Selasa, 5 Pebruari 2019

PERKEBUNAN : Ketika Tebu Terasa “Pahit”

Kebutuhan gula nasional terus meningkat. Ironisnya, petani tebu tak bisa menikmati manisnya bisnis itu. Mengapa?
 
 
 
Produksi gula dari para petani tebu lokal sampai hari ini masih keteter, tak mampu mengejar kebutuhan nasional yang kian naik. Dalam 10 tahun terakhir, data Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Tebu dari Ditjen Perkebunan, Kementan memperlihatkan stagnasi luas tanam sekitar 450-an ribu ha dan produksi tebu 2,2 juta ton.  
 
 
Bahkan data 2018 yang diberikan Agus Wahyudi, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan, malah terlihat sedikit menurun, luas tanam 414.846 ha dan produksi 2,17 juta ton. Data itu dihimpun dari 20 perusahaan gula di Pulau Jawa dan luar Jawa. 
 
 
Padahal, kebutuhan gula untuk konsumsi langsung saja mencapai 2,8 juta ton. “Jadi, untuk konsumsi langsung masih membutuhkan 600 ribu ton impor per tahun. Ada juga industri makanan dan minuman berkisar 3 juta-3,5 juta ton. Totalnya impor semua,” ungkap Agus kepada AGRINA (19/1). 
 
 
 
Impor Meroket
Sementara itu, Faisal Basri, ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti fenomena impor yang luar biasa. “Saya kaget melihat data Statista, terlihat Indonesia impor gula terbesar di dunia. Kita sekarang sudah melebihi China dan AS. Biasanya ada di tingkat 3 atau 4. Melonjaknya itu pada 2009 dan meroket 2016 sejak Enggar jadi Mendag,” komentarnya di Jakarta (14/1). 
 
 
Data Badan Pusat Statistik, World Bank, dan Statista menunjukkan konsistensi. Peningkatan impor terjadi semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu itu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menghamburkan izin pendirian pabrik gula rafinasi, yaitu pabrik yang mengimpor gula mentah (raw sugar) lalu mengolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR). Dulu jumlahnya banyak. Sekarang ada 11 pabrik dan lokasinya, kritik Faisal, di daerah yang hampir tidak mungkin ditanami tebu, seperti Serang, Banten (enam pabrik).
 
 
Sejarah kehadiran GKR sebetulnya semacam insentif peningkatan produksi gula nasional dan peruntukannya bagi industri makanan dan minuman. Pengembangan produksi gula nasional berbasis tebu memang butuh waktu lama. Karena itu pemerintah mengizinkan impor GKR untuk memperoleh uang. Lambat laun pabrik ini menanam tebu sendiri dan memproduksi gula sehingga tidak perlu lagi impor raw sugar. 
 
 
“Pertanyaan kita, impor kita 4,6 juta ton, kebutuhan 3 juta ton. Selebihnya ke mana? Selebihnya dipastikan mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah mengatakan bahwa gula rafinasi tidak boleh dipasarkan untuk gula konsumsi karena tidak baik untuk kesehatan. Sekarang pemerintah sendiri menggunakan gula rafinasi untuk stabilisasi harga,” ulas alumnus Universitas Vanderbilt, Nashville, AS itu.
 
 
Lebih jauh Faisal menghubungkan dengan disparitas harga antara GKR dan gula tebu petani. Harga internasional 11 Januari lalu 12,78 sen/pon setara US$282/ton. Ongkos transportasi dan pengolahan GKR sebesar US$200-US$250. “Jadi, harga gula rafinasi di pabrik US$507/ton dengan kurs Rp14.500, harganya Rp7.372 sedangkan harga di pasar Rp12.500 (HET, Red.). Bayangkan, marginnya besar sekali,” cetusnya gemas.
 
 
Kesimpulan Faisal, rente yang didapat bukan dari menjual GKR ke industri tapi selisih harga yang terjadi antara gula eceran dan dunia. “Ke-11 produsen tadi menerima uang dari selisih harga triliunan rupiah. Pemburu rente menikmati economic profit tanpa ongkos, tanpa keringat, free rider. Ini yang harus kita perangi,” tandasnya.
 
 
Adanya GKR yang merembes di pasar membuat pedagang enggan membeli gula petani yang relatif mahal. Jadilah terlihat sengsara nasib petani. Gulanya menumpuk di gudang karena hanya bisa dilepas dengan harga murah. Kondisi ini tentu saja “pahit” bagi petani tebu. Dalam lamannya, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menghitung, biaya pokok produksi untuk musim giling 2018 sebesar Rp10.932/kg. Dengan keuntungan 10%, petani meminta harga pembelian Rp12.000/kg, bukan seperti harga acuan pembelian berdasarkan Permendag No. 58/2018 yang sebesar Rp9.100/kg. 
 
 
 
Perlu Insentif
Sementara itu Agus Purnomo, praktisi industri gula di Jakarta mengatakan, impor bisa terjadi karena ada pasarnya. Dia mengakui, produksi gula domestik masih sangat kurang daripada kebutuhan total. Dengan produksi 2,2 juta ton sementara kebutuhan 6 juta ton, berarti masih harus memproduksi 4 juta ton lagi. 
 
 
 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 296 yang terbit Februari 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain