Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Syahfani, kerja serabutan setelah tambak udang ditutup
Penutupan tambak tanpa memperhatikan dampaknya dapat menimbulkan masalah.
Kasus penutupan tujuh tambak udang di empat kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar), Lampung oleh pemda mendapat respon cepat dari pemerintah pusat.
Maklum, penutupan tambak bertolak belakang dengan kebijakan Presiden yang menargetkan produksi dan ekspor udang meningkat dalam lima tahun ke depan.
Pemkab Pesibar menilai tambak udang melanggar Perda No. 8/2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2017-2037.
Dalam Perda tersebut Kecamatan Lemong, Pesisir Utara, Ngambur, dan Pesisir Selatan tertutup buat budidaya perikanan karena peruntukannya diubah menjadi pengembangan kawasan wisata.
Pemeriksaan
Tambak udang yang ditutup berlokasi di Kec. Lemong sebanyak empat tambak, Kec. Pesisir Selatan dua tambak, dan satu tambak di Kec. Ngambur.
Dua tambak di antaranya masih beroperasi, yakni PT Sumatera Seafood Indonesia di Pekon Tanjung Jati dan Andi Riza Farm di Pekon Way Batang.
Atas petunjuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ikatan Petambak Pesisir Barat Sumatera (IPPBS) yang menaungi ke tujuh tambak melapor ke Ombudsman RI.
Setelah melakukan pertemuan dengan pihak terkait, Ombudsman mengizinkan 7 tambak yang sebelumnya disegel untuk melanjutkan budidaya hingga pemeriksaan selesai.
“Ombudsman juga meminta Bupati Pesibar agar tidak melakukan penutupan kegiatan usaha tujuh pelaku usaha tambak udang sebagaimana surat yang disampaikan Ketua Ombudsman No. B/13H/LM26-K3/2019/XII/2019 tertanggal 4 Desember 2019 tentang Penundaan Sementara Penyegelan Tambak Udang di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung,” ujar Ketua IPPBS, Agusri Syarif di Bandarlampung.
Keputusan itu tertuang dalam berita acara pertemuan mengenai penyegelan tambak udang anggota IPPBS oleh Pemkab Pesibar di kantor Ombudsman RI Jakarta, Selasa (10/12).
Menurut Agusri, Kementerian Dalam Negeri juga akan melakukan investigasi terkait Perda No. 8/2017, alternatif penyelesaian penutupan tambak, dan menyampaikan hasilnya pada Ombudsman paling lama 14 hari kerja sejak pertemuan.
Ia pun berterima kasih atas perhatian dan respon yang begitu besar dari berbagai lembaga terhadap persoalan yang dihadapi petambak udang.
“Ini sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan Presiden RI Bapak Joko Widodo yang menargetkan peningkatan produksi dan ekspor udang nasional lima tahun ke depan dengan mempermudah investasi tambak udang,” jelasnya.
Ia meminta anggota IPPBS dan para pemangku kepentingan sektor perikanan di Lampung mendukung kebijakan Presiden dengan lebih sungguh-sungguh dalam budidaya udang. Termasuk, ketujuh tambak udang yang sebelumnya disegel untuk melanjutkan budidaya agar bisa berproduksi.
Agusri menambahkan, jumlah kolam di tujuh tambak sekitar 100 unit berukuran 3.000-an m2. Jika tiap kolam menghasilkan 14-15 ton/siklus dan setahun ada dua siklus, maka produksi udang sebanyak 2.800-3.000 ton/tahun atau 5% dari total produksi udang Lampung yang sekitar 56 ribu ton/tahun.
Tenaga kerjanya mencapai 400 orang yang sebagian besar masyarakat setempat. Ada juga tenaga musiman pascapanen. Keberadaan tambak bahkan meningkatkan perekonomian masyarakat karena pekerja membeli kebutuhan hidup sehari-hari dari warung masyarakat sekitar.
Menegakkan Aturan
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kab. Pesibar, Jhon Edwar menyatakan, penyegelan tambak udang semata-mata menegakkan Perda No. 8/2017.
Pemkab sudah memberikan ruang dan waktu pada petambak untuk mengurus dan melengkapi izin hingga batas waktu yang diberikan, 29 November 2019.
