Kamis, 7 Nopember 2019

PERIKANAN : Waspada Iklim Untuk Budidaya Udang

PERIKANAN : Waspada Iklim Untuk Budidaya Udang

Foto: Windi Listianingsih
Perubahan iklim berpengaruh pada budidaya udang

Pengukuran parameter kualitas air menjadi penting.
 
 
Andi Eka Sakya, Tenaga Ahli Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan, pemanasan global sangat berdampak terhadap perubahan iklim karena berpengaruh pada penguapan dan hujan.
 
“Bencana mulai meningkat dan peningkatannya 90% adalah hidrometeorologis: banjir, kekeringan,” tegasnya pada seminar nasional “Dampak Perubahan Iklim terhadap Budidaya Udang di Indonesia”. 
 
Kekeringan dan kebakaran hutan di Indonesia pada 2015 misalnya, menyebabkan kerugian ekonomi Rp220 triliun dalam tiga bulan. Suhu dan salinitas laut Indonesia juga meningkat dalam setahun. “Problem itu akan berpengaruh pada ekosistem, keanekaragaman, salah satunya adalah udang,” tegasnya. 
 
 
Perubahan Iklim
 
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) periode 2013-2017 ini menjelaskan, terjadi perubahan iklim Indonesia berdasarkan data iklim 1971-1990 dan 1991-2010.
 
Curah hujan sudah berubah di berbagai tempat karena pengaruh penguapan yang terjadi di perairan Indonesia. Kenaikan muka laut lebih luas karena 14 pulau hilang. 
 
“Karena permukaan laut lebih luas, proses penguapan lebih banyak sehingga hujan tergantung nilai saturasi penguapan yang terjadi.
 
Sehingga, orang menyimpulkan kemarau semakin panjang, hujan semakin pendek,” ulas Andi. 
 
Suhu muka laut dan salinitas Indonesia tidak merata di berbagai tempat.
 
Pembudidaya udang di Pinrang, Sulsel contohnya, menghadapi kendala angin kencang, gelombang tinggi, abrasi, dan suhu laut. Penelitian di Pinrang menyebut, ketika suhu turun 0,5°C, produksi udang anjlok 20% meski diberi pakan yang bagus.
 
Menurut Andi, produktivitas udang bisa diangkat ketika menerapkan triple helix, yaitu kerja sama petambak, BMKG, dan akademisi melalui sekolah lapang iklim. “Ketika dikenalkan sekolah lapang iklim, akhirnya produktivitas naik sampai 30%” ulasnya.  
 
Membahas mengenai udang, Sidrotun Naim, Direktur Pusat Studi Budidaya Berkelanjutan Surya University, Tangerang Selatan, Banten menuturkan, ada tiga penyakit udang yang paling ditakuti di Indonesia, yaitu whitespot syndrome virus (WSV), infectious myonecrocis virus (IMNV, myo), dan early mortality syndrome (EMS/AHDNP). “AHDNP ini paling dikhawatirkan di dunia tapi di Indonesia belum sepenuhnya terkonfirmasi,” katanya. 
 
WS membunuh 100% dalam waktu seminggu pada umur udang 20-60 hari (day of culture). “Sebaran virusnya pertama kali di Taiwan tahun 1992 tapi tidak dianggap patogenik. Begitu 1993 di China, mulai menemukan masalah,” ulas Naim.
 
Sementara, myo menyebabkan kematian perlahan dan sedikit demi sedikit hingga akhirnya mencapai 70%. Pertama kali terjadi di Brasil pada 2003 lalu di Indonesia pada 2006 dan India 2016.
 
 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 305 yang terbit November 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain