Foto: Windi Listianingsih
Kopi Indonesia dikategorikan sebagai specialty coffee
Produktivitas sawit bisa ditingkatkan dengan pemupukan dan biostimulan.
Mengonsumsi kopi, kakao, dan teh telah menjadi gaya hidup masyarakat melampaui batasan umur dan jenis kelamin. Agar komoditas perkebunan itu mampu memenuhi permintaan pasar, pemerintah mendorong penuh pengembangan riset dari sisi hulu hingga hilir untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi dan berdaya saing di pasar global. Apa saja yang dilakukan?
Riset Mendalam
Menurut Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, komoditas perkebunan tidak hanya berpeluang melahirkan lapangan usaha tetapi juga menciptakan pengusaha yang dapat membangun sektor perkebunan dalam jangka panjang.
Namun, sektor perkebunan hanya akan tumbuh optimal jika diikuti pengembangan riset. Darmin mengakui, perkebunan milik perusahaan besar sudah ditopang riset mendalam namun produk perkebunan berbasis kerakyatan masih minim dukungan penelitian.
“Akan menjadi kerugian tersendiri jika di sekitar perkebunan rakyat tidak ada pengembangan riset yang biasa dikembangkan oleh perusahaan besar dan pemerintah tidak mengambil langkah untuk mengisi kekosongan ini.
Karena itu, kami terus mendorong pengembangan riset untuk komoditas perkebunan,” ulasnya saat memberikan sambutan pada acara Cocho Tea Night and Fun sebagai rangkaian Seminar Pupuk dan Mekanisasi di Perkebunan di Jakarta, Rabu (4/4). Saat ini pengembangan riset di sektor perkebunan masih berpusat pada benih, pengolahan, dan budidaya.
Lebih jauh Darmin mengupas, kinerja komoditas kopi nasional pada 2018 mencapai 1,24 juta ha dengan produksi 722.461 ton. Potensi ini menjadi harapan besar mengingat kualitas kopi Indonesia dikategorikan sebagai specialty coffee (kopi khas). Yakni, kopi berkualitas yang telah melewati proses sesuai standar mulai dari hulu ke hilir. Dengan begitu, pemerintah bersama pelaku usaha harus mengoptimalkan penguatan sisi hulu dan hilir perkebunan kopi nasional.
“Kita tahu Indonesia memiliki speciality coffee yang sangat bervariasi. Jika komoditas ini diproses dengan baik maka kopi nasional kita akan memiliki ciri khas tersendiri. Jadi, komoditas perkebunan perlu diproses dengan standar yang tinggi agar dapat bersaing,” ujar Darmin.
Produksi teh 2018 sebesar 141.342 ton dari 113.215 ha lahan. Potensi pengembangan teh sangat luas, meliputi bidang kesehatan dan kosmetik atau kecantikan. Sementara, produksi kakao tahun lalu mencapai 593.832 ton dari 1,68 juta ha lahan. Potensi tanaman bernama ilmiah Theobroma cacao ini sangat besar mengingat kualitas kakao nasional dikenal dengan cita rasa tinggi berbasis geografis.
Mekanisasi
Pada kesempatan yang sama, Teguh Wahyudi, Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) mengatakan, kita kurang memberi perhatian pada mekanisasi pertanian. Selain mengefisienkan biaya produksi, mekanisasi juga menurunkan biaya tenaga kerja. “Sekarang biaya tenaga kerja cukup tinggi, sekitar 15%-20%. Kalau dengan mekanisasi, kita bisa menurunkan biaya tenaga kerja sekitar 10%-15%,” katanya.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 299 yang terbit Mei 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/