Foto: Istimewa
Gejala serangan pada tanaman lebih tua, daun sobek-sobek
Hama ini mampu menginvasi 44 negara dan 80 jenis tanaman dalam waktu tiga tahun. Dan sejak bulan lalu, ia telah merambah lahan jagung di Sumatera. Bagaimana potensi bahayanya?
Dunia tengah dihebohkan oleh mewabahnya hama bernama Spodoptera frugiperda (J.E. Smith) atau dikenal juga dengan sebutan fall armyworm (FAW).
Serangga asli Amerika tropis ini pertama kali teridentifikasi di Nigeria, Afrika pada akhir Januari 2016. Setelah itu FAW menyebar sangat cepat di hampir semua negara penanam jagung di benua hitam itu. Hingga 2017 sampailah ia di Afrika Selatan.
Pada 2018 hama invasif tersebut mendarat di Asia, yaitu Yaman, India, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand. Dalam enam bulan, sejak kedatangannya, FAW menyebar ke seluruh wilayah sentra jagung di India. Saking hebatnya serangan, India sampai harus impor jagung dari Ukraina.
Penyebarannya terus meluas hingga ke Bangladesh dan China. Tahun ini ia terus menebar teror dan sejak dua bulan terakhir merambah Indonesia lewat Sumatera. Potensi kehilangan hasilnya bisa sampai 70%.
Melihat ancamannya terhadap ketahanan pangan nasional, CropLife Indonesia menggelar jumpa pers untuk berbagi pengetahuan tentang FAW di Jakarta, 23 Mei 2019. Acara ini menghadirkan Prof. Dadang, M.Sc., Dr. Idham Sakti Harahap, dan Dra. Dewi Satriami, M.Si. dari Departemen Proteksi Tanaman, Faperta IPB.
Selain media massa, hadir pula perwakilan anggota CropLife, yaitu Bayer, Corteva Agriscience, Nufarm, BASF, FMC, dan Syngenta.
Karakter
Menurut Idham, ada 31 spesies Spodoptera di dunia. Di Indonesia genus ini dikenal sebagai ulat grayak atau ulat tentara. Beberapa jenis ulat grayak yang berperan sebagai hama penting tanaman di sini adalah S. litura, S. mauritia, S. exempta, dan S. exigua. Sedangkan S. frugiperda alias FAW memang tidak ada di Indonesia.
“Hama baru ini sulit dikendalikan karena beberapa hal. Meskipun yang merusak larvanya, tapi imago (serangga dewasa)-nya cepat menyebar karena termasuk penerbang yang kuat. Bisa menembuh jarak yang jauh dalam seminggu. Kalau dibantu angin bisa mencapai 100 km/hari,” jelas ahli hama pemukiman ini.
Selain itu, deteksi awalnya sulit karena saat populasinya masih rendah, larva masuk ke gulungan daun dan makan di dalamnya. Setelah banyak, barulah keluar ke mana-mana. “Kemampuan reproduksinya cepat sekali.
Ngengat betina mampu menghasilkan telur 1.844 butir per 14 hari dan ada overlapping generasi setiap tahun,” imbuh alumnus Faperta IPB ini.
Kemampuan bertahannya di alam tergantung suhu musim dingin. Namun, karena negara-negara di Afrika tidak mengalami suhu ekstrem, maka serangan berat bisa terjadi sepanjang waktu.
Mengingat kondisi iklim yang mirip antara Asia Selatan dan Asia Tenggara, ancaman masuknya sang hama baru sangat besar dan dapat bertahan. “Spesies ini termasuk spesies invasif dan menguasai spesies lokal yang cara hidupnya sama. Ia bisa masuk tanpa musuh alaminya,” papar doktor lulusan Clesmon University ini.
Celakanya, inang FAW sangat banyak, 80 jenis tanaman. Inang yang penting adalah jagung, padi, tebu, kedelai, kubis, cabai, bawang, paprika, tomat, timun, pisang, dan sebagainya.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 300 yang terbit Juni 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/