“Kami sudah memberikan surat peringatan tanggal 11 November 2019 tetapi mereka masih menebar benur. Berarti, tidak menghargai kami. Mestinya dihargai dulu kalaupun ada pembicaraan lanjutan. Kami hanya menegakkan perda,” ulasnya saat dikonfirmasi.
Ia berharap, pemkab dan petambak sama-sama menjaga kabupaten. “Fakta lapangan harus dilihat: seperti apa petambak menjalankan usahanya, apakah ada kajian analisis dampak lingkungan, limbah ditaruh di mana, kalau udang busuk dibuang ke mana, biota laut yang ada di sana sudah tidak ada lagi,” tegasnya.
Mengenai tidak adanya sosialisasi perda, Jhon menyatakan, mengapa petambak mengajukan izin yang dibatasi sampai November 2019. “Yang kami panggil petambak. Yang mereka utus ke kantor pemda hanya penjaga, pembersih kolam, pemilik tidak pernah datang,” tambahnya.
Sementara, Ketua Fraksi PDIP DPRD Pesisir Barat, Erwin Gustom mendukung kelanjutan tambak udang di daerahnya. Pasalnya, tambak membuka lapangan kerja, memajukan ekonomi masyarakat, dan dampak sosialnya minim.
Sejak warga punya pendapatan tetap tiap bulan, anak-anak pekerja tambak bisa bersekolah. Pemkab juga sudah menerima pemasukan dari berbagai retribusi untuk pembangunan daerah yang dikenakan ke petambak.
Erwin meminta pemkab tidak gegabah mengambil tindakan sebelum mengkaji dampaknya. Bila pemkab tetap melakukan penutupan tambak, seharusnya pelajari kembali aturan dalam UU No. 26/2007 Pasal 37 ayat 5 terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin.
"Tambak ini mempunyai izin sebelum ada perubahan tata ruang. Jadi tidak bisa serta-merta dibatalkan karena punya landasan hukum, mulai izin dari pusat dan provinsi," jelasnya. Penutupan tambak tanpa memperhatikan dampaknya dapat menimbulkan masalah bagi Pemkab. Bahkan, dinas yang mengeluarkan izin bisa dipidana.
Manfaat Tambak
Selain membuka lapangan kerja, Johan menyebut, tambak udang menguntungkan warga. “Dengan adanya jaringan listrik menuju tambak udang, rumah-rumah kami jadi kebagian listrik PLN,” jelas tokoh masyarakat Pekon Marang ini.
Harmain yang bekerja di PT Sumatera Seafood Indonesia sejak 2014 berharap tambak udang tetap beroperasi. Sebab dari gaji Rp1,5 juta/bulan ditambah bonus Rp5 juta/panen, ia bisa menghidupi keluarga dengan 5 anak.
“Jika tambak ini tutup, anak saya terpaksa berhenti sekolah karena mau saya biayai dengan apa,” ujar pria yang awalnya bekerja serabutan.
Khairani, warga Pekon Way Batang yang sehari-hari bekerja di tambak udang Andi Riza Farm mengaku sangat terbantu dengan gaji Rp1,8 juta/bulan.
Ia bersama sekitar 30 ibu-ibu dari berbagai desa bekerja membersihkan kotoran permukaan air tambak. “Apalagi, kami juga dikasih makan siang sehingga gaji bisa dihemat untuk membiayai sekolah anak-anak,” tuturnya.
Sebelum bekerja di tambak, ia dan kaum wanita lainnya mencari rumput laut dan mengupas kelapa dengan pendapatan rata-rata Rp10 ribu/hari.
Pahitnya menganggur mulai dirasakan Syahfani, pekerja di Tembulih Farm di Kec. Ngambur. Bapak dua anak ini bekerja di tambak sejak 2014 dengan gaji Rp850 ribu/bulan.
Karena tambak sudah ditutup Oktober lalu, ia diberhentikan sejak November 2019. Sekarang kerjanya menggembala dua ekor sapi yang digaduh dari warga sambil kerja serabutan.
Kondisi serupa juga dialami para pekerja tambak di Kec. Ngambur. “Anak kolam yang biasanya bekerja menebar pakan, kini pada nganggur lagi. Karena selama ini terbiasa menerima gaji, tiba-tiba terputus,” tambahnya.
Syafnijal Datuk (Lampung)