maupun lama tapi muncul kembali (re-emerging), akhir-akhir ini banyak dihubungkan dengan wabah penyakit pada hewan dan manusia dengan dampak serius.
Apalagi sekitar 75% dari penyakit hewan baru bersifat zoonosis artinya dapat menular dari hewan ke manusia secara alamiah. Dan sekitar 60% dari penyebab penyakit (patogen) pada manusia bersumber dari hewan.
Dua hal tersebut terungkap dalam diskusi terbatas “Kesiapsiagaan Masuk dan Menyebarnya Wabah Penyakit Hewan Emerging dan Re-Emerging di Indonesia” yang digelar Badan Litbang Pertanian, Kementan di Bogor, 3 Maret 2020.
Acara yang dibuka Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Dr. drh. NLP Indi Dharmayanti, M.Si., mewakili Kepala Badan Litbang Pertanian tersebut menghadirkan pembicara lintas lembaga pemerintah, yaitu Kementan, Kementerian Kesehatan, Kemenristek, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemendagri, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, pengamat kesehatan hewan, dan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS).
Yang Baru dan Yang Lama
Penyakit hewan baru (emerging disease), menurut Fadjar Sumping Tjatur Rasa, adalah penyakit yang baru muncul. Kemunculannya bisa karena patogen (penyebab penyakit) yang sudah ada mengalami evolusi, patogen menginfeksi daerah baru, atau patogen yang sudah ada tapi baru dikenali menyebabkan penyakit.
“Sementara re-emerging disease adalah penyakit endemik yang berubah wilayah penyebaran, inang, dan prevalensinya meningkat,” ungkap Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, ini.
Fadjar mencontohkan beberapa penyakit baru, yaitu Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang muncul di Arab Saudi menyerang manusia pada 2012. Penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang mewabah pada manusia di Asia 2003.
Sedangkan penyakit lama yang endemik muncul kembali misalnya Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau banyak dikenal masyarakat awam dengan sebutan flu burung. Penyakit ini merebak pada unggas dan manusia di Indonesia pada 2003.
“African Swine Fever (ASF) yang menyerang pada babi di Asia mulai 2018 termasuk yang re-emerging. ASF ini karena mewabah di Afrika pada 1921,“ terang mantan Kepala Balai Besar Veteriner Wates, Yogyakarta, tersebut.
Bahayanya ASF
Masuknya ASF ke Indonesia menjadi perhatian yang serius karena menyerang ternak babi dan babi hutan dengan tingkat kematian 100%. Apalagi sampai sekarang belum ditemukan vaksin dan obatnya. Peternak khususnya di Sumatera Utara sampai kesulitan menangani bangkai babi lalu membuangnya ke sungai.
Drh. Tri Satya Putri Naipospos, M.Phil., Ph.D., Ketua Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) menyoroti ASF juga sebagai penyakit lintas batas (trans-boundary animal disease-TAD). “China tertular ASF pada bulan Agustus 2018. Kemudian sepanjang Januari hingga September 2019 ada 11 negara yang tertular ASF di Asia, termasuk Indonesia, secara berturut-turut,” ungkap ahli epidemiologi ini.
Ke-11 negara tersebut adalah China, Mongolia, Vietnam, Kamboja, Korut, Laos, Filipina, Myanmar, Indonesia, Korsel, dan Timor Leste. Tiga negara terakhir terinfeksi dengan selisih 7-10 hari saja.
Di Indonesia ASF masuk pertama kali ke Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, 11 September 2019. Berdasarkan data Balai Veteriner Medan, kasus kematian berikutnya dilaporkan seminggu kemudian di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Penularan ASF berlangsung cepat sampai mencakup 26 kabupaten di provinsi dengan populasi babi kedua terbesar di Indonesia tersebut yang mencapai 1,229 juta ekor.
“Jumlah babi mati per 24 Februari 2020 sebanyak 50.319 ekor. Dan sampai hari ini kasus belum berhenti. Sementara China kehilangan 50% dari total populasinya,” sebut mantan Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, merujuk data Balai Veteriner Medan.
Situs npr.org edisi Agustus 2019 menyebutkan, China kehilangan 300 juta - 350 juta ekor atau hampir seperempat populasi babi dunia. Tentu saja jumlah ini terbilang sangat besar.
Selain menurunkan populasi, dampak ASF, lanjut Tata, secara ekonomi juga bikin anjlok jumlah penjualan dan harga. Pada kurun September – November 2019, penjualan babi turun hingga 70%, kemudian membaik sedikit menjadi turun 50%. Harga daging babi di Medan melemah menjadi Rp20 ribu/kg, dari normalnya Rp30 ribu – Rp32 ribu/kg.
Tingkatkan Kemampuan Deteksi Dini
Sebagai pengamat kesehatan hewan, Tata menyayangkan keterlambatan Indonesia mengantisipasi penyakit yang amat penting bagi ekonomi para peternak babi tersebut.
Melihat perkembangan wabah di luar negeri, pemerintah dan jajarannya tak usah menunggu deklarasi penyakit atau tidak. “Seharusnya kita bisa langsung menyadari kita adalah negara yang tidak kebal terhadap serangan ASF,” ulasnya.
Fadjar mengatakan, “Sebenarnya 2018 kita sudah bikin surat edaran ke semua penguasa wilayah gubernur, bupati, kepala dinas bahwa ada penyakit yang mewabah di dunia yang tidak bisa dengan vaksinasi. Maksudnya untuk memperingatkan sejak awal bisa melakukan pencegahan.”
Namun, imbuh dia, karena karakter virus sedemikian rupa, pengawasan kita terhadap pintu-pintu masuk dan wilayah Indonesia dengan 17 ribu pulau, ada jalur-jalur yang tidak mungkin semua terawasi pemerintah atau siapapun. Ada juga faktor lain yang menyebabkan lalu lintas tidak terkontrol lalu masuklah virus ASF itu.
Untuk menguatkan kemampuan deteksi dini dan respon cepat, Tata mengusulkan kepada pemerintah agar memperkuat sistem kesehatan hewan nasional (Siskeswannas).
Di sisi teknis, “Pemerintah perlu melakukan edukasi peternak, pekerja kandang, pedagang, dokter hewan dan masyarakat secara umum mengenai pentingnya biosekuriti dan risiko ASF. Peningkatan biosekuriti sangat mendesak untuk lebih ditingkatkan dengan perhatian khusus pada peternakan babi belakang rumah,” jabarnya.
Berdasarkan opini ilmiah, 35% penularan ASF pada babi di peternakan terjadi lantaran pemberian pakan sisa. Karena itu perlu pengendalian pakan seperti itu.
Penting pula lebih ketat dalam disinfeksi dan kendalikan lalu lintas kendaraan pengangkut, mengendalikan lalat, jangan gunakan darah untuk pakan babi. Kendalikan babi yang berpotensi terinfeksi atau pembawa di rumah potong.
Itu semua mengingat sifat virus ASF sangat resisten terhadap kondisi lingkungan: dapat bertahan selama 1,5 tahun dalam darah dan sebulan di kandang babi yang terkontaminasi.
Virus ini juga tetap dapat menularkan selama 150 hari dalam daging tulang yang disimpan pada 4oC, 140 hari dalam daging babi kering garaman. Karena itulah sebaiknya pihak berwenang di bandara perlu menyita makanan tentengan penumpang pesawat yang mengandung babi.
Peni Sari Palupi