Foto: PENI SARI PALUPI
Dari kiri ke kanan: Dr. Suprihatin, Dr. Basuki Sumawinata, Prof. Yanto Santosa, Prof. Udin Hasanudin, dan Dr. Haskarlianus Pasang
Bogor (AGRINA-ONLINE.COM). Dalam upaya mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca sekaligus mengoptimalkan nilai ekonomi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS), Pusat Kajian, Advokasi, dan Konservasi Alam (Pusaka Kalam) menyelenggarakan diskusi terarah bertajuk “Permasalahan dan Strategi Pengelolaan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit secara Optimal dan Berkelanjutan”.
Diskusi yang digelar di IPB Convention Center, Bogor (20/11) ini menampilkan pakar dari kalangan akademisi dan praktisi industri kelapa sawit sebagai pembicara dan pembahas. Para akademisi itu adalah Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M. Agr., dan Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc. sebagai peneliti Pusaka Kalam sekaligus tim penyusun peta jalan pengelolaan LCPKS; Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Guru Besar FATETA IPB University, Prof. Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T., Guru Besar Fakultas Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, dan Prof. Ir. Tjandra Setiadi, M.Eng., Ph.D., Guru Besar FTI ITB.
Sementara, para praktisinya adalah Dr. Haskarlianus Pasang, Head of Operations Sustainability PT SMART Tbk., Ir. Achmad Fathoni, M.P., Direktur Riset First Resources, dan Johari Salleh, Director Production KLK Agriservindo.
LA Menghemat Pupuk Anorganik
Dalam pembukaan diskusi Ketua Dewan Pakar Pusaka Kalam, Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA, menekankan pentingnya perubahan pola pikir dari anggapan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) itu berbahaya bagi lingkungan dan tidak bernilai ekonomi menjadi sebuah sumber daya yang bernilai ekonomi tinggi. “LCPKS adalah harta karun yang kaya kandungan hara dan dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit jika dikelola secara profesional,” ujar Prof. Yanto.
Land Application (LA) atau aplikasi di tanah termasuk salah satu teknologi utama yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat. Cara ini memungkinkan pemanfaatan LCPKS sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kualitas tanah dan menggantikan pupuk kimia sintetis.
Haskarlianus Pasang memaparkan LA tidak hanya mendukung efisiensi agronomi, tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Ia menambahkan, pendekatan ini menjawab tantangan keterbatasan pupuk anorganik yang sering dihadapi sektor perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan pengalaman di internal perusahaan, penerapan LA menghemat material pupuk anorganik terutama pupuk makro (N, P, K & Mg) sebesar 78%-99%. Jadi, dengan LA kebun hanya membutuhkan pupuk mikro, yaitu Borat.
Selain Land Application, teknologi Methane Capture (MC) juga menjadi opsi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GHG) dengan cara menangkap gas metana yang dihasilkan dari proses dekomposisi secara anaerobik. Menurut Prof. Udin, metana (CH4) yang merupakan salah satu gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global tinggi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. “Teknologi MC ini tidak hanya mengurangi emisi secara signifikan, tetapi juga membuka peluang pemanfaatan biogas untuk memenuhi kebutuhan energi di perkebunan,” jelasnya.
Sementara, Basuki menyatakan, walaupun limbah hanya mengandung Biochemical Oxygen Demand (BOD) 100 mg/L kalau dibuang ke sungai tetap sangat berbahaya bagi lingkungan dan berpotensi terjadinya fenomena eutrofikasi yang dapat merusak biota perairan. Selain berbahaya, tindakan tersebut berarti menyia-nyiakan banyak kandungan hara dalam limbah.
Untuk menghindari terjadinya emisi karbon dalam LA, Basuki menyarankan pengukuran potensial redoks (Eh). ”Nilai Eh di bawah -150 mV menunjukkan potensi metana yang tinggi, sedangkan nilai di atas -150 mV relatif aman,” ungkap alumnus S3 Kyoto University, Jepang, tersebut.
Dalam diskusi lanjutan, Prof. Suprihatin membahas dampak negatif LPCKS terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Polutan utama dalam LCPKS mencakup bahan organik seperti BOD dan COD (Chemical Oxygen Demand), minyak/lemak, nutrien, serta Total Suspended Solids (TSS).
“Tanpa pengolahan yang tepat, komponen-komponen ini dapat menimbulkan kerusakan serius pada lingkungan,” jelasnya. Karena itu, ia menekankan pentingnya pengolahan LCPKS sebelum dilepaskan ke lingkungan untuk meminimalkan dampak negatifnya.
Suprihatin memaparkan, saat ini telah tersedia berbagai teknologi untuk pengolahan LCPKS, baik teknologi konvensional maupun yang lebih maju. Setiap teknologi, menurutnya, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. “Pemilihan teknologi yang paling sesuai harus mempertimbangkan tiga aspek utama, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial, serta disesuaikan dengan kondisi lokasi dan kebijakan pengelola perusahaan,” tambahnya.
Sementara itu, Udin Hasanudin dan Haskarlianus Pasang dari PT SMART Tbk. berbagi pengalaman tentang penerapan strategi pengelolaan LCPKS dalam praktik industri. Lebih lanjut, Haskarlianus juga menyampaikan peluang-peluang dari pemanfaatan LCPKS yang bermanfaat untuk lingkungan, agronomi maupun ekonomi melalui penggunaan LCPKS sebagai sumber bahan organik untuk kesuburan dan penambah bahan organik yang semakin terbatas, juga memberikan peluang bahan sumber energi terbarukan.
Sinergi Teknologi dan Kebijakan
Sesi kedua yang dimoderatori Prof. Yanto membahas strategi optimal dan keberlanjutan pengelolaan LCPKS. Gunawan menguraikan peta jalan pengelolaan LCPKS yang terintegrasi dengan menyoroti pentingnya sinergi antara teknologi dan kebijakan. Diskusi menjadi semakin menarik karena ia menyatakan keberadaan BOD dan COD dalam LCPKS bukanlah ancaman, melainkan peluang.
“Tingginya BOD dan COD meningkatkan kandungan unsur hara, tetapi juga membutuhkan pengelolaan amoniak yang lebih ketat karena unsur ini berpotensi membahayakan lingkungan. Namun pengurangan BOD secara berlebihan hanya akan menghilangkan potensi manfaat hara dari limbah,” ulasnya.
Lebih jauh lulusan S3 Bonn Universitat, Jerman, ini menilai pemantauan logam berat dalam LCPKS di lahan kelapa sawit tidaklah mendesak. “Tanah marginal kebun kelapa sawit cenderung miskin logam berat sehingga perhatian lebih baik diarahkan pada pengelolaan unsur hara,” tambahnya.
Achmad Fathoni menyoroti peluang besar pemanfaatan LCPKS melalui pendekatan LA dalam meningkatkan produktivitas tanaman dan penurunan emisi gas rumah kaca. Di samping itu, penerapan MC juga dapat dipertimbangkan menjadi salah satu alternatif pilihan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Prof. Tjandra Setiadi dan Johari Salleh turut memberikan analisis mendalam dari sudut pandang akademis dan praktisi industri dalam menanggapi materi yang disampaikan Gunawan Djajakirana dan Achmad Fathoni. Diskusi ini menyoroti pentingnya sinergi antara inovasi teknologi dan keberlanjutan dalam pengelolaan LPCKS.
Prof. Tjandra menguraikan tiga tantangan utama dalam pengelolaan LPCKS atau juga dikenal dengan Palm Oil Mill Effluent (POME) ke depan. Pertama, keterbatasan lahan menjadi isu mendesak karena peningkatan produksi kelapa sawit membutuhkan lebih banyak ruang untuk pengolahan limbah. Kedua, regulasi lingkungan yang semakin ketat mengharuskan industri mengadopsi langkah-langkah untuk mengontrol dan mencegah pencemaran dengan standar tinggi. Ketiga, efisiensi pengolahan menuntut pengembangan teknologi yang hemat energi, ramah lingkungan, namun tetap terjangkau secara ekonomi.
Di sisi lain, ia juga memaparkan prospek positif dari pengelolaan LCPKS. Limbah ini berpotensi besar sebagai pembangkit energi terbarukan melalui pengolahan biogas, serta dapat digunakan sebagai pupuk komersial yang kaya nutrisi untuk pertanian. Selain itu, penerapan teknologi hibrid menjadi salah satu solusi inovatif untuk memaksimalkan efisiensi pengolahan sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
“Dengan menggabungkan pendekatan teknologi yang canggih dan kebijakan berkelanjutan, tantangan yang ada dapat diatasi, sementara peluang besar dalam pengelolaan LCPKS dapat dimaksimalkan,” ujar jebolan S3 University Stratchlyde, Inggris ini.
Secara keseluruhan acara yang diselenggarakan Pusaka Kalam dengan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ini berhasil merumuskan beberapa langkah praktis pengelolaan LPCKS. Diharapkan, rumusan tersebut dapat diimplementasikan pemerintah, industri, dan pemangku kepentingan lainnya. Langkah ini juga menjadi kontribusi signifikan terhadap upaya pengurangan emisi GRK dan pemanfaatan limbah menjadi sumber daya energi listrik dan biogas sebagai penggerak kendaraan bermotor.
Peni Sari Palupi