Selasa, 5 Maret 2024

KKP Kaji Fenomena Pemutihan Karang Waspadai Naiknya Suhu Air Laut

KKP Kaji Fenomena Pemutihan Karang Waspadai Naiknya Suhu Air Laut

Foto: Humas Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut
erumbu karang adalah rumah bagi berbagai spesies laut, menyediakan sumber daya makanan, perlindungan pantai, dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir

JAKARTA (AGRINA-ONLINE) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang melakukan penilaian terhadap fenomena pemutihan karang (coral bleaching) sebagai tindak lanjut atas prediksi National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Coral Reef Watch yang menyebutkan potensi terjadinya kenaikan suhu air laut pada awal tahun 2024.
 
Penilaian ini dilakukan secara bertahap dan kontinu sejak Januari hingga pertengahan Februari 2024 di Kawasan Konservasi Pulau Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan (Gili Matra), Kawasan Konservasi Laut Banda dan Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
 
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (Ditjen PKRL), Victor Gustaaf Manoppo dalam keterangannya di Jakarta menjelaskan bahwa Ditjen PKRL sebagai unit organisasi yang bertanggung jawab dalam konservasi laut perlu memberikan atensi khusus dan melakukan aksi cepat menanggapi fenomena pemutihan karang. Selain itu, upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya juga sangat penting dilakukan dalam upaya melindungi dan memulihkan terumbu karang yang rentan terhadap perubahan iklim global.
 
“Penilaian fenomena coral bleaching perlu dilakukan karena terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan laut dan manusia. Terumbu karang adalah rumah bagi berbagai spesies laut, menyediakan sumber daya makanan, perlindungan pantai, dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Sementara coral bleaching dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem yang luas dan merugikan bagi kehidupan laut serta sumber daya manusia yang bergantung pada ekosistem karang jika tidak dilakukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi,” terang Victor.
 
Senada dengan hal tersebut, Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan, Firdaus Agung menambahkan bahwa kejadian pemutihan karang diprediksi oleh para ilmuwan akan semakin sering terjadi dengan skala yang luas seiring dengan peningkatan suhu permukaan laut sebagai dampak perubahan iklim. Karenanya Firdaus mengingatkan perlunya keterpaduan respon khususnya kegiatan pemantauan yang mendesak terhadap wilayah-wilayah ekosistem terumbu karang yang diprediksi mengalami pemutihan karang berdasarkan model yang dikembangkan oleh NOAA.
 
“KKP bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yayasan Reef Check Indonesia dan mitra lainnya telah merancang wilayah, waktu, dan rekomendasi jenis kegiatan pemantauan pemutihan karang, serta pedoman pemantauan sesuai prediksi peningkatan suhu permukaan laut dengan fokus utama adalah wilayah kawasan konservasi. Hasil monitoring ini kemudian akan dianalisis dan disebarluaskan untuk meningkatan kesadaran dan memberikan edukasi ke masyarakat,” urainya.
 
Tak hanya itu, menurut Firdaus respon dalam bentuk regulasi dan kebijakan juga akan dilakukan sesuai dengan hasil analisis dan akan digunakan untuk mengembangkan jejaring pemantauan pemutihan karang.
 
Sementara itu, Kepala BKKPN Kupang Imam Fauzi juga menambahkan bahwa penilaian cepat terhadap fenomena pemutihan karang di kawasan konservasi yang masuk dalam wilayah kerja BKKPN Kupang dilakukan sesuai dengan ketentuan yakni Panduan Pemantauan Pemutihan Karang (Coral Bleaching).
 
Menurut Imam penilaian dilakukan menggunakan metode citizen science yang melibatkan kelompok masyarakat dan operator selam antara lain di Kawasan Konservasi Laut Banda melibatkan Luminocean Banda, di TNP Laut Sawu melibatkan Yayasan Yapeka, di Kawasan Konservasi Pulau Gili Matra melibatkan Yayasan Ekosistem Gili Indah, Yayasan Gili Matra Bersama, Pokmaswas Gili Matra, serta operator selam yang tergabung dalam Gili Island Diving Aliance dan Oceans.
 
“Hasil penilaian cepat menunjukkan rata-rata tingkat pemutihan karang keras hidup pada seluruh bentuk pertumbuhan karang di Kawasan Konservasi Pulau Gili Matra berkisar <25%, namun ada beberapa lokasi yang mengalami pemutihan mencapai 50-75% bahkan >75% yakni Bounty Wreck (Sebelah Barat Pulau Gili Meno) dan Sunset Reef (Sebelah Selatan Pulau Gili Trawangan),” jelasnya.
 
Kondisi pemutihan karang di Kawasan Konservasi Laut Banda berdasarkan penilaian cepat yang dilakukan di Site Lava Flow dan Miniatur Banda menunjukkan secara umum berkisar <25%. Pada kondisi ini karang bercabang masih dalam tahap memucat sebagai dampak dari terpapar kejadian pemutihan karang. Selain itu, biota lain yang juga mengalami pemutihan adalah Anemone dan Sponge.
 
Sedangkan penilaian cepat pemutihan karang TNP Laut Sawu yang dilakukan di Pantai Oesina, Desa Lifuleo, Kabupaten Kupang menunjukan bahwa pemutihan karang masih sangat rendah dengan nilai persentase kejadian <5%.
 
“Survei pemantauan dibagi ke dalam 3 (tiga) fase yaitu survei cepat, survei puncak pemutihan dan survei pasca pemutihan. Fenomena pemutihan karang masih perlu ditindaklanjuti dengan melakukan survei detail puncak pemutihan karang dalam waktu dekat. Selain itu, diperlukan juga mitigasi dengan cara mengurangi tekanan antropogenik agar karang dapat bertahan dan pulih secara alami. Salah satunya dengan meningkatkan kesadaran dan peran serta pengguna jasa ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi,” pungkas Imam.
 
Sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dalam pengelolaan kawasan konservasi, KKP terus bersinergi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memberikan respon yang cepat dan tepat agar ekosistem laut dapat terjaga dalam jangka panjang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memperkuat ekonomi nasional.
 
 
 
 
 
Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain