Foto: Windi Listianingsih
“Tempat terbaik itu bukan hanya gajinya yang tinggi tapi bagaimana kita punya dampak terhadap sosial dan bisnis.”
Inovasi peternakan sebagian besar ada pada industri obat hewan.
Mengelola perusahaan lokal yang tumbuh di tengah perusahaan global menghadirkan tantangan tersendiri bagi Suaedi Sunanto, CEO PT Nutricell Pacific, penyedia produk obat hewan dan nutrisi ternak.
Ia menceritakan banyak keunggulan sekaligus tantangan yang dijalani perusahaan lokal pimpinannya yang berkantor pusat di kawasan Serpong, Tangsel, Banten. Seperti apa kisah menarik dari pria yang akrab disapa Edi kepada AGRINA?
Fleksibel
Perusahaan lokal memiliki keunggulan lebih fleksibel beradaptasi dengan kondisi yang ada. Sehingga, perusahaan bisa melaju lebih cepat daripada perusahaan lain yang birokrasinya lebih rumit. Tentu perjalanan yang lebih cepat pun membawa risiko lebih tinggi.
“Bagaimana kita mengelola risiko, itu yang perlu kita sadari,” ujar Edi membuka percakapan.
Karena itu, perusahaan perlu meningkatkan fokus pada kepatuhan terhadap aturan obat hewan, baik aturan tertulis maupun etika. Yaitu, industri obat hewan tidak hanya membantu peternak meningkatkan produktivitas namun ikut membantu peternak lebih taat memakai obat hewan secara bertanggung jawab.
“Bagaimana obat hewan bisa berperan dalam keamanan pangan, ini menjadi tugas kita juga. Mestinya kita menjadi agen bagaimana industri ini lebih efisien, lebih bertanggung jawab pada peternak, pemerintah, dan konsumen,” ulasnya.
Kecepatan dan fleksibilitas itu pula harus bermanfaat buat konsumen dan industri peternakan. Asas kebermanfaatan yang menjadi fokus Nutricell ini mendorong pengembangan evaluasi terukur.
Ketika menganjurkan penggunaan produk, ada tolok ukur yang jelas dalam mengevaluasinya. Agar memudahkan pelanggan melakukan evaluasi, Nutricell menggaet beberapa pihak, seperti BASF untuk menganalisis.
Pria kelahiran Pekalongan, Jateng 28 Februari 1973 ini menuturkan, tantangan lain yang menghadang ialah menarik minat sumber daya manusia (SDM) terbaik. “Makanya, yang pertama bagaimana kita menciptakan kondisi kompetitif. Membuat tim merasa ini adalah tempat terbaik,” jelasnya.
Nutricell lantas berpartisipasi dalam survei gaji sehingga upah yang dibayarkan untuk karyawan sangat kompetitif.
Kedua, imbuhnya, melibatkan tim untuk berkontribusi lebih besar. “Tempat terbaik itu bukan hanya gajinya yang tinggi tapi bagaimana kita punya dampak terhadap sosial dan bisnis,” ungkapnya yang memandang bisnis harus berdampak pada pelanggan.
Oleh sebab itu, tim harus bisa meyakinkan pelanggan akan benefit yang diperoleh saat aplikasi produk Nuticell. Tim harus bisa memahami apa yang terjadi pada peternak dan dunia peternakan sehingga bisa memberi manfaat lebih, bukan sekadar mendistribusikan produk.
Menuju 2020
Menurut Edi, kondisi peternakan mudah diprediksi saat memiliki data. Nutricell tengah mengembangkan alat (tool) untuk mengumpulkan data dengan berbagai parameter sehingga bisa memberikan solusi mendalam untuk mengatasi berbagai kendala spesifik.
Alat ini akan membantu peternak lebih efisien, “Tool yang bisa jadi pegangan pelanggan kalau saya melakukan perubahan ini, ini yang akan terjadi, ini ukurannya,” cetusnya.
Tahun 2020 pun Nutricell akan terus mengembangkan kapabilitas dari sisi servis, lab, dan analisis.
“Analisa untuk membantu customer (pelanggan) dan meyakinkan bahwa produk yang kita hasilkan dan jual memiliki kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan,” tegas MBA dari International Institute for Management Development, Swiss itu.
Sebagai perusahaan lokal, Nutricell berpikir global dengan menjadi perusahaan regional. Langkah ini dimulai Februari lalu melalui ekspor produk kreasinya ke Vietnam.
“Di pasar regional, kita cukup kompetitif di perunggasan. Pola budidaya, pola bisnis perunggasan di Vietnam, Myanmar, Kamboja, hampir mirip dengan yang kita lakukan saat ini sehingga akan menjadi market paling gampang buat kita berkontribusi,” urainya.
Ekspor Nutricell akan menguat pada 2020 dengan produk unggulan berbahan baku sawit. Selain mengandung antibakteri, pria yang 25 tahun bergelut di dunia peternakan ini meyakini sawit merupakan bahan baku energi yang paling murah dibandingkan jagung dan kedelai.
Terlebih, sawit sangat melimpah dan merupakan produk unggulan Indonesia.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 303 yang terbit September 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/