Foto: Windi Listianingsih
Pada musim kemarau yang panjang perlu dilakukan optimalisasi lahan rawa
Musim kemarau tahun ini diperkirakan lebih ekstrem dibandingkan tahun lalu. Perlu sinergi untuk meminimalkan dampaknya terhadap produksi padi.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim kemarau terjadi bulan ini. Namun institusi ini memberikan peringatan dini untuk antisipasi kekeringan hingga September.
Dasarnya adalah data BMKG sendiri yang memperlihatkan sudah lebih dari 30 hari Pulau Jawa yang notabene sentra padi terbesar nasional tidak turun hujan. Dampak kekeringan tersebut tentu akan berpengaruh pada produksi padi.
Upaya Kementan
Sarwo Edhy, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, menyatakan, pihaknya melakukan upaya untuk mengurangi dampak kekeringan di Pulau Jawa dengan tiga langkah.
Pertama, memanfaatkan sumber-sumber air dari embung pertanian yang berjumlah 11.654 unit dengan pengoperasian 4.042 unit pompa air irigasi hasil pengadaan 2015-2018.
Kedua, menyediakan pompa air untuk mendukung mitigasi kekeringan. Jumlah pompa air yang sudah dialokasikan pada periode 2015-2018 mancapai 93.860 unit. Khusus daerah terdampak kekeringan, pompa air yang telah dialokasikan sebanyak 19.999 unit.
“Manfaatkan semua pompa air yang tersedia di daerah dan kerahkan Brigade Alsintan untuk membantu petani dalam mengamankan standing crop (tanaman padi yang masih ada di lapangan, Red.) dan memitigasi kekeringan,” katanya saat rakor “Mitigasi Kekeringan” di Kementan, Jakarta (8/7).
Ketiga, memantau ketersediaan air di waduk dan bendungan, mengutamakan jadwal irigasi mengutamakan untuk wilayah yang standing crop-nya terdampak kekeringan.
Terapkan dan kawal gilir-giring air pada daerah irigasi yang airnya terbatas dan menertibkan pompa-pompa air ilegal di sepanjang saluran irigasi utama.
Pengamanan standing crop harus dilakukan bersama-sama dengan pihak terkait antara lain aparat keamanan (TNI/Polri), Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan petani atau kelompok tani, juga Perum Jasa Tirta.
Dirjen juga merinci lahan pertanian terdampak kekeringan dan puso di Jawa, NTB, dan NTT. Berikut rinciannya, daerah Banten mengalami kekeringan 3.464 ha; Jabar kekeringan 25.416 ha dan puso 624 ha; Jateng kekeringan 32.809 ha, puso 1.893 ha; DIY kekeringan 6.139 ha, puso 1.757 ha. Jatim kekeringan 32.809 ha, puso 1.893 ha. NTB kekeringan 857 ha dan NTT kekeringan 55 ha dan puso 15 ha.
“Kurang lebih 100 kabupaten dan kota yang terdampak kekeringan 2019. Total 102.654 ha kekeringan dan puso 9.940 ha,” jelasnya. Karena itu perlu sinergi antarwilayah terkena kekeringan dan tindakan yang masif agar dapat segera diatasi.
Optimalkan Lahan Rawa
Sementara Sumarjo Gatot Irianto yang saat itu masih menjabat, Dirjen Tanaman Pangan menyatakan, “Wilayah yang sudah terkena puso perlu menginventarisir keikutsertaan asuransi petani. Wilayah yang terancam kekeringan dan belum puso perlu mengaktifkan pompa, mengoptimalkan sumber air terdekat (sungai, danau, embung), normalisasi saluran.”
Di sisi lain, imbuh Gatot, pada musim kemarau yang panjang perlu dilakukan optimalisasi lahan rawa. Daerah yang memiliki potensi lahan rawa bisa melaksanakan Program Luas Tambah Tanam dengan memberikan bantuan berupa benih padi, jagung, kedelai, dan alsintan. “Optimalisasi lahan rawa akan lebih bagus di musim kemarau. Wilayah Sulawesi, Sumatera,dan Kalimantan posisi curah hujannya masih relatif tinggi,” pungkasnya.
Sabrina Yuniawati