Selasa, 5 Pebruari 2019

PREDIKSI PERTANIAN 2019 : Melihat Peluang Pertanian 2019

PREDIKSI PERTANIAN 2019 : Melihat Peluang Pertanian 2019

Foto: windi listianingsih
Produksi pertanian harus menerapkan standar untuk bisa menembus pasar domestik dan internasional

Pertanian bukan hanya masalah budidaya tapi juga logistik dan penyimpanan. Sistem produksi pun harus bisa membaca situasi pasar.
 
 
 
Perubahan iklim akan sangat mendominasi kondisi pertanian sepanjang tahun ini. Australia misalnya, ungkap Hari Priyono, Staf Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian, mengalami kekeringan sehingga permintaan beberapa komoditas pertanian di level internasional meningkat. Sementara, di Indonesia setiap tahun mengalami pergeseran musim tanam. Musim tanam tidak lagi Oktober-Maret dan April-September. Meski begitu, ia menyarankan, perubahan iklim sebaiknya tidak dilihat sebagai ancaman melainkan peluang. 
 
 
   
Tantangan 2019 
Hari menjelaskan, sebagai negara tropis, secara umum Indonesia beriklim hujan dan kemarau. Namun karena memiliki 7 zona iklim, negara ini berpeluang besar menanam komoditas pertanian, khususnya padi, setiap bulan. “Jadi, tidak serentak petani menanam padi selalu dimulai Bulan Oktober,” ujarnya pada Outlook Agribisnis 2018 dan Proyeksi 2019. Terlebih, pola musim hujan selalu dimulai dari Barat, yaitu Aceh dan menuju ke Timur. 
 
 
Di balik peluang, distribusi komoditas menjadi tantangan. Sejumlah titik atau pasar tidak jarang mengalami kelangkaan bahan pokok. "Ini bukan berarti produksi tidak ada tetapi ada lag (keterlambatan) distribusi. Secara fakta, panen ada tapi distribusinya mahal," bebernya. Apalagi, Indonesia juga negara kepulauan sehingga menimbulkan biaya distribusi dan tidak bertemunya permintaan dengan pasokan. 
 
 
Hari menegaskan, masalah klasik perubahan iklim dan dinamika penawaran dan permintaan tetap mewarnai kondisi 2019. Hal ini selalu menjadi masalah di negara kepulauan. “Distribusi dan logistik mengambil margin yang cukup besar. Pertanian bukan hanya masalah budidaya tapi juga masalah logistik dan penyimpanan,” urainya. 
 
 
 
Pasar Internasional
Hari melanjutkan, pasar international, khususnya pengaruh China dan Amerika ikut mempengaruhi situasi komoditas pertanian dunia. Sekali lagi ia memandang peluang akibat perang dagang kedua negara itu. “China akan mencari mitra kerja sebagai kompensasi pasar Amerika yang mengenakan pajak impor tinggi pada komoditas China,” jelasnya. 
 
 
Indonesia mempunyai primadona ekspor pertanian, seperti sawit, karet, dan kopi. Tetapi, ia mengingatkan, pasar ekspor kita juga menghadapi Negara-negara Afrika yang tergabung dalam persemakmuran (commonwealth). “Negara-negara Afrika bekas jajahan Eropa akan lebih mudah akses ke Eropa daripada Indonesia. Itu fakta kesejarahan yang dalam bisnis akan tetap mewarnai,” imbuhnya. 
 
 
Guna mengakses pasar inernasional, petani perlu membangun standar produk. Dalam kondisi ada atau kurang modal, petani harus menerapkan budidaya yang baik sesuai Good Agriculuture Practices (GAP). Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan seragam kualitasnya apapun kondisi yang dihadapi. “Pasar internasional ataupun industri yang paling penting bicara standar. Kondisi eksisting petani kita masih jauh dari standar,” bukanya. 
 
 
Jika ingin mempertemukan suplai dengan permintaan, sistem produksi harus bisa membaca situasi pasar. Konsumen menengah ke atas misalnya, tidak lagi memikirkan makan kenyang tetapi makan sehat. “Sekarang eranya healthy food (makanan sehat). Artinya, kecenderungannya kualitas. Kalau ingin mendapat harga yang mampu mensejahterakan petani maka sistem pengelolaan budidaya harus mengarah pada standar dan sehat,” tandasnya.  
 
 
Pemerintah pun harus melakukan perbaikan utama berupa layanan buat petani. Layanan usaha seperti perizinan sedangkan layanan pokok berupa pupuk subsidi, penyuluhan, pengendalian hama penyakit, dan pengaturan air. Kebutuhan air dipenuhi melalui penyediaan irigasi. Penyuluhan harus ada di setiap wilayah dan distribusi pupuk jangan sampai terlambat. Selain itu, mengatur importasi menyesuaikan kondisi panen. “Jika konsumen dan industri memerlukan maka dimungkinkan untuk impor secara bijaksana. Jika bisa dikembangkan di Indonesia, kenapa harus impor?” pungkasnya.
 
Windi Listianingsih
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain