Foto: Istimewa
Rata-rata harga pakan, DOC, ayam hidup (LB), dan HPP (2015-2019)
Dengan berbagai persoalannya, sektor perunggasan masih dinilai “seksi” sebagai tujuan berinvestasi.
Pertumbuhan investasi terbesar di bidang pertanian berasal dari sektor perunggasan. Hal itu diungkapkan Fini Murfiani, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen PKH Kementan, baru-baru ini dalam Indonesian Poultry Club di IPB Convention International Center, Bogor.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), rata-rata nilai investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) di bidang peternakan unggas selama kurun 2016-2018 meningkat sebesar 22,34%. Sementara menurut tim analisis Ditjen PKH, penyediaan daging ayam ras pedaging (broiler) pada 2018 sebesar 3,38 juta ton. Meningkat 2,22% dari penyediaan pada 2017 yang berjumlah 3,29 juta ton.
“Kenaikan kebutuhan ini dapat disebabkan karena peningkatan konsumsi dan prediksi perbaikan ekonomi di 2019,” ujar Fini optimis.
Melihat Regulasi
Beberapa tahun terakhir, diakui Fini, pemerintah selalu dihadapkan dengan ruwetnya mengurusi bisnis unggas. Sebagai solusi, pemerintah, salah satunya mengeluarkan regulasi terkait tata kelola perunggasan nasional, yakni Permentan No.32/2017 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras dan telur konsumsi.
Dengan adanya regulasi tersebut, imbuh Fini, pemerintah berupaya melakukan pembenahan dari berbagai aspek. Di antaranya, membentuk tim analisis untuk melakukan perhitungan suplai (ketersediaan) melalui importansi ayam induk (Grand Parent Stock - GPS) dan melaksanakan audit unit usaha pembibitan GPS. Tujuannya agar penetapan importasi GPS lebih sesuai dengan kebutuhan, serta perhitungan supply dan demand (kebutuhan) dari daging dan telur ayam ras lebih akurat.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami menanggapi, pengawasan pelaksanaan Permentan No.32/2017 perlu ditingkatkan. Terutama terkait kewajiban memiliki rumah potong hewan unggas (RPHU) yang dilengkapi fasilitas rantai dingin.
Fini mengatakan, saat ini pemerintah sudah mulai mendata kepemilikan RPHU dan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) bagi pelaku usaha yang memproduksi ayam ras lebih dari 300 ribu ekor/minggu. Pemerintah, lanjut dia, melihat lebih dalam bisnis ayam ras mulai dari proses importasi GPS hingga pembesaran DOC (Day-Old Chick) Final Stock atau anak ayam dipelihara peternak. Tujuannya, melihat efektivitas kebijakan perunggasan nasional.
Ketua Dewan Pembina Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Tri Hardiyanto, yang turut berbicara dalam diskusi menekankan, sebagai upaya penguatan peternak mandiri dan perunggasan nasional, rekonsiliasi data yang riil sangat dibutuhkan. Mengutip data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pengusaha ayam di Bogor ini menyebut, nilai bisnis perunggasan menyentuh angka Rp450 triliun. Untuk itu, Permentan No.32/2017 pun perlu diimplementasikan sebagai regulasi yang berkeadilan.
Dari sisi usaha, peternakan ayam ras pedaging (broiler) sekitar 80% dikuasai perusahaan integrasi dan hanya 20% peternak mandiri. Sedangkan usaha ayam ras petelur (layer) sebaliknya. “Dari penguasaan sarana produksi dan efisiensi usaha, peternak broiler mandiri sulit bersaing dengan perusahaan integrasi. Sehingga harga pokok produksi relatif lebih tinggi,” simpul Tri.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 298 yang terbit April 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/