Foto: - WINDI LISTIANINGSIH
Keberadaan cadangan pangan sangat berkaitan dengan sistem logistik dan rantai pasok
JAKARTA (AGRINA-ONLINE.COM). Untuk mengatasi gejolak harga, hampir semua negara di Asia melaksanakan kebijakan stok cadangan pangan, khususnya beras. Kebijakan tersebut dilakukan melalui intervensi pasar dengan menambah pasokan agar harganya stabil.
Di samping itu, kebijakan stok cadangan pangan juga digunakan untuk kebutuhan darurat seperti menanggulangi bencana alam, perang, dan konflik sosial, serta menghambat aktivitas spekulasi pasar. Kesiapan cadangan pangan oleh negara diyakini mampu memperkecil risiko food insecurity (kerawanan pangan) dan instabilitas harga.
Pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 125/2022 Tentang Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) telah menetapkan 11 jenis CPP. Yakni, beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan. Saat ini CPP baru menyasar beras, jagung, dan kedelai yang pengelolaannya diserahkan ke Perum BULOG.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian, Edy Priyono pada webinar ‘Tata Kelola Cadangan Pangan Pemerintah: Mau Dibawa Kemana?’ menjelaskan, pemerintah menetapkan komoditas pangan strategis melalui Perpres No 125/2022 dan Perpres No. 59/2020 Tentang Perubahan Atas Perpres No. 71/2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Pada Perpres No. 59/2020 juga terdapat 11 komoditas pangan strategis. Namun berbeda dengan Perpres No. 125/2022 yang memasukkan jagung sebagai komoditas pangan strategis, Perpres No. 59/2020 justru menggantinya dengan tepung terigu.
Dalam menyiapkan CPP, imbuh Edy, pemerintah melakukan pengadaan atau pembelian dari dalam atau luar negeri. Pembelian dalam negeri bertujuan melindungi produsen dan memperkuat ketersediaan pangan. Sedangkan, pembelian dari luar negeri untuk penguatan ketersediaan.
Mengutip data Perum BULOG, Edy menguraikan, stok cadangan beras pemerintah (CBP) per 24 November 2023 sebanyak 1,63 juta ton, pengadaan dalam negeri 942 ribu ton, pengadaan luar negeri (impor) 1,96 juta ton, SPHP (Stabilisasi Stok Harga Pangan) 976 ribu ton, dan bantuan pangan 1,24 juta ton.
Kebijakan pemerintah mengimpor beras, ulasnya, bertujuan memperkuat CBP. Dengan stok tersebut, pemerintah bisa melakukan stabilisasi harga beras di dalam negeri melalui bantuan pangan kepada masyarakat menengah ke bawah yang rentan terhadap kenaikan harga beras.
“Setelah adanya program SPHP, memang harga tidak langsung turun tapi paling tidak menstabilkan harga. Jadi meski harga beras tinggi, kita masih bisa menjaga masyarakat yang rentan miskin dari kenaikan harga beras. Kita melindungi kelompok masyarakat menegah ke bawah melalui bantuan pangan,” tuturnya di Jakarta, Rabu (29/11).
Jika melihat volume impor, sambungnya jumlahnya juga sangat kecil. Tidak lebih sampai 10% dari total konsumsi beras nasional yang mencapai 2,5 juta ton/bulan.
Edy menegaskan, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam pengelolaan pangan terus berusaha imbang untuk berdiri di tengah antara produsen (petani dan peternak) dan konsumen. Pemerintah dituntut menjalankan peran krusial dalam menyeimbangkan beragam kepentingan yang melibatkan stabilitas harga dan ketersediaan pangan.
“Sekarang kita sedang upayakan untuk monitor bukan hanya CPP tetapi juga stok pangan seperti beras melalui pelaporan perusahaan penggilingan. Sehingga, bisa monitor lebih akurat kekurangan supply (pasokan) maupun kelebihan supply ada di mana,” tukasnya.
Regulasi Komplet
Sementara itu, regulasi tentang CPP beras, jagung, dan kedelai yang dikelola Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) bisa dibilang komplet. Yaitu, mulai dari penetapan jumlah dan formula, menghitung pelepasan cadangan turun mutu, batas waktu simpan, harga pembelian pemerintah (HPP) dan rafaksi harga, serta penyaluran.
Menurut Direktur Distribusi dan Cadangan, NFA, Rachmi Widiriani, dalam perencanaan tata kelola cadangan pangan, pihaknya menjalankan peran sebagai entitas yang terlibat dalam integrasi dari hulu hingga hilir. Dalam pengelolaan CPP, Rachmi mengakui, keluar-masuknya produk pangan memang harus diatur agar tidak terjadi kerusakan. Karena itu, proses hulu-hilir harus berjalan dengan baik.
Berdasarkan Perpres No. 125 Tahun 2022, pengeloaan CPP menggunakan dinamic system dan bukan lagi iron stock yang dikunci rapat. “Bahan pangan ‘kan harus muter. Jadi, kita harus jaga komoditas pangan tersebut selalu ada di gudang BULOG. Kita sudah berusaha menjaga agar terus berputar, termasuk beras,” katanya.
Untuk memberikan kepastian penyaluran hilir, sambung Rachmi, dalam Pasal 11 Perpres No. 125/2022, pemerintah telah menyiapkan beberapa kanal yang diperbolehkan untuk penyaluran CPP. Untuk beras ada bantuan pangan masyarakat miskin, stunting, dan stabilisasi harga, termasuk ke pasar. Sedangkan, jagung untuk penyaluran ke peternak mandiri.
Dalam menetapkan CPP, Rachmi mengatakan, NFA juga sudah membuat neraca pangan. Dari data itu, dapat diketahui surplus dan defisit dengan memperhatikan warning (peringatan), misalnya kondisi iklim dan kemungkinan gangguan produksi. Dengan neraca pangan, NFA membuat perencanan pengadaan CPP. “Untuk tahun 2023, kami sudah membahas kemungkinan adanya tambahan beras dari luar negeri. Dengan beras tersebut pemerintah mempunyai alat untuk mengintervensi pasar,” katanya.
Pada sistem penganggaran CPP tahun ini, pemerintah telah menguji coba plafon pinjaman senilai Rp3 triliun yang bisa dimanfaatkan Perum BULOG dan ID Food. Bahkan, Perum BULOG sudah memanfaatkan plafon tersebut dan pengembaliannya dalam jangka 6 bulan.
Sedangkan untuk tahun depan, pemerintah menyiapkan plafon Rp28 triliun dengan waktu pengembalian pokok dan bunga diperpanjang menjadi 1 tahun. ”Kita sudah siapkan berapa jumlah dan ending stock (stok akhir) sebagai dasar pinjaman. Nantinya bisa ke Himbara dan Himbasda. Memang masih ada bunga tapi bunganya kecil,” tuturnya.
Edy menilai, penganggaran CPP dengan sistem pascabayar cukup memberatkan operator atau BUMN pangan. Karena risiko, termasuk risiko finansial, sepenuhnya jadi tanggung jawab operator. “Untuk kebaikan bersama, tengah didiskusikan mungkin 50% prabayar dan 50% pascabayar. Untuk sesuatu yang baik, mengapa tidak disetujui,” ujarnya.
Kepala Program Studi dan Agromaritim, Magister IPB University, Yandra Arkeman menegaskan, pengelolaan CPP ke depannya harus dikelola secara digital, berbasis Artificial Intellegence (AI) dan Blockchain. “Penyebab kelangkaan atau krisis pangan paling utama adalah pasokan tidak sampai ke konsumen. Karena, kita tidak bisa memprediksi demand (permintaan) dan supply dengan cermat dan akurat,” jelasnya.
Menurut Yandra, keberadaan cadangan pangan sangat berkaitan dengan sistem logistik dan rantai pasok. Sayangnya, sampai saat ini Indonesia masih belum punya sistem logistik dan rantai pasok pangan yang terpercaya, transparan, dan tertelusur.
Yandra mengungkap, sistem yang ada sekarang ini masih manual dan semiotomatis sehingga belum memberikan informasi yang presisi secara real time dan belum mampu menjamin transparansi dan ketelusuran dalam rantai pasok. Karena itu, perlu sistem logistik nasional yang tidak terlepas dari basis teknologi digital terkini yaitu Artificial Intelligence (AI) dan Blockchain.
“Ketika membicarakan ketertelusuran pangan, kita merujuk pada kemampuan untuk melacak setiap komponen melalui seluruh alur distribusi. Ini tidak hanya berkaitan dengan asal-usul makanan, tetapi juga mencakup perjalanan makanan setelah melewati setiap tahap produksi. Dengan kata lain, ketertelusuran dalam sistem pangan melibatkan jejak sepanjang rantai pasokan, dan teknologi blockchain mampu memperkuat proses ini,” pungkasnya.
Windi Listianingsih