Foto: - WINDI L
Eddy Martono, siap mendukung pemerintah baru
Nusa Dua (AGRINA-ONLINE.COM). Industri sawit tengah menghadapi ketidakpastian akibat potensi krisis pangan dan energi serta hambatan dagang. Demikian ungkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono pada pembukaan konferensi internasional sawit ke-20, Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Outlook (20th IPOC).
Saat ini industri sawit Indonesia harus berhadapan dengan hambatan perdagangan yang diberlakukan negara-negara importir, seperti peraturan bebas deforestasi Uni Eropa (EUDR). Mengatasi berbagai tantangan nasional dan global tersebut, GAPKI mengharapkan bantuan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung industri sebagai komoditas unggulan Indonesia dan berperan sangat strategis dalam perekonomian nasional.
“Kami siap mendukung pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dalam mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk memelihara daya saing global industri sawit sebagai sumber makanan dan energi yang terbarukan sebagaimana digariskan dalam Asta Cita yang merupakan bagian dari visi dan misi ‘Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045’,” kata Eddy Martono dalam acara yang bertema Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty di Nusa Dua, Bali, Kamis, 7 November 2024.
Di lain pihak, ulas Eddy, industri sawit menghadapi tantangan dalam negeri berupa produksi yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini sebagai akibat dari lambatnya pelaksanaan penanaman kembali (replanting) di lahan-lahan kebun para petani sawit.
Menurut Eddy, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan termasuk penguatan praktik produksi yang keberlanjutan, sinergi antara pemangku kepentingan industri kelapa sawit, dan memacu pelaksanaan program penanaman kembali lahan sawit petani (PSR). “Ini terutama perlu untuk mendukung program biodiesel pemerintah karena akan ditingkatkan ke B50 di tahun 2026, tanpa mengganggu kebutuhan makanan dan ekspor,” paparnya.
Selain itu, saran dia, sangat perlu juga advokasi perdagangan bebas dan adil mengingat setiap hambatan perdagangan akan menambah beban dan biaya bagi industri. Eddy menyebutkan, hingga Agustus 2024 produksi sawit mencapai 34.7 juta ton. Dalam periode yang sama, ekspor termasuk biodiesel dan oleokimia mencapai lebih dari 20.1 juta ton. Ekspor ini menyumbangkan devisa sekitar US$17.349 juta bagi Indonesia. Konsumsi domestik tercatat pada level 15.6 juta ton.
“Tapi kinerja itu lebih rendah dari tahun kemarin. Selama periode yang sama tahun lalu, produksi sawit mencapai 36.2 juta ton, ekspor 21.9 juta ton, dan nilainya melebihi US$20,597 juta,” tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia 20th IPOC, Mona Surya juga menyebutkan tantangan-tantangan nasional dan global yang dihadapi industri sawit. Ekonomi global menghadapi sejumlah tantangan, termasuk inflasi tinggi, konflik geopolitik di Ukraina dan Timur Tengah, serta peraturan dagang.
“Kita telah mengalami volatilitas harga, produksi yang stagnan di negara-negara produsen, peraturan seperti EUDR. Peraturan nasional terus memainkan peran penting dalam mengarahkan dan mengembangkan industri sawit Indonesia,” terangnya.
Seiring dengan perkembangan sawit, Mona menyampaikan, konferensi IPOC telah semakin menarik perhatian dunia sebagai forum diskusi global tentang sawit. Dengan tema “Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty,” atau Mengambil Kesempatan di Tengah Ketidakpastian Global, IPOC ke-20 tahun ini diikuti sekitar 1.509 peserta dari 24 negara yang merupakan rekor baru peserta.
Windi Listianingsih