Senin, 5 Juni 2006

Menyoal Seretnya Benih Kentang

Hampir 95% kebutuhan benih kentang Indonesia yang mencapai 130.000 ton/tahun masih diimpor.  Itu peluang besar sekaligus tantangan bagi penangkar benih kentang.

Data itu terungkap dalam rakornas “Menuju Swasembada Benih Kentang” yang digelar Direktorat Perbenihan, Ditjen Hortikultura, Deptan, di Bandung (20—22/4). Pada kesempatan itu, Prof. G.A.Wattimena, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB berani menyebutkan, Indonesia berpotensi mencapai swasembada benih kentang pada 2012. Dua langkah yang mesti dilakukan adalah penyediaan sumber induk bebas penyakit untuk menghasilkan bibit bersertifikat yang bermutu dan sumber keragaman genetik supaya dapat menghasilkan kultivar kentang unggul.

Jika ingin swasembada benih kentang, lanjut dia, sistem pembenihan yang sekarang berlaku harus dimodifikasi. Penyebaran benih melalui 9 provinsi sentra di Indonesia. Di setiap provinsi tersebut dibangun Balai Benih Induk (BBI) dan Balai Benih Utama (BBU). Sekarang ini sudah ada 8 BBI dan 9 BBU. “Dengan sarana tersebut, sistem perbenihan kentang dibuat suatu jejaring untuk mempercepat penyebaran benih kentang,” ujarnya.

Caranya, benih G0 diproduksi di Lembang, Jabar, untuk disebar Sumut dan Jateng. Lalu Sumut memproduksi benih G1 untuk NAD, Sumbar dan Jatim. Jatim menyiapkan benih G1 untuk Jatim, Sulsel, dan Sulut. Berikutnya, NAD, Sumut, Sumbar, Jambi, Jabar, Jateng, Jatim, Sulut dan Sulsel, masing-masing memproduksi G2 dari G1, G3 dari G2, dan G4 dari G3 dengan cara menggandeng penangkar benih. Setiap BBI bertugas memproduksi benih G0—G2 dan setiap BBU memproduksi benih G3d dari G2, sementara penangkar memproduksi bibit G4 dari G3.
Hal senada disampaikan Eri Sofiari, peneliti Balitsa. “Pada prinsipnya, planlet jangan dimonopoli oleh satu instansi,” ujar Eri. Ia menambahkan, standard operational procedure (SOP) planlet mesti segera disertifikasi agar seragam di setiap daerah untuk menghindari pemalsuan.

Jumlah Penangkar Minim
Hal berbeda dituturkan Harry Raharja Danuwijaya, pemilik penangkaran benih Harry’s Farm, di Pangalengan, Bandung. Menurutnya, peluang swasembada benih kentang memang sangat terbuka, tapi mesti dilakukan secara bertahap dan tidak sporadis. Ia berpendapat, sistem yang berlaku sekarang merupakan alternatif terbaik dalam melakukan pembenihan kentang. “Jika pembenihan dilakukan secara terbuka di daerah lain maupun oleh swasta, mutu dan kualitas benih tidak akan terkontrol. Sebab, petugas pengawas dan alat laboratorium masih minim,” terang dia. Akibatnya, pemalsuan benih bersertifikat akan marak dan malah bisa mengancam bisnis perbenihan.

Rusman Agus Senjaya, jyga dari Harry’s Farm, menambahkan, saat ini jumlah penangkar benih bersertifikat sangat minim, hanya 283 orang. Dari jumlah itu lebih dari setengahnya tidak aktif. “Jadi, kalau mau swasembada, perbanyak dulu penangkar benihnya. Di Pangalengan saja yang aktif hanya 24 orang. Jumlah ini sangat mengkhawatirkan,” imbuhnya.
Salah satu penangkar benih kentang yang tidak aktif di wilayah Cibeureum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, H. Iman, mengaku, dirinya kesulitan memenuhi persyaratan BPBK untuk mendapatkan benih G2 secara langsung.

Di Pangalengan, sentra kentang terbesar di Jabar, sampai saat ini hampir 50% penangkar benih yang tidak menggunakan benih bersertifikat karena beragam alasan. Dalam beberapa tahun terakhir sempat bermunculan penangkar benih kentang swasta yang menyebarkan benih berlabel palsu. Hal ini menyebabkan petani kapok menanam benih bersertifikat meskipun hasilnya bisa dua kali lipat.

Muhanda.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain