Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Persiapan tambak dilakukan secara sempurna untuk memutus mata rantai penyakit
Melibatkan masyarakat agar tambak berkelanjutan.
Sumarno dan Mardian bukan orang baru dalam budidaya udang. Namun selama ini mereka sebatas karyawan. Setelah malang-melintang di sektor perikanan selama 30 tahun, pertemanan mereka berlanjut dengan membuka usaha tambak udang di Desa Kamintara, Kec. Punduh Pidada, Kab. Pesawaran, Lampung pada 2013.
Saat itu Marno, sapaan Sumarno, adalah sales obat udang dan Mardian konsultan budidaya di Ekuador. Sebelumnya Marno membuka tambak sendiri selama 2 tahun tapi gagal. Begitu juga Mardian pernah mencoba peruntungan di usaha budidaya kerapu lantas gulung tikar.
Meskipun modal pas-pasan, duet alumni Sekolah Tinggi Perikanan (STP), Jakarta tamatan 1990 ini menyewa tambak mangkrak yang mau dijual pemiliknya. Mereka membujuk pemilik untuk menyewakan tambak sambil menunggu pembeli.
Alasannya jika tambak dijual dalam kondisi tidak beroperasi, pasti harganya lebih murah. Lagipula lokasi tambak tersebut terisolir, tidak ada akses jalan dan aliran listrik PLN sehingga kurang diminati pembeli. “Akhirnya, pemilik tambak setuju,” ujar Marno didampingi Mardian kepada AGRINA.
Tebar Rendah
Selanjutnya pasangan duet ini mengoperasikan 10 kolam berukuran 3.000 m2/unit. Dua kolam di antaranya mereka sulap untuk tandon. Sementara, 8 kolam tidak ditebar benur sekaligus tapi dibagi 2. Saat 4 kolam ditebar benur, kolam lain menyusul 2 bulan berikutnya. “Dengan sistem tersebut maka akan lebih mudah mengawasi udang kecil di 4 kolam dibandingkan jika tebar sekaligus 8 kolam,” terang Mardian.
Kepadatan udang 70 ekor/m2 dan tinggi air 120 cm. rata-rata angka kelulusan hidup (SR) mencapai 98%-99% dan konversi pakan (FCR) 1,49-1,54. Mereka mempertahankan tebar rendah karena ketiadaan listrik PLN, konstruksi tambak berupa tanah, keterbatasan SDM, dan kualitas air laut di sekitar tambak yang menurun.
Pernah dicoba menaikan padat tebar hingga 100 ekor/m2 tapi banyak masalah muncul, terutama serangan penyakit. Saat ini penyakit yang kerap menggangu adalah WFD (White Feces Disease), Myo, dan WSSV (Whitespot Syndrome Virus) tapi masih bisa dikendalikan.
Lalu, mereka mengaplikasikan sistem budidaya tertutup (closing system) tanpa ganti air. Bahkan jika turun hujan, mereka membuang air tanpa melakukan pemeriksaan parameter air disusul penambahan mineral.
Penambahan air hanya saat tingginya di bawah 125 cm. Mardian mengakui, tidak banyak menggunakan pemeriksaan lab tapi lebih berpatokan pada warna dan tingkat kecerahan air.
Aplikasi Koenzim
Untuk memutus mata rantai penyakit, persiapan tambak dilakukan sempurna. Setelah pengeringan, pengangkatan lumpur dan sterilisasi menggunakan disinfektan. Berikutnya pengisian air hingga 110 cm dan penaburan TCCA.
Tiga hari kemudian ditabur fermentasi koenzim sebanyak 3 ppm/hari sampai penebaran benur. Koenzim ini dikultur susu skim selama 24 jam. “Biasanya penebaran koenzim ini berlangsung selama 10 hari,” ungkap Mardian.
Setelah penebaran benur, koenzim dicampur pakan dengan dosis 250 cc/kg. Aplikasi koenzim, ungkap Marno, agar nutrisi dan protein pakan lebih cepat diserap usus udang.
Dia mengakui ada angapan jika disiram cairan koenzim maka pakan menjadi lembut dan lebih mudah terurai di dalam kolam. Pakan mudah pula tenggelam karena lebih berat sehingga banyak yang akhirnya tidak termakan udang.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 300 yang terbit Juni 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/