Selasa, 5 Pebruari 2019

TANAMAN PANGAN : Iklim Kondusif, Produksi Jagung (Siap) Melejit

TANAMAN PANGAN : Iklim Kondusif, Produksi Jagung (Siap) Melejit

Foto: windi listianingsih
PENINGKATAN produksi jagung mengandalkan program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB)

Pertanaman jagung 2019 menerapkan jarak tanam rapat sehingga meningkatkan populasi tanaman 1,5 kali dari kebiasaan. 
 
 
 
Produksi jagung pada 2018, menurut Sumarjo Gatot Irianto, Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan), mengalami surplus sebesar 14 juta ton. Produksi “emas pipilan” mencapai 30,05 juta ton pipilan kering, sedangkan kebutuhannya sekitar 15,58 juta ton. Dari mana surplus ini diperoleh?
 
 
 
Mencapai Surplus 
Keberhasilan itu, ungkap Gatot, berkat pelaksanaan Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai sejak 2015. Bambang Sugiharto, Direktur Budidaya Serealia, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan menjelaskan, pendorong utama surplus adalah bantuan benih jagung setara 2,8 juta ha melalui program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Namun, realisasi PATB 2018 mencapai 2,5 juta ha dan sisanya berupa Penambahan Luas Tanam Jagung (PLTJ). 
 
 
“Anggaplah PATB ini petani pemula yang belum mahir, setidaknya bisa menghasilkan 5 ton/ha. Dari 2,5 juta ha PATB, menghasilkan 12,5 juta ton jagung. Surplus diduga dari itu ditambah surplus produksi lainnya,” urai Bambang pada AGRINA di Jakarta, Senin (21/1). 
 
 
Kementan, imbuh Arnen Sri Gemala, Kasi Intensifikasi Jagung, Direktorat Budidaya Serelia, mengandalkan PATB untuk menggenjot produksi emas pipilan pada 2018. Pasalnya, banyak lahan telantar yang belum sempat digunakan dan ada lahan kering yang belum dipakai sama sekali. Program PATB menjangkau 31 provinsi di seluruh Indonesia. Seiring berjalannya waktu, banyak daerah berasumsi PATB harus membuka lahan baru. 
 
 
Padahal, PATB bisa memanfaatkan lahan yang tidak pernah terpakai di lingkungan sekitar, lahan terbuka seperti Hak Guna Usaha (HGU) yang belum dipakai, atau lahan yang tidak biasa ditanami jagung, misalnya lahan dengan jaringan irigasi rusak. “Lahan PATB itu termasuk tumpang sari dengan tanaman perkebunan, seperti sawit, karet,” terang Arnen. Dari 2,5 juta ha PATB, ada sekitar 30% berupa tumpang sari jagung di lahan perkebunan dan Perhutani. Salah satu daerah yang sukses mengembangkan PATB adalah Sulawesi Utara melalui tumpang sari jagung dengan kelapa. 
 
 
Pendorong berikutnya adalah iklim investasi atau budidaya jagung yang sangat bagus dalam tiga tahun terakhir karena penghentian impor. Pabrik pakan pun berlomba-lomba menyerap jagung lokal. “Harganya selalu bagus sehingga orang beramai-ramai tanam jagung. Itu yang membuat perluasan tanam meningkat, produktivitas meningkat,” timpal Bambang.
 
 
 
Pertanaman 2019
Produksi jagung 2018, lanjut Bambang, terkendala telatnya kehadiran hujan yang mempengaruhi keterlambatan penanaman di beberapa daerah. Musim tanam tahun lalu pun bergeser sekitar sebulan lebih lambat. “Biasanya Oktober sudah mulai tanam. Ini akhir November baru mulai tanam,’ katanya. 
 
 
Untuk mengantisipasi kendala musim, Kementan mendorong program percepatan tanam jagung mulai Januari hingga Mei guna mengejar target produksi 2019 sebesar 33 juta ton. Namun mengacu pengamatan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Bambang menuturkan, tahun ini tidak ada kendala berarti dalam produksi jagung. Pertanaman jagung bisa dilakukan sepanjang tahun karena BMKG memprediksi hujan tidak intensif dan curah hujan merata sepanjang tahun. “Ini favorable (bagus) untuk penanaman jagung. Lahan kering yang biasanya sekali bisa dua kali tanam. Tahun ini potensi produksinya bagus,” ungkapnya.
 
 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 296 yang terbit Februari 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain