Namun, berkat kepiawaian para petani muda yang tergabung dalam Forum Komunikasi Petani Muda (FKPM), desa di kaki Gunung Semeru, itu kembali bersinar. “Mereka masih muda dan berkemauan keras untuk menjadi bagian dari masyarakat desa untuk mengatasi permasalahan di sini,’’ kata H. Ahmad Yanto, Kepala Desa Poncokusumo, kepada AGRINA, awal Juni lalu.
Sebelumnya, banyak permasalahan yang dihadapi sekitar 952 petani apel di desa berpenduduk 6.621 jiwa itu. Misalnya, harga pupuk dan pestisida melambung, penggunaan pestisida dan pupuk kimia berlebihan sehingga menurunkan mutu areal perkebunan, serta fluktuasi harga apel yang memunculkan persaingan tidak sehat antarpetani maupun antarpedagang. Boleh dikatakan, para petani apel di sana nyaris bangkrut.
Akibatnya, ribuan pohon apel tidak terurus. Ada yang dipangkas untuk kayu bakar, dan ada pula yang dipindahtangankan ke petani apel di Nongkojajar, Pasuruan, Jatim. Banyak petani yang beralih menanam sayuran, tetapi hasilnya tidak seberapa dibandingkan dengan dari apel.
Sebagai generasi kedua, banyak anak petani Poncokusumo yang terpanggil mengembalikan kejayaan desa ini. Mereka ini kebanyakan lulusan perguruan tinggi. Pada tahun 2000, anak-anak muda yang sudah mengecap kehidupan perkotaan kembali ke desa. Diawali kegiatan diskusi untuk mengatasi masalah perkebunan apel di desanya, lantas 26 Maret 2002 mereka membentuk FKPM Poncokusumo. Sekarang, sekitar 83 petani apel tergabung dalam forum ini.
Di Kecamatan Poncokusumo terdapat sekitar 1.500 ha tanaman apel yang tersebar di 17 desa. Sekitar 584 ha (40%) terhampar di Desa Poncokusumo dan 250 ha di antaranya dikelola petani apel anggota FKPM.
Selain berdiskusi, para petani muda ini juga melakukan studi banding ke petani apel yang sukses. Rupanya intensitas pertemuan dan studi banding ini mendapat tanggapan dari Dinas Pertanian Jawa Timur, Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Timur, dan Universitas Brawijaya, Malang.
Dengan dukungan institusi tersebut, menurut Andri Hermawan, mulai 2005, diadakan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Bahkan, menurut lulusan Fakultas Pertanian Unibraw ini, diadakan pula Sekolah Lapang Good Agricultural Practices (SLGAP). Saat ini, sekitar 53,5 ha kebun apel di sana sudah menerapkan GAP. Mereka mendapat kucuran dana APBD dan APBN.
Upaya FKPM untuk memulihkan perkebunan apel di Poncokusumo, bukannya tanpa hambatan. Banyak petani generasi tua meragukan langkah anggota FKPM. Misalnya, banyak petani generasi tua yang tabu memangkas tanaman apel tua dan rusak seperti dianjurkan dalam program GAP. Begitu pula dengan anjuran menggunakan pupuk organik dan lebih bijak dalam memanfaatkan pestisida. Tapi, berkat dukungan dari berbagai instansi dan perguruan tinggi tadi, kegiatan FKPM ini berhasil memulihkan perkebunan apel di Desa Poncokusumo.
Hasilnya sudah terlihat. “Selepas SLPHT, para petani mulai memahami cara yang tepat mengendalikan hama dan penyakit tanpa harus bergantung pada pestisida kimia,’’ kata Mohammad Irwan, Manajer GAP FKPM. Jangan heran, dengan adanya perubahan pola pikir dan pola budidaya cara berkebun apel yang baik, kini perkebunan apel di Desa Poncokusumo, tampak segar.
Omzetnya pun cukup menggiurkan. Dengan musim panen dua kali setahun, katakanlah produktivitasnya 2.000 kg/ha/panen, dan harga Rp2.000,00/kg, maka dari 584 ha kebun apel di desa tersebut berpotensi menghasilkan perputaran uang sekitar Rp4,67 miliar/tahun. “Mungkin beberapa tahun lagi, kejayaan apel Poncokusumo kembali dan bisa berlanjut seterusnya,’’ H. Ahmad Yanto optimis.
Untuk mendukung pemasaran apel, yang mereka beri merek STANDART, FKPM juga mendirikan rumah pengemasan untuk mengemas apel siap kirim. “Musim panen pertama tahun ini, FKPM berhasil memasarkan apel sendiri (dari kebun anggota) sekitar Rp500 juta,’’ terang Mohammad Irwan. Uang tersebut bukan hanya dinikmati pemilik perkebunan apel, tetapi juga oleh sekitar 1.856 buruh tani apel dari Desa Poncokusumo dan sekitar 1.350 buruh tani apel dari luar desa.
Bekerjasama dengan pemerintah dan perguruan tinggi, para petani muda berhasil mengembalikan kejayaan petani apel di Poncokusumo.
Syatrya Utama dan Tri Pranowo