Jumat, 8 Nopember 2024

Program B50 Terganjal Produktivitas

Program B50 Terganjal Produktivitas

Foto: - WINDI L
Peningkatan produktivitas sawit dengan intensifikasi dan memperbaiki praktik budidaya yang baik akan mencukupi kebutuhan sawit untuk pasar domestik, biodiesel, dan ekspor

Nusa Dua (AGRINA-ONLINE.COM). Peningkatan produksi dan produktivitas minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) menjadi isu krusial yang harus segera diselesaikan oleh para pemangku kepentingan industri kelapa sawit. Pasalnya berdasarkan data Riset Perkebunan Nusantara (RPN), dari total 6,94 juta ha lahan sawit milik petani, 1,36 juta ha di antaranya ditanami oleh pohon-pohon yang berusia di atas 25 tahun.

 

Sedangkan, tanaman muda dengan usia di bawah 3 tahun mencapai 1,64 juta ha dan tanaman dewasa antara 4 -25 tahun seluas 3,94 juta ha. Hal itu membuat produksi CPO nasional mengalami stagnansi dan cenderung menurun di masa depan.

 

Sementara itu, pemerintah berencana meningkatkan bauran biodiesel menjadi B50 atau 50% kandungan biodiesel dan seterusnya di masa mendatang sebagai bagian dari agenda energi terbarukan yang lebih luas. “Sasaran B50 merupakan perubahan signifikan dalam kebijakan energi yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertanian lokal,” ujar Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono di acara 20th IPOC di Nusa Dua, Bali (7/11).

 

Sebelumnya, Indonesia berhasil menerapkan mandatori biodiesel berbasis kelapa sawit sebanyak 35% atau B35 untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak berbasis fosil dan mendukung keberlanjutan. “Dengan mengadopsi B35 pada tahun 2023, Indonesia telah mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan menghemat lebih dari US$7,9 miliar untuk impor bahan bakar fosil,” lanjut Sudaryono.

 

Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, salah satu hal penting yang perlu segera direalisasikan adalah peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Dengan begitu, stagnansi produksi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir bisa diselesaikan.

 

Eddy mengimbau seluruh pemangku kepentingan agar dapat menerapkan praktik budidaya yang baik dan berkelanjutan. Peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit, sambungnya, dapat mendukung program biodiesel pemerintah yang ditargetkan menjadi B50 pada 2026, tanpa menganggu ekspor CPO

 

Pada forum diskusi 20th IPOC sesi pertama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman mengungkapkan, pemerintah juga berupaya mendorong produktivitas kelapa sawit nasional. Hal itu terlihat dari tambahan  dana bantuan replanting yang semula Rp30 juta/ha menjadi Rp60 juta/ha.

 

“Bantuan itu kami tingkatkan dengan harapan bisa mendorong para petani ikut serta program replanting. Kalau dulu bantuan Rp30 juta/ha membuat mereka harus mencari pendanaan lain hingga tanaman menghasilkan, maka dengan Rp60 juta/ha ini bisa sampai tanaman menghasilkan,” jelasnya.

 

Eddy menambahkan, bantuan replanting telah menjagkau 156 ribu petani atau setara dengan 350 ribu ha lahan. Adapun lahan potensial yang bisa di-replanting mencapai 2 juta ha di Indonesia. Secara jangka panjang, BPDPKS menargetkan program replanting bisa meningkatkan produksi CPO petani mencapai 8 juta ton per tahun guna mendukung program strategis pemerintah.

 

“Pada 2045 dengan program replanting, produksi CPO Indonesia berpotensi tembus 83,4 juta ton. Tapi bila program ini tidak berjalan, produksi CPO nasional berisiko menurun dalam beberapa tahun ke depan,” jelasnya.

 

Menurut Ketua Perhimpunan Ilmu Pemuliaan dan Perbenihan Sawit Indonesia, Edy Suprianto, peningkatan produktivitas akan menjadi tantangan utama industri kelapa sawit dalam beberapa tahun ke depan. Terlebih, para petani kelapa sawit juga menghadapi tantangan peredaran benih ilegal. Berdasarkan penelusuran Edy, di salah satu market place ditemukan 223.836 pak benih sawit ilegal yang dijual senilai Rp61,6 miliar.  

 

“Ini cukup untuk 279.795 ha perkebunan kelapa sawit yang setara denngan 55,9 juta benih. Penjual benih sawit ilegal terbesar berasal dari Tebing Tinggi, Sumatera Utara dengan total penjualan 28,9 juta benih,” bebernya.

Salah satu upaya paling efektif meningkatkan produktivitas ialah melalui program replanting. “Permintaan CPO akan terus meningkat sedangkan waktu yang kita butuhkan untuk mendorong produktivitas melalui replanting ialah 5 tahun,” ungkapnya.

 

Selain replanting, Edy mengulas, peningkatan produktivitas bisa dengan menerapkan praktik agronomi yang lebih baik seperti pengelolaan air, pupuk, serta pengendalian hama dan penyakit. Dengan meningkatkan produktivitas CPO menjadi 6 ton/ha saja, Edy menjelaskan, akan mencukupi kebutuhan CPO domestik, biodiesel, dan ekspor.

 

Professor University of Nebraska-Lincoln, Amerika Serikat, Patricio Grassini mengungkap hal senada. Ia beroendapat, Indonesia berpotensi meningkatkan hasil panen kelapa sawit seperti yang terjadi pada komoditas padi dan jagung.

 

“Kita perlu lebih intensif meningkatkan produktivitas sehingga tantangan seperti keterbatasan lahan bisa teratasi, beban tenaga kerja terselesaikan, dan kita semua terhindar dari kampanye isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

 

Dalam risetnya, Patricio memproyeksikan, dengan replanting dan intensifikasi maka produktivitas CPO bisa naik dari 3,4 ton per ha pada saat ini menjadi 8 ton per ha. Dengan begitu, produksi CPO nasional dapat terkerek hingga 108 juta ton per tahun dengan potensi pemasukan US$97 miliar per tahun.

 

 

Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain