Foto: Windi Listianingsih
“Saya harus ajari mereka berbisnis secara benar, efisien, tapi harus berjamaah” - Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA
Data timbangan bisa menghasilkan keputusan besar.
Dalam dunia peternakan sapi, nama Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA amatlah familiar di telinga peternak rakyat, swasta, hingga pemerintah. Kiprahnya memajukan peternak Indonesia melalui Sekolah Peternak Rakyat (SPR) tidaklah bisa dipandang sebelah mata.
Bagaimana perjalanan “anak kolong” dari Kediri, Jawa Timur ini menemukan cita-cita hingga mengelola SPR? Simak perbincangan serunya bersama AGRINA.
Terinspirasi Peternak
Muladno tumbuh dan besar di Kediri. Selepas SMA, pria kelahiran 24 Agustus 1961 ini mengaku ingin kuliah jurusan teknik geodesi karena merasa peluangnya cukup bagus.
Apalagi, teman-teman sekelasnya juga banyak yang memilih jurusan itu. Namun, pilihan itu berubah sewaktu ia jalan-jalan ke Desa Karangsono, Kec. Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur, mengunjungi ayahnya yang menjadi lurah di sana.
Kala itu ia bertemu peternak sukses yang “hanya” alumnus Sekolah Peternakan Menengah Atas (SNAKMA). “Kalau saya jadi sarjana peternakan pasti lebih sukses. Dari situ saya terinspirasi, peternakan bisa untuk lahan mengembangkan diri,” ungkap Muladno.
Jadilah anak ketiga dari tujuh bersaudara ini mengambil bidang peternakan di UGM. Saat kuliah anak ketiga dari tujuh bersaudara ini bercita-cita jadi dosen peternakan bidang pemuliaan dan genetika ternak.
Ia tertarik bidang ini karena senang statistika yang menjadi dasar ilmu pemuliaan dan genetika. Sedangkan, memilih dosen lantaran profesi ini bersifat independen dan bisa membuat orang mengerti.
Lulus UGM pada 1985, Muladno melamar sebagai dosen di IPB, Bogor. Sambil menunggu hasil tes, ia juga diterima kerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
“Saya resmi diangkat jadi dosen IPB itu 1 Maret 1986 sebagai CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Setahun kemudian PNS penuh di bagian pemuliaan dan genetika ternak,” kenangnya semringah.
Anak pasangan Basar dan Asyiati ini pun melanjutkan pendidikan Master di University of New England pada 1990 dan Doktor bidang pemuliaan dan genetika ternak di University of Sydney, Australia pada 1995. Lalu, langsung diteruskan program Post-Doctoral di National Institute of Animal Industry, Jepang dan sejumlah pelatihan hingga 1998.
Perjalanan SPR
Kembali ke Indonesia akhir 1997, Muladno aktif dalam Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) dan membuatnya kenal banyak pelaku industri peternakan. Pada 2001 ia diundang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai pembicara hingga melebar ke instansi lain. Ia pun bisa berkunjung ke peternakan sapi di seluruh Indonesia.
Suami almarhumah Sri Sulandari ini mengamati kondisi peternakan rakyat yang tidak banyak berubah sejak 1970 hingga tahun 2000 kendati banyak program pemerintah untuk mereka. Lalu, muncullah keinginan untuk mencerdaskan para peternak sapi yang mayoritas lulusan SD dan SMP agar taraf hidup mereka meningkat.
Muladno yang pernah menjabat Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan selama 13 bulan ini berpendapat, peternak memiliki totalitas tinggi tapi nasibnya masih terpuruk karena tak bisa jualan.
“Satu-satunya jalan, saya harus ajari mereka berbisnis secara benar, efisien, tapi harus berjamaah karena sendiri-sendiri nggak mungkin,” tandasnya yang meyakini hingga kiamat peternak rakyat cuma akan punya 2-3 ekor sapi per orang.
Pada 2012 pria energik ini mencetuskan konsep “mensarjanakan” peternak rakyat sebagai cikal-bakal SPR 1111. Artinya, di setiap SPR ada minimal 1.000 indukan, maksimal 100 ekor pejantan pengawin dengan menerapkan 10 strategi membangun peternakan untuk mencapai 1 visi : mandiri, berdaulat, dan bermartabat.
Tantangan itu datang dari berbagai pihak, khususnya pemerintah karena berpikir 1.000 ekor sapi itu berupa bantuan yang butuh dana besar. Padahal, ide sebenarnya 1.000 indukan sapi dimiliki sekitar 500 peternak, sebab setiap peternak punya 2-3 ekor.
Konsep berjamaah berarti ada imam dan makmum. Dari 500 peternak dipilih 9 imam sebagai koordinator sekaligus Dewan Perwakilan Pemilik Ternak (DPT). Angka 9 mengacu pada walisongo sehingga juga disebut wali. Dari 9 wali ditunjuk ketua yang dibantu direktur utama.
SPR resmi dibentuk 6 Mei 2013 di Banyuasin, Sumsel atas dukungan dinas peternakan provinsi, peternak, dan IPB.
Sebelumnya, rintisan SPR sudah ada di Barito Kuala, Kalsel sejak April 2013 tapi hanya melibatkan dinas peternakan, peternak, dan Muladno sebagai dosen IPB sehingga kurang efektif.
Kurikulum SPR ada tiga, yaitu mengubah pola pikir 45%, wawasan bisnis kolektif berjamaah 35%, dan penguasaan iptek 20%.
Sebelumnya ada deklarasi SPR yang dibaca 9 wali di hadapan peternak, Bupati, dan Rektor IPB. “Jadi, ada nuansa kebatinan yang betul-betul mempengaruhi. Terakhir, wisuda karena itu keberhasilan memimpin,” jelasnya.
Perkara Timbangan
Ayah dua anak ini mengaku banyak hal membahagiakan selama membangun SPR. Salah satu pengalaman berkesan yang membuatnya geregetan, yaitu menghadapi peternak yang “ngeyel” tidak mau memakai timbangan saat jual-beli sapi.
Meski sudah dijelaskan manfaat timbangan, peternak bersikeras menolak karena merasa ahli menaksir bobot. Si peternak bahkan beralasan sapinya susah diatur saat akan ditimbang.
Muladno lantas membelikan kerangkeng seharga Rp6 juta agar memudahkan sapi ditimbang. “Sekarang sama dia didesain ada kerangkeng, ada roda sehingga bisa ditarik ke mana-mana,” tuturnya. Peternak itu kini menyadari pentingnya timbangan dan antusias menjelaskan manfaat timbangan saat jual-beli ke rekan peternak.
Hikmah menggunakan timbangan juga dirasakan peternak saat mendapati imam yang tidak sevisi dan cenderung mengharap bantuan pemerintah. Awalnya, ketua wali segan menegur apalagi sampai mencabut jabatan imam karena dia seorang lurah.
Ternyata dalam perjalanan, sapinya paling lambat tumbuh dibuktikan dengan timbangan dan ada yang sakit sehingga dijual murah. Alasan objektif ini membuat ketua imam berani mengeluarkan lurah tersebut. “Ini juga pelajaran dengan data timbangan, bisa memutuskan sesuatu yang besar,” timpalnya.
Membuat Orang Senang
Meski kerap keliling nusantara dan membina peternak, Muladno tetap energik dan senyum tak lekang dari wajahnya. “Pikiran saya memang selalu bahagia. Yang nomor satu adalah hati nyaman, pikiran bahagia. Kedua, saya juga minum herbal,” ulasnya.
Sudah 10 tahunan pria yang gemar memasak ini mengonsumsi herbal bawang putih, jahe merah, jeruk nipis, dan madu. Pertama kali mencoba, ia langsung jatuh hati. “Sejak itu saya bikin sendiri untuk 1-2 bulan. Dengan bikin sendiri, kualitas bahan bakunya saya tahu,” katanya.
Penulis dan editor buku ini juga bahagia bisa mengurus peternak. Hati dan jiwa Muladno selalu bersama peternak sesuai visi hidupnya membuat orang lain senang. Ia cenderung mengalah demi menghindari perselisihan.
“Prinsipnya, saya mencari pikiran terbaik dari komunitas di mana saya berada. Mana yang terbaik di antara semua yang kita diskusikan, itu yang harus kita pegang dan kerjakan secara konsisten,” urai penggemar sambal tumpang itu menyudahi perbincangan.
Windi Listianingsih