Foto: windi listianingsih
GEMA IRIANDUS PAHALAWAN (ketiga dari kiri),, 99% TBBM Pertamina menjual B20
Indonesia bersiap menerapkan B30 sebagai bahan bakar ramah lingkungan pengganti fosil. Bagaimana implementasinya di lapang?
Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan, pengembangan bioenergi untuk mendukung ketahanan energi nasional serta mencapai target penyediaan energi baru terbarukan (EBT) pada 2025. EBT diharapkan bisa berkontribusi sebesar 23% pada 2025. “Khusus untuk bioenergi, diharapkan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) bioenergi bisa di angka 5,5 GW (Giga Watt) di 2025, biogas 489,8 juta m3, biofuel 13,8 juta kiloliter (kl),” ujarnya.
Tujuan lainnya mengurangi konsumsi bahan bakar impor dan bahan bakar fosil, menghemat devisa impor, stabilisasi harga sawit, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Perkembangan Biodiesel
Penerapan biodiesel dimulai sejak 2006 sebesar 2,5% (B2,5). Pada 2010 berlakulah mandatori biodiesel untuk sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 20/2014 yang mewajibkan konsumsi B10 pada BUPIUN BBM serta pengguna langsung di sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Aturan ini juga menargetkan pemanfaatan B30 pada 2020 dan uji B20 bersama pemangku kepentingan.
Pada 2015 pemerintah mengimplementasi B15 diikuti B20 pada 2016 hingga saat ini. “Permen No. 12/2016 mandatorinya (biodiesel) sudah 20%. Alhamdulillah, 2018 sudah berhasil menerapkan di semua sektor sebesar 20%. Di sektor pembangkit sendiri sudah 30%,” imbuh Feby, sapaannya. Pada Januari 2020 pemerintah akan memberlakukan B30. “Sekarang kita sedang menerapkan berbagai kajian dan diskusi dengan berbagai stakeholder serta rencana road test sehingga Januari 2020 bisa menerapkan B30,” tukasnya.
Tahun lalu produksi biodiesel nasional 6 juta kl dengan pemanfaatan mencapai 4 juta kl dan sebagian lainnya diekspor. Dibandingkan 2017, ada peningkatan 75% karena kenaikan perluasan insentif sektor non-PSO (public service obligation). “Realisasi penyaluran biodiesel 2018 untuk PSO (subsidi) dan non-PSO. Karena diwajibkan dengan adanya perluasan insentif maka penggunaan di non-PSO-nya juga cukup signifikan,” ulas dia.
Pada 2019 pemerintah menargetkan penyerapan Fatty Acid Methyl Ester (FAME), produk turunan Crude Palm Oil (CPO), sekitar 6 juta kl. “Kalau B30 bisa diterapkan di 2020 dengan asumsi penggunaan solar masih 30 juta kl, artinya di 2020 akan terserap sekitar 9-10 juta kl biodiesel,” cetus Feby. Guna mematangkan penyerapan B30, pihaknya melakukan kajian awal sejak 2017 dan mempersiapkan tes jalan (road test) pada Maret-Oktober 2019. “Hasil road test baru menjadi dasar kita go (jalan) atau tidak untuk B30 di 2020,” tambahnya.
Feby mengaku ada beberapa hal yang memerlukan diskusi bersama dalam pengembangan biofuel. Yang utama ialah masalah harga bahan dan ketersediaan bahan baku, ketersediaan operasional untuk pengolahan, serta ada tidaknya insentif yang akan diberikan. “Ini semua masih dalam tahap diskusi. Terkait faktor-faktor layak tidaknya secara ekonomi masih harus kita bahas,” tandasnya.
Kendala Biodiesel
MP Tumanggor, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) mengatakan, produksi biodiesel masih jauh dari kapasitas industri. Kapasitas produksi biodiesel Indonesia sekitar 12 juta kl. “Tahun 2019 ini kita harapkan bisa mencapai 6 juta kl karena lebih kurang 20% dari 30 juta atau 34 juta kl solar,” urainya. Ia pun mendorong konsumsi biodiesel yang lebih besar di Indonesia. “Kita sangat gembira kalau sampai terealisasi green solar. B30 kami harapkan, dari produsen, dipercepat uji cobanya,” tutur Tumanggor.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 297 yang terbit Maret 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/