Senin, 17 Juli 2006

Meniru KUAT Sedyo Rukun

Program P3T yang terdiri dari Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) dan Karya Usaha Mandiri (KUM) yang ditawarkan pemerintah pada 2002—2004 lalu menjadi berkah bagi Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) Sedyo Rukun, Kec. Jetis, Kab. Bantul, Yogyakarta.

Jetis menjadi salah satu tempat pelaksanaan P3T, menurut Dr. Ir. Achmad Kasiyani, M.Sc., Kadinas Pertanian DIY, karena  rata-rata produktivitas padi di sana lebih rendah ketimbang rata-rata di Bantul sehingga hasilnya akan kelihatan signifikan. Dengan P3T, produktivitas padi di Jetis meningkat, perbaikan lahan pun dirasakan petani. Perilaku petani yang selalu mengandalkan penggunaan pupuk kimia juga mulai terkikis. “Kalau dulu mereka dikasih pupuk organik dan tinggal menyebarkan di sawah saja tidak mau, tetapi sekarang mereka malah yang mencari,” terang Suharto, Sekretaris KUAT Sedyo Rukun.

Dulu petani enggan mengaplikasikan pupuk organik lantaran rata-rata luasan sawah mereka hanya 200—300 m2 sehingga tidak efisien jika harus menggotong puluhan kilo pupuk kandang ke lahan. “Namun setelah melihat hasilnya, mereka menjadi tertarik,” lanjut Suharto. Pemanfaatan pupuk organik ternyata dapat menekan penggunaan urea 30—50%. “Sekarang untuk 100 lubang (1.000 m2), petani hanya menggunakan pupuk kimia 25—30 kg. Padahal dulu 40—50 kg,” ungkap Murtijo, anggota KUAT Sedyo Rukun.

 

Menghemat Biaya

Melalui P3T perilaku petani dalam penanaman benih padi pun berubah. Sebelumnya, petani masih menerapkan metode sistem tanam pindah (tapin), sekarang dengan tanam benih langsung (tabela) secara tunggal atau tidak ombol (banyak rumpun). Dengan metode itu terjadi penghematan biaya dari tenaga dan benih. “Kalau dengan tabela hanya butuh 1 kg/300 m2, sedangkan model tapin bisa lebih dari 5 kg,” jelas Suharto.

Kecuali itu, umur panen pun maju 10—12 hari. Menurut Teguh Santosa, penyuluh pertanian spesialis Dinas Pertanian DIY, hal itu disebabkan benih masih mengandung lembaga yang merupakan cadangan makanan sehingga tanaman menjadi lebih sehat dan lebih adaptif. 

Dengan tabela, produktivitas meningkat sampai 8% dan biaya bisa dihemat 5—10%. Suharto mengaku, produktivitas padi di kelompoknya meningkat 0,5—1,0 ton GKG/ha, dari 5,8 ton/ha menjadi 6,5—7 ton/ha. Pendapatan dari penjualan gabah kering pungut (GKP) pun meningkat, dari Rp146,00/kg menjadi Rp260,00/kg.

 

Penangkar Benih

Setelah program P3T berhenti pada 2004, tahun lalu Sedyo Rukun menambah bidang usaha ke produksi benih yang menguntungkan. Menurut Murtijo, harga gabah kering pungut hanya Rp1.700,00/kg. Sementara benih berlabel ungu bisa dijual seharga Rp4.500,00—Rp5.000,00/kg.

Dalam memproduksi benih, Sedyo Rukun didampingi ahli peneliti utama, Rob Mudjisihono, dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta. Varietas yang diproduksi meliputi Cimelati, Cigeulis, Sintanur, Bondoyudo, dan Kalimas. Pasarnya masih di seputar Yogyakarta dan Klaten. Dari lahan 5—10 ha, produksi benih kelompok tersebut mencapai 1 ton/musim tanam.

Sedyo Rukun juga mendapat dana bantuan langsung masyarakat (BLM) dari Pemda Yogya berupa 80 ekor sapi untuk program SIPT. Kini ternak itu telah beranak-pinak menjadi 200 ekor sehingga kelompok ini juga memproduksi pupuk organik. Sekarang, produksi Jos, merk pupuk organik mereka, mencapai 1 ton/bulan. Pupuk itu mereka jual seharga Rp10.000,00/20kg ke petani salak pondoh di Sleman dan para petani tanaman hias di Yogyakarta.

Imam

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